Aku mencari-cari salah satu dokumen rekam medis di dalam laci. Sebenarnya, aku ragu melakukan ini, karena mata Baron seolah ada dimana-mana, mengawasiku. Hanya bermodal ingatanku akan zona hijau—bed nomor enam tepat tiga hari yang lalu. Nomor bed di IGD kadang dicantumkan, kadang tidak. Yang pasti dicantumkan adalah nomor kamar jika ia rawat inap.. Rekam Medis IGD belum bisa sepenuhnya dicatat di komputer pendokumentasian, karena pasien yang datang silih berganti kadang mengacaukan pencatatan, sementara petugas rekam medis disini terbatas.
Betul, rekam medis Joy yang berisi data-data klinis adalah yang sedang aku cari saat ini. Aku sudah berniat mengacuhkannya saja, tetapi pikiranku tentangnya mengikuti. Dan akupun tak tahu mengapa sebegitu gencarnya aku mengurusi ini. Aku hanya merasa perlu tahu, karena beberapa kali aku menemukan Ia berlari ke arah hutan.
Sepertinya semesta berniat untuk memberitahukan sesuatu.
Aku ingat, ketika aku hendak menemuinya sekali lagi—tentu saja—Baron menyeretku untuk mensterilkan barang. Aku menyelesaikan pencatatan barang-barang yang sudah selesai disterilkan setelah senja berganti bulan.
Itu kedua kalinya aku gemas karena rasa penasaranku lagi-lagi harus ku tunda, dan kedua kalinya pula aku harus menangis karena lapar.
Aku pikir, mungkin Joy sebenarnya tahu tentang ada apa di hutan itu. Kemungkinan dia tahu jelas bukan nol persen. Bagaimanapun aku harus menemukan data-data miliknya.
Sayang, Dion tidak masuk hari ini. Satu-satunya informan terpentingku tidak masuk karena sakit. Semetara, perempuan memang tidak boleh masuk ke mess laki-laki, begitu pun sebaliknya. Kami hanya boleh saling bertemu di ruang -ruang bersama, seperti refter, ruang pertemuan, ruang belajar. Jelas kemungkinan kecil Dion pergi kesana jika memang Ia sakit.
Kembali aku memutuskan untuk mencari diantara map-map coklat itu, siapatahu aku menemukan keberuntungan. Beberapa kali aku harus menunda pencarianku karena pasien membludak hari ini. Aku harus bersabar menunggu waktu makan siang tiba.
Erina lewat didepanku, kemudian mundur lagi. “Ada masalah apa, sih, Rein?”
“Aku—” aku melap tanganku setelah mencuci tangan. “Enggak. Aku hanya lagi mencari data seseorang. Kenapa memangnya?”
“Enggak, bukan itu maksudku,” Erina menggeleng. “Baron mengumpulkan anak-anak ketika makan siang nanti. Di refter. Kudengar beberapa kali dia menyebut namamu. Ada apa, sih?”
Oh, hell. Hari ini persidangan—thing. Aku menghela napas. Waktu pencarian ketika makan siang terancam gagal.
¼
Joy, ada disitu.
Mataku menemukannya sesaat setelah aku memasuki refter siang ini.
Joy sudah memakai seragam hijau-hijau ICU miliknya. Dia sudah mulai bekerja.
Aku menatap sosok itu sekali lagi. Jelas, dia manusia yang aku lihat subuh tadi, dan subuh-subuh sebelumnya. Lengan panjangnya ia singkapkan sembarang, dan masih memakai selop khas ruangan intensif itu. Ia sudah jelas-jelas melanggar peraturan rumah sakit. Tetapi, gadis itu acuh. Matanya beberapa kali menatap wajah Baron dengan gemas, entah karena apa.
Persidangan dimulai. Seperti biasa, aku didudukkan ditengah. Beberapa perawat IGD yang juga anggota mess kami mengitariku. Dokter dan perawat lainnya terpaksa pindah makan ke meja sebelah. Baron memang si raja hutan.
Setelah Baron menjelaskan kronologis dengan singkat, semua mata kembali menatapku gemas. Antara kesal, marah, dan jengkel karena acara makan siang mereka terpotong oleh persidangan ini.
Aku tak bisa menceritakan tentang alasanku pergi keluar mess dan tentang Joy si rambut coklat itu, karena persidangan akan berlanjut lebih lama. Lagipula, kemungkinan dugaan akan berujung kepada Joy. Wanita itu adalah satu-satunya anggota mess yang mengecat rambutnya menjadi kecoklatan. No other.
“No offense, ya, Rein. Tapi bener, itu elu?”, Wigar menyelidikiku. “Maksudnya, please. Hidup disini itu sesimpel kerja dan diakhir bulan dapet gaji gede. Ga harus bikin ulah buat naikin rating keberadaan elu, sih. Bikin ribet yang lain, masalahnya.”
Rating keberadaan?
Awina—yang juga ikut di persidangan ini—menjawil lengan Wigar. Isyarat untuk diam.
“Just answer,” ujar Baron.
“Aku enggak,” apalagi yang harus kujelaskan? Aku memang tidak berniat pergi kesana pagi itu. “Just trust me. I know how to obey your rules, Bar.”
“Kamu yang paling susah diatur, bukannya?”, Ret menyela. “Beberapa kali aku lihat kamu pergi keluar kamar saat jam malam.”
Aku menghela napas. Sudah kuduga keputusan buruk untuk pindah tidur ke kamar Joy. Tapi tidaklah tepat juga jika mimpi buruk itu membuat konsentrasiku menurun saat bekerja karena kurang tidur.
Sama saja. sama-sama akan mendapat sanksi dari Baron, kurasa.
“Sejak tiga hari yang lalu, dia ada sama gue,” Joy angkat bicara. Jemarinya ia masukkan kedalam kantong blazer hijau-hijaunya. “Don’t wasting your time buat bahas beginian.”
Aku memang beberapa kali menginap di kamarnya. Tetapi tidak dengan tiga hari belakangan ini.
Baron tersenyum, seolah ada yang Ia ketahui tentang Joy.
“Selama tiga hari saya lihat dia pergi keluar mess subuh-subuh. I saw her.” otot-otot leher Baron muncul. “Sebelum dia pindah kesini, tak ada satupun yang saya lihat keluar dari mess sepagi itu.”
“Mungkin memang ada yang pergi ke hutan, mungkin elu emang ngeliat itu. Tapi bukan Reindita.”
“Who, then?!”, Baron gusar.
Joy menggeleng. “I don’t know! She sleeps with me all nights!”, teriaknya.
Tidak ada aktivitas secuilpun sesaat setelah Joy mengatakan itu. Bahkan jarum jam dinding pun mungkin memilih untuk berhenti berdetak jika saja ia bisa.
“Slept with..who?” tanya Awina, memecah keheningan.
Semua saling berpandangan, and finally staring at me and Joy.
“Are you..lesbian or something?”, tanya Ret—sungguh—tak memperbaiki keadaan.
Joy melirikku. Hanya ada mata coklatnya, dan kali ini sebersit kecanggungan.
“With me,” jawabku mengalir begitu saja. Entah untuk pertanyaan Awina atau Ret. Yang jelas, Joy langsung membelalakan mata padaku.
“Jam makan sudah habis, Baron. Kita belum operan siang,” ujarku, lalu meninggalkan tatapan-tatapan curiga semua rekan seper-mess-an kami.
Langkahku berjalan tidak tergesa, tidak juga terlalu lambat, menelusuri lorong menuju IGD. “Kenapa bilang begitu?”, Joy menyusulku, sebelum kemudian menghentikan langkahku.
“Soal apa?”, aku balik bertanya.
“That-thing?”, jawabnya ambigu.
“Biar saja,” aku menyela. “Joy, look. Dia melarang kita sebegitunya, kamu enggak aneh? Pasti ada alasan kuat kenapa dia sampai melarang kita. Pasti dia tahu ada apa sebenarnya disana. Mungkin sesuatu yang lebih melanggar?”
Kamu juga pergi kesitu, tambahku dalam hati.
Joy berkacak pinggang. “Aku--aku bukan sedang membahas itu. Bukan itu masalahnya sekarang. This-is-about-us,” Joy memelankan suaranya. “Tadi itu, bukan berarti kamu harus mengaku kalau kita—,”
“Yang penting kita tahu, tidak begitu kenyataannya.”
Joy menggelengkan kepala, “Aku enggak peduli apa yang mereka bicarakan tentang aku. Tapi ini menyangkut kamu. Kredibilitas kamu disini.”
“Oke, oke,” kataku menyerah. “Nanti akan aku bicarakan. Tapi, enggak sekarang.”
Pertemuan kami diakhiri dalam diam didepan ICU. Gadis itu akhirnya berbalik membuka pintu ruangannya dengan percakapan yang belum selesai. Suara monitor dan pump bertalu-talu seperti menyambutnya datang. Pintu ditutup. Membiarkanku berdiri disana dalam sepi.
¼
Cahaya mentari pagi membangunku kala itu. Selimut yang tersingkap dan sepatu wol tidurku yang sudah terlempar entah kemana, meninggalkan pasangannya yang masih bertengger di kaki kiriku. Satu-satunya yang kuingat adalah aku tidur larut tadi malam. Persidangan tunggal yang dipimpin oleh Baron sebagai jaksa sekaligus hakim, berlanjut dengan aku yang harus mengerjakan patofisiologi tentang Chronic Obstructive Pulmonal Disease, sekaligus clinical pathwaynya. Katanya, pasien itu datang pada jam dinas siang, dan Baron menyuguhkan pasien itu kepadaku sebagai makananku berikutnya. Sekaligus hukuman. Aku mengerjakannya sampai menjelang pagi.
Aku ingat ketika ia memberikan tugas itu padaku. Baron tidak bertanya lebih lanjut tentang isi persidanganku yang sebenarnya masih menggantung.
Aku melewati cermin kecil. Baru kusadari aku belum pernah sekusut ini.
Anyway, ini hari Minggu. Hari dimana penghuni mess boleh bangun lebih siang dari biasanya, dan beraktifitas lebih leluasa dari biasanya. Ada orang yang sedang bercakap-cakap diluar kamarku dengan aksen Jawa, dan langsung kutahu itu siapa. Awina dan Ret, dua orang yang sama sekali tak terpengaruh oleh judul Hari Minggu, karena mereka tetap bangun pukul empat pagi layaknya hari biasa. Aku jadi mencuri dengar obrolan mereka.
“Jadinya Baron?”
“Iya, kali. Ya habis mau minta tolong Ben enggak mungkin. Dia kan enggak ngerti birokrasi.”
“Jadinya apa aja gitu yang dikirim?”
“Kayak yang kemaren dibilang. EKG. Alat cek gula darah. Sama tensimeter gitu. Masih kurang sih, disini. Si Baron emang pinter banget ngelobi orang DinKes.”
Terdengar suara tawa kecil di balik tembok.
“Pagi ini dia, perginya?”
“He-eh. Ampe sore kayaknya. Kita minta tolong Bu Warsini bikin rujak, yuk. Beli di pasar aja, buahnya. Mumpung Baron enggak ada,” suara mereka makin jauh. Sepertinya mereka sedang dalam perjalanan menuju kamar mandi. Aku melirik ke arah jam dinding. 07.15. Sudah cukup terang untuk sekedar berjalan-jalan.
Mengulang kata-kata Ret, mumpung Baron enggak ada.
¼
Pernah enggak, sih, merasa ingin pergi ke suatu tempat tanpa alasan yang jelas? Misalkan kamu tiba-tiba pengin banget pergi ke hutan raya di Dago Pakar Bandung, atau sekedar menikmati moccacino di Takigawa Café? Tak ada yang membawaku kesini, kecuali rasa penasaran. Bahkan, kejadian belakangan ini membuat ruang gerakku lebih dibatasi dan lebih diawasi. Tetapi, aku hati nuraniku membawa aku kembali kesini, lagi. Dan lagi.
Jejak sepatuku tersapu oleh daun-daun kering, menyamarkan bekas keberadaanku sekali lagi. Aku mengendap-endap seperti biasa, tak bersuara seperti biasa. Celakanya, perhatianku lagi-lagi teralihkan dengan kehangatan tempat ini. Cahaya matahari pagi tak langsung menyorotiku, tetapi terhalang oleh pohon-pohon berdaun lebat yang berada di sisi kanan dan kiri tempat aku berjalan. Bunga-bunga berwarna kuning-putih kecil yang tumbuh liar, dan beberapa binatang kecil terbang lalu hinggap di sembarang tempat. Beberapa belalang meloncat tak tentu tujuan dan lagi-lagi aku harus terkecoh dengan keberadaannya di antara rumput-rumput hijau. Begitu akrab.
Aku menyukai tempat ini. Tempat yang sebenarnya tak boleh terjamah oleh manusia versi Baron. Dan aku masih bertanya mengapa.
Keringatku bekas perjalanan tadi berdesir bersentuhan dengan angin pagi. Aku memperlambat gerakanku. Sepi disana. Tak kulihat lagi tanda-tanda manusia atau sisa-sisa pembakaran seperti kemarin. Aku melihat arlojiku. Pukul sembilan kurang sedikit. Aku masih punya waktu yang cukup lama sampai mentari tak terlihat lagi. Sampai Baron kembali ke mess kami.
Aku memutuskan untuk berjalan lebih jauh.
Sebuah hiasan bambu menggantung bebas di pohon, terikat tali. Hiasan bambu itu dipermainkan angin, menimbulkan suara tuk-tuk-tuk yang tak teratur, tetapi menggelitik telinga untuk terus mendengarnya lagi. Aku menapaki pohon itu, tak ada sedikitpun jejak sepatu yang tersisa disana.
Langkahku terhenti saat mendengar gesekan sesuatu, tetapi degup jantungku semakin jelas berdetak. Mataku mengawasi sekitar dengan tajam.
Ada yang bergerak.
“Siapa itu?”
Tak ada suara yang menyahutku. Siapa itu tadi?
Lima menit yang lalu aku berharap kalau yang tinggal disini adalah manusia, bukan makhluk jadi-jadian atau semacam troll. Sekarang, aku menyangsikan bulu kudukku ini tidak ada yang merinding.
Terbersit kesepuluh peraturan yang dibacakan Win sepuluh hari yang lalu. Aku tak boleh disini, apapun alasannya. Baron pun mengatakan itu berulang kali, seolah-olah akan ada sesuatu yang buruk terjadi jika aku datang kesini.
Kejadian terakhir dalam ketakutan ini adalah ketika seseorang mendekap mulutku dari belakang. Sekali lagi.
¼
“You shouldn’t be at there, you know!”, Joy berteriak setelah ditemukannya sebuah pohon tua yang besar untuk tempat kami bersembunyi. Menyesal, akhirnya dia melihat sekeliling untuk memastikan tidak ada yang mendengar teriakannya barusan.
Aku menelan ludah. Sekeramat itukah tempat ini?
“And why not? You were there also,” sahutku.
“Aku membuntutimu!”, balas Joy, rambutnya yang sudah agak panjang terlihat tak beraturan, menutupi matanya.
“You lied. I see you go to that place every single dawn,” tukasku ragu. “Kenapa kamu enggak pernah kasih tahu aku? Ada apa disana?”
“Terlalu berbahaya buatmu!” sergahnya. “Tempat itu keramat, Re.”
Aku tergagap.
“So.. So, is that really you?” aku memvalidasi.
Joy tidak mengiyakan, tak juga menyanggah.
Selintas, aku teringat percakapanku dengan Echo dulu, ketika Molly, anjing kesayanganku hilang di suatu sore.
“Elu tahu enggak, gimana caranya tahu apakah seseorang lagi bohong, atau enggak?”
Aku tetap menangis sambil memegang tali leher Molly. Molly, anjingku, tiba-tiba hilang malam tadi.
“Pegang tangan dia,” Echo menggenggam tanganku. “Tapi jangan terlalu smooth, nanti dia baper,” Echo terkikik. Aku tersenyum kesal padanya.
“Raba aja denyut nadi dia, kalau sebelum itu dia enggak lagi beraktivitas berat, tapi heart rate nya cepat, it means he is lying to you.”
“Terus, kata ahli psikologi sih, kalau lagi jawab pertanyaan, orang yang lagi bohong biasanya melirik ke arah kanan.”
“Kalau liriknya ke arah kiri?”, ujiku.
“Kayak gini?”, Echo menatap mataku. “Berarti ada orang yang dia sayang ada disebelah kirinya.”
“Taik, kamu,” aku geli sendiri. Eco terbahak.
“Yang ketiga, terkesan cepat menjawab, sambil showing uncomfortable body language.”
“Maksud kamu?”
“Misalnya, elu suka sama gue?”
“Apa?”, aku melotot. “Enggak!”
“Berarti itu indikasi berbohong. Elu bilang enggak tapi pipi lu merah gitu.”
Sialan. “Panas, man!” aku menunjuk matahari. Echo tertawa.
“Tapi, kita juga bisa tahu kalo seseorang mau bohong, tapi enggak tega sama yang mau diboonginnya.”
“Ada ya, enggak tega kayak gitu?”