Sepanjang jalan menjauh dari rumah menuju Cikalong Wetan, aku selalu melihat spion. Masih berasumsi bahwa Echo akan mengejarku dengan motornya seperti di film-film drama. Dua jam adalah jarak tempuh yang biasa saja, tetapi satu setengah tahun adalah waktu yang lama untukku berjarak dengan Echo. Echo harusnya tahu berat juga untukku ketika harus melewatkan hari-hariku tanpa sosoknya. Seharusnya Ia paham betul dan tidak perlu semarah itu.
Nihil.
Asaku yang masih kusimpan beberapa persen ketika berangkat, menjadi sirna setelah aku sudah benar-benar menjauh dari Bandung Kota. Aku menyerah.
Aku merasakan beberapa nyamuk menghisap darahku di pipi dan di dekat mata kaki, ketika aku sampai di Cikalong Wetan.
Beberapa orang berseragam sama menghampiriku begitu aku sampai. Mereka menyalamiku dan mengucapkan selamat datang. “Semoga betah, ya,” dengan singkat, mereka berucap demikian. Aku mengangguk sopan. Melihat sekeliling, aku tertarik kepada pohon-pohon yang masih menjulang tinggi dan sarang burung yang besar seolah menandai daerah kekuasaan mereka di atas sana.
Jeep mengantarkanku ke sebuah rumah dengan halaman yang luas. Sangat luas, kalau boleh kubilang. Di Bandung Kota, tak ada orang yang mempunyai halaman seluas ini, setidaknya yang aku tahu. Aku sempat berpikir apakah aku harus masuk dan berjalan kaki ke dalam, tetapi jeep membawaku melewati pagar depan.
“Rein, ya?”, seorang wanita paruh baya menyebutkan namaku, begitu aku turun dari jeep. Aku mengangguk dan tersenyum. Paras wanita ini ramah sekali, dan sejuk dipandang.
Aku menyalaminya.
“Warsini,” katanya, menyebutkan namanya.
“Asli sini, bu?”
“Dari Majalengka, ibu mah,” Bu Warsini menjawab. “Disini bantu-bantu suami bersih-bersih, siapin makanan, dan sebagainya,” jelas Bu Warsini. “Kerjaan ibu mah banyak. Untung anak-anak suka ngebantuin,” jelasnya lagi.
Anak-anak?
“Yuk, ibu bantuin,” Bu Warsini membawa salah satu tasku. Pak sopir masih menurunkan barang-barang bawaanku yang lain dari jeep. Sebaiknya aku nyicil ngangkut ke dalam juga.
“Ini satu kamar satu orang, bu?” tanyaku. Bu Warsini mengangguk. “Tapi kadang-kadang suka kumpul di satu kamar sih, neng. Nyeremin, katanya. Padahal mah, ah, da enggak ada apa-apa,” jawabnya. Bangunan tua, jelas sekali bisa kulihat itu. Atap yang membumbung terlalu tinggi dan beberapa lemari-lemari besar ikut meramaikan suasana disini. Jelas ini bukan lemari yang baru dibeli kemarin sore sebagai pelengkap furniture mess.
“Dulunya, tempat apa ini, bu?”, rasa penasaranku mempunyai persenan lebih besar daripada rasa takutku. Ibu Warsini menoleh padaku sekilas, “Dari dulu sampai sekarang ini mess untuk perawat, Neng,” Wanita itu membuka salah satu kamar. Nyaris kosong. Hanya satu tempat tidur yang membuat kamar ini mempunyai judul berisi. Selebihnya cat putih dan jendela dua sisi, berhadapan dengan pintu. Tempat tidur ditempatkan di sisi sebelah kiri.
Aku menahan napas. Semoga aku tak salah memutuskan untuk bekerja disini selama satu setengah tahun. Ralat, satu tahun tiga bulan. Aku pastikan diskon dua bulan akan aku ambil tanpa berpikir panjang.
“Neng capek, sepertinya,” Bu Warsini melihat wajahku. “Mau istirahat dulu? Nanti ibu bikinkan es teh, ya?”
“Yang lain kemana, bu?”, tanyaku sebelum Bu Warsini meninggalkanku seorang diri.
“Kan masih pada kerja, neng,” Bu Warsini tertawa kecil. “Kenapa?”
Aku menggeleng. “Saya mau menemani ibu saja, di depan,” ujarku tanpa ragu. Membereskan barang-barang bisa nanti saja. Sungguh, saat ini hal yang paling kurindukan adalah menghirup oksigen langsung dari pohon di luar sana. Wangi bangunan tua belum berhasil membuatku menjadi lebih betah.
“Baik, kalau begitu,” ujar Bu Warsini. “Leres, henteu istirahat heula?”
Aku menggeleng.
Bahagia rasanya menikmati angin Cikalong Wetan siang-siang begini. Lumayan sejuk. Tapi matahari disini cukup terik. Kuramal kulitku akan sedikit menghitam disini. Sungguh, tidak menjadi masalah untukku.
Setelah beberapa menit membantu Ibu Warsini menyapu, aku duduk sejenak.
Menenggak teh manis buatan Bu Warsini, dengan es yang sudah mulai mencair. Sambil melihat pemandangan sekitar, dengan banyak pepohonan, segar sekali rasanya. Hijau pohon dan birunya langit menambah kesegaran es teh manis yang kuteguk. Tidak ada suara knalpot motor, tidak ada suara klakson mobil seperti yang sering kudengar di Bandung Kota. Daerah ini menenangkan.
Aku melangkah lagi, kembali menyapu sisa-sisa daun yang berguguran dan memasukkannya ke dalam sebuah sekop yang terbuat dari anyaman bambu.
“Ibu kedalam sebentar, ya, mau memasak air. Sebentar lagi anak-anak pulang,” Bu Warsini tersenyum dan berlalu. Aku sendiri lagi. Tak apa, selama masih berada diluar mess, aku tak pernah merasa benar-benar sendiri.
Ada jalan setapak di ujung halaman, jalan itu tidak berpagar. Jalan ini tertutup rerumputan, dan dikelilingi pohon-pohon. Bu Warsini belum membersihkan bagian ini, dan hanya jalan ini yang belum dia bersihkan.
Tak merasa capek sama sekali, aku meneruskan untuk menyapu jalan itu sebisaku, karena sangat banyak daun yang menumpuk. Jangan-jangan orang-orang tidak tahu kalau disini ada jalan setapak?
Pohon-pohon rindang dan sinar mentari sore yang menyembul dari antaranya menyapaku dengan hangat. Pasti menyegarkan rasanya bisa jalan-jalan disini sore-sore. Teman-teman baruku nanti selfie addict tidak, ya? Apa seperti Tari atau Vita?
Beberapa sudut disini seperti sebuah foto booth alami, rasanya. Pojok ketje, kalau aku boleh meminjam bahasa si kekinian Vita. Aku seperti terbawa untuk masuk lebih dalam lagi.
Entah kenapa aku jadi mengendap-endap, seolah sedang ada kurcaci atau peri hutan yang sedang tidur di dalam sana. Dengan hati-hati aku menginjakkan kaki di atas daun kering yang belum sempat aku bersihkan. Sial, suaranya masih berisik.
Sebuah sisa pembakaran kutemukan tidak jauh dari situ. Bekas api dari kayu-kayu yang sudah menghitam masih mengeluarkan asap yang membumbung sebelum lamat-lamat hilang di udara. Ada yang baru saja memakai pembakaran ini, mungkin untuk memasak sesuatu, pikirku. Kalau untuk menghangatkan tubuh kayaknya enggak mungkin. Suhu disini masih lumayan hangat, walaupun lebih sejuk jika dibandingkan dengan Bandung Kota.
Agak nekat, aku mendekat.
Samar-samar, terdengar suara orang sedang menebas sesuatu.
Ini manusia. Jelas ini manusia.
Aku memperhatikan dengan seksama, jejak langkahku nyaris hanya bergesekan halus dengan tanah kering. Tak bersuara sama sekali.
Sekonyong-konyong seseorang mendekapku dari belakang. Tangan kanannya menyumpal mulutku, tangan kirinya melilit perutku. Kuat.
Aku tak bisa—bahkan hanya untuk—meronta.
¼
Ada dua berita, baik dan buruk. Berita baiknya adalah, aku bisa kembali dengan mess tanpa tersesat. Berita buruknya adalah, saat ini aku sedang dihadapkan dengan mata-mata galak yang siap memakanku kapan saja.
“Siapa bilang kamu boleh pergi kesana?”, laki-laki itu bertanya dengan sangar setelah mendudukanku. Beberapa orang duduk mengitariku dan aku seperti dalam sebuah sidang resmi di ruang pengadilan antara hakim dan aku sang tersangka. Aku menghela napas. Awal yang terlalu buruk untuk sebuah perkenalan.
Bu Warsini menunduk takut-takut pada laki-laki itu, mungkin karena dia merasa gagal mengawasiku.
Sepertinya mereka ini yang dikatakan Bu Warsini ‘anak-anak’.
“Oke, saya Baron, kepala mess ini,” laki-laki itu memperkenalkan namanya. Namanya sesangar wajahnya, dan juga ototnya. “Kamu adalah yang paling terlambat check in. Keterlambatanmu itu sepertinya menguatkan presepsi saya kalau kamu ragu-ragu memutuskan untuk bekerja disini.”
Dulu tidak, tetapi sekarang sepertinya aku akan mengamininya, ujarku dalam hati.
Sebenarnya aku juga berhak jengkel. Siapa bilang Ia boleh menyentuhku dan mendekap mulutku dari belakang tanpa persetujuan? Jelas dia tidak menerapkan ilmu informed consent.
“Seseorang yang baru pertama kali masuk, sebaiknya mengenal peraturan yang ada disini.”
Hanya Bu Warsini yang menyeret kakinya tanpa bersuara, pergi pelan-pelan menuju dapur. Yang lainnya tetap mengitariku.
“Bacakan, Win,” Baron melirik seseorang.
Seorang perempuan yang disebut Win maju satu langkah lebih depan daripada yang lainnya. Ditangannya ada secarik kertas terlipat, sejurus kemudian ia membukanya dan berdehem sekali. Baik. Saatnya aku memasang kupingku baik-baik. Kuramal hal yang akan dibacakannya menentukan hidup matiku setelah ini.
“Satu. Tidak boleh keluar dari gerbang mess lebih dari jam tujuh malam.”
Come, on. Jam lima sore pun sudah kupastikan aku akan ada di halaman membantu Bu Warsini menyapu pekarangan.
“Dua, berpakaian sopan.”
Isi koperku hanya jeans dan kaos kelonggaran punya abangku, selain seragam kerja tentunya. Aman.
“Tiga, melaksanakan kegiatan sesuai dengan schedule yang berlaku.”
I will. I will. Disini tak akan ada celotehan Vita yang menghabiskan waktuku satu jam untuk menempakan masker pada rambutnya atau menemaninya belanja, kan?
“Empat, tidak merokok, meminum alkohol, membawa benda tajam.”
Pisau bela diri yang diberi mama tidak termasuk benda tajam, dong. Itu pertanda cinta.
“Lima, laki-laki tidak boleh masuk ke dalam mess perempuan, kecuali untuk makan malam.”
Good idea.
“Enam, dilarang membawa binatang peliharaan.”
Save Echo.
“Tujuh, Bangun pagi kurang dari pukul 04.00.”
Ya Tuhan.
“Delapan, berhemat menggunakan listrik dan air.”
“Sembilan, senyum, salam, sapa, sopan santun.”
“Sepuluh, jangan pernah keluar dari area mess. Akses menuju rumah sakit hanya lewat pintu depan.”
“See?”, Baron menatapku. “Enggak terlalu susah dimengerti, kan?”
Oh, ayolah. Peraturan kesepuluh itu konyol sekali. Photo booth alami itu tak boleh dikunjungi lagi. Itu tempat pertama yang kusukai disini.
Aku mengangguk, setengah hatiku tak terima. Itu satu-satunya tempat terhangat yang bisa membuatku betah, sejauh ini. Gedung ini tua dan dingin.
“I am back,” seseorang membuka pintu.
Diantara kerumunan, aku mengintip siapa yang datang. Dan suara itu bisa aku kenal dengan baik.
“And.. Rein?”
Aku melongo. Ternyata aku tidak se-strange beberapa detik yang lalu.
“Joy?”
“Hei!”, dia menepuk pundakku pelan. “So much bored, huh?”, gadis itu menunggu jawabanku. Sepertinya ia baru menyadari udara ketegangan disini. Ia menaikkan alisnya melihat ke-nerd-an diwajahku.
Yep, girl. Aku sedang dalam persidangan, by the way.
“Ehem,” Baron berdehem, kelihatan sekali disengaja. “Joy, minggir dulu.”
“Why so serious, captain?”, Joy memukul bahu Baron, dan berlalu. Ujung mataku mengikuti langkahnya yang melenggang menuju dapur.
“Don’t wasting your time judging that good girl!”, teriak Joy tak terlalu jelas, terdengar seperti sedang mengunyah sesuatu.
Baron berdecak kesal.
“Ya, sudah, pokoknya,” Baron berdehem lagi, konsentrasinya terpecah. “If you respect the rules, we can be a good partner.”
Aku mengangguk, “Baik.”
Matanya sekilas melihat dalam-dalam mataku, kemudian langkah lebarnya bergerak keluar pintu.
Aku mengingat kesepuluh peraturan itu dengan baik. Mengulangnya dalam hati.
“Awina,” perempuan yang tadi membacakan peraturan menyodorkan tangannya, aku membalas jabatannya. “Reindita,” balasku.
“Baron itu idealis, Rein. Susah dibantah. Baik sih maksudnya. Cuma kadang bikin kewalahan juga,” jelas Awina. “Anyway, mau dibantuin beresin barang?”
Aku mengangguk. “Trims, Awina,” kataku. “Mungkin karena idealisnya itu, makanya dia jadi ketua mess disini.”
“Tapi aku tahu maksudmu. Harus lebih legowo,” balas Awina. “Enggak plek-plekan juga peraturannya begitu, tanpa lihat kebutuhan kita kayak apa.”
Awina betul. Tapi, dalam beberapa hal, mungkin aku bisa sependapat dengan Baron. Ia sepertinya sudah mengetahui lebih dahulu tentang situasi disini. Lagipula, dia tidak akan bisa legowo kalau semua anak mess ini mempunyai rasa penasaran yang tinggi seperti aku. Dia akan sangat kewalahan. Disini, idealis adalah sifat yang tepat, pikirku.
“Kita bereskan barang sehabis makan, ya. Makan siang dulu, yuk,” Awina menggandeng tanganku ke ruang makan. Aku menurut.
Beberapa orang sudah duduk manis disana, terihat Bu Warsini sedang mengupas buah mangga untuk hidangan penutup.
Wanita itu melihatku dan tersenyum kasihan.
Seseorang mengacak rambutku. This should be Joy. Aku tersenyum sekilas.
“Udah kenal Rein, tah?”, kata Awina sembari menuangkan air putih ke dalam gelas.
Alih-alih menjawab, gadis itu meloncat dan duduk ke atas meja tepat di depan kursiku. “Wanna try this?”, dia menyodorkan buah berwarna oranye kepadaku.
Aku memutar-mutarnya. Buah seperti ini belum pernah kutemukan di Bandung daerah perkotaan. Seperti jeruk, tapi jelas bukan. Mungkin markisa, atau sejenis buah naga versi Cikalong Wetan?
“Makan aja,” Joy terkekeh. “Ga beracun.”
“Udah dicuci?”
“Barusan.”
Aku mengigit sedikit. Seketika air liurku muncul mendadak dari dinding mulut, asam sekali.
“Namanya buah dengeng,” Joy makan seperempatnya. “Segar, kan?”
Aku nyaris memuntahkannya kembali. Joy terbahak.
Aku lekas-lekas membilas lidahku dengan air. Masamnya masih tersisa.
“I am sorry. Aku tak berniat mengejutkanmu,” ujar Joy.
Masih melet-melet, aku mengecap rasanya. Asamnya masih kentara diujung lidahku.
“Kamu kok bisa disini?”, tanyaku, mencoba mengalihkan rasa yang menusuk ini. Kupikir, sepertinya destinasinya ialah menempati sebuah rumah sakit di luar negeri atau klinik bertaraf internasional. Gestur, bahasa, wajah, dan kapasitas otak sudah mendukung.
“Kenapa memang? Aku suka tempat ini,” katanya. Aku mengerling, pandanganku bertemu dengan mata coklatnya.
“Emang, gimana disini, Joy?”
Joy menggosok-gosok dagunya. “Gimana apanya?”
“Kerjaan?”
“Mirip RS tempat kamu kerja, lah.”
Pemandangan IGD tempatku bekerja lewat sekelibat di pikiranku.
“Pagi hari lumayan sibuk, sih. Rutinitas pagi itu nyapu, bersihin lawa-lawa dari serangga, sebelum doa dan briefing pagi. Disini, klinik dimulai pukul 06.00. That’s why kita disuruh bangun pukul 04.00. Soalnya, mandi ngantri. Aku pernah enggak mandi pagi, gara-gara telat bangun,” Joy merendahkan suaranya, tetapi tetap saja terdengar oleh Awina dan teman-teman yang lain. “Tapi tenang aja, pukul 04.00 pun hawa disini sudah lumayan hangat.”
Aku tertegun. Si high-class girl ini barusan memberitahuku rutinitas paginya membersihkan lawa-lawa?
“Kita ditempatkan di satu ruangan yang sama?”, tanyaku, mengingat jumlah kami hanya belasan saja. Joy menggeleng. “Enggak, Rein. Dua orang untuk satu ruangan. Sebenarnya kita disini lebih banyak membantu secara teknis sih, menurutku, Rein. You know, pengaturan waktu, lean hospital, model penugasan. Manajemen disini masih kurang baik. Sebaliknya, perawat asli sini juga mengajari banyak hal. Disini kebanyakan pengobatannya masih herbal, Rein. Dan itu diperbolehkan oleh dokter setempat. Kamu bakal betah di klinik, deh,” Joy menaruh dagunya ke atas telapak tangan. “Warga disini juga ramah-ramah,” katanya lagi.
“Makan dulu, makan dulu,” Bu Warsini menghidangkan sepiring besar ayam balado. Lalu disusul tempe, sambel dan sayur asem. Asap mengepul menghangatkan wajah kami, disusul wanginya menggelitik penciuman. Vita pasti pasang emote ngiler kalau aku post foto makanan ini ke instagram.
Bu Win melirikku sekilas, matanya masih mengisyaratkan rasa tidak enak padaku, entah untuk apa. Aku hanya tersenyum saja.
“Dan, satu momen yang paling ditunggu sama anak-anak sini adalah saat jam makan,” Win menyuapkan kuah sayur asem ke atas piring. “Masakannya Bu Warsini jempolan banget, Rein. Kamu harus coba semua.”
Aku mengangguk bersemangat.
“Pelan-pelan,” Joy geleng-geleng ketika sendokku menyenggol ujung piring. Kuah sayur asem tumpah ke meja. “Mau aku ambilkan tisu?”
“You treat me like a baby, man,” aku tertawa. “Yes you are,” bisiknya. Joy mengelap kuah itu hingga bersih. Aku cepat mengambil alih.
“By the way, kamu seruangan dengan Baron. Di IGD juga, kalau enggak salah,” kalimat Awina sedikit menurunkan napsu makanku. Aku menelan angin.
“Baron?”, ulangku.
Awina mengangguk. “Tenang saja, dia tidak sebar-bar awalnya, kok, Rein. Aslinya dia baik.”
Aku menguatkan hatiku. Ini akan biasa saja. Meminjam kata-kata Jack, open your mind terhadap segala perubahan, meskipun mengagetkan. Lagipula, aku percaya diri bahwa aku bisa beradaptasi dengan siapapun.
Aku menyendok sesuap lagi.
“It’s not bad. Believe me,” Joy menepuk pipiku. Telapak tangannya hangat.