Echo dan aku menyusuri jalan kecil, melewati pohon satu ke pohon lain. Sisa-sisa air hujan jatuh dari daun, dan wangi tanah menyeruak menambah kesejukan perjalanan kami sore itu. Menyusuri jalan yang sama, yang sudah aku telusuri beberapa kali: sendiri, bersama Joy, dan kali ini bersama Echo. Dua-tiga teguk air putih dari tumbler Echo barusan cukup memberikan oase di gurun kerongkongan yang sempat kering. Rimbunnya pohon-pohon dan cuaca sejuk sedikit menenangkanku bahwa paling tidak ini masih di tempat yang ku kenal, meskipun kali ini aku bersama dengan seseorang yang sama-sama belum secara legal diijinkan masuk ke wilayah ini. Permainan petak umpet dengan Baron, Joy, atau yang lainnya secara resmi dimulai, sebelum saatnya nanti aku kembali ke mess dengan aman.
Lagi-lagi, kami dikejutkan oleh sesuatu.
Seseorang. Itu jelas seseorang. Sedang berkomat kamit di balik pohon besar, terhitung sekitar empat meter dari tempat kami berdiri. Ia mengatupkan kedua tangannya, seperti sedang berdoa, tetapi matanya tidak terpejam. Ia sungguh-sungguh seperti sedang mengawasi sesuatu.
Beberapa menit berselang, aku tidak menemukan jawaban lain selain harus kutanyakan sesuatu—paling tidak apa yang sedang ia lakukan.
“Permis—”
“Sret.”
Sesuatu menyentuh pipiku halus. Stainless. Ujung tajam.
Titik-titik darah jatuh dengan mulusnya, dari pipiku, mendarat di atas kemejaku.
Yang tersisa kali ini, hanyalah suara lolongan ketakutanku.
¼
“Mereka adalah barang..”, desisnya dengan tangan gemetar, masih memegang bilah pisau itu. “Mereka adalah barang..”
Aku masih dalam usahaku menghentikan darah yang keluar dari pipi, sambil terus mencerna apa yang ia maksudkan. Sudah puluhan kali mereka-adalah-barang- itu keluar dari mulutnya, tanpa embel-embel penjelasan apa-apa dibelakangnya.
“Sreek!,” Echo menyobek kemeja bagian bawahnya dan melipatnya menjadi tebal. “Tekan,” katanya sambil menyerahkan itu padaku. Aku menempelkan kain berlipat itu dalam-dalam ke pipiku. Darahnya ku yakin sudah mulai berhenti tapi perihnya masih terasa. Semoga itu tidak menyayat terlalu dalam.
Echo lembut tapi tegas menarik lenganku dan memasang badannya didepanku.
“Jatuhkan dulu pisaunya,” katanya agak nyaring. Laki-laki itu tetap memegang pisaunya, semakin erat. “Kamu bagian dari mereka?”
Kami menggeleng bersamaan. “KIta memang baru saling kenal, tetapi kamu bisa percaya kami,” kata Echo tegas.
Rasa ingin tahuku sungguh besar mengalahkan rasa perihku kali ini. Seseram apapun orang ini, sepertinya dia adalah informan yang dijatuhkan tepat didepanku hari ini, untuk kami.
Masih dengan sikap siaga, aku mencoba menelaah maksud dari ucapannya.
“Kalau kamu mau, kamu bisa menceritakannya.. pada kami. Ada apa disini.”
“Bukan saya yang menyuruhnya kesini!”, ia meremas rambutnya sendiri, mengguncangnya sekuat tenaga. Echo berusaha menghentikan usahanya menyiksa diri sendiri. Berusaha menenangkannya.
“To.. Tolong Joina,” akhirnya ia berbicara. Air mukanya sama sekali tidak mengisyaratkan ketenangan, padahal jelas ia baru saja mendapat kawan baru. Sebenarnya, keinginan untuk lari sudah ada sejak tadi, mengingat ia terlihat berbahaya. Tetapi, keberadaan Echo sangat membantu menenangkan di situasi seperti saat ini. Besides, aku sungguh tak tahu apakah darinya aku akan merugi atau malah bisa mendapatkan sesuatu.
Yang jelas, Joina adalah nama panjang Joy.
Seru-seruan dan bunyi-bunyian terdengar dari timur jalan. Gaduh. Seperti sekumpulan orang yang sedang memuja sesuatu. Suara gondam dan gong bersahut-sahutan. Akan ada perayaan disini, pikirku. Seiring dengan suara mereka yang semakin dekat, raut wajah lelaki ini semakin mengkhawatirkan saja. Terkaget, ia memegang pipiku dengan kedua tangannya yang basah oleh keringat.
“Kalian orang biasa, kan?”, tanyanya.
“Biasa?”, Echo mencoba memperjelas arah pertanyaan laki-laki ini. Maksudnya dia mengharapkan kami adalah dedemit atau apa?
“Orientasi seksual kalian,” suaranya bergetar kembali. “Bukan penyuka sesama jenis, kan?”
Memangnya kenapa?
“Aku lesbian,” kataku pasti. Aku harus tahu apa yang terjadi sebenarnya disini.
Echo menyenggol siku-ku halus, sebelum akhirnya menyadari apa maksudku.
“Kau sembunyi,” bisik laki-laki itu kemudian, dengan suara gemetar. “Kau akan diincar.”
Aku sedikit gugup mendengar tanggapannya. Ia menarik tanganku dan langkahnya mulai berlari. Echo ikut berlari membuntuti kami, alih-alih mengamankan diriku seperti biasanya.
Dan kini, aku berpikir apakah tepat jika aku mengikutinya?
Langkahnya membawaku berlari searah dengan suara-suara tadi. Ada yang tidak beres disini. Ia menyuruhku lari tetapi ia mendekatkanku pada mereka?
Langit menggelap. Aku merasakan batu-batu kerikil yang tajam menusuk sepatu ketsku dari bawah. Tak dapat lagi aku melihat jelas ke tanah, sebab penerangan disini minim sekali. Beberapa kali aku harus mendapati tanganku tergesek ranting kering. Perihnya tertutupi oleh rasa takut yang semakin menyergapi. Aku mulai melirik Echo, tak nyaman. Echo lagi-lagi membiarkanku tetap berlari, tidak mencegah langkahku sama sekali. Echo kali ini menuruti egoku, bukan perasaanku.
Diantara ketergesaan, aku menyempatkan diri untuk bertanya, “Kita mau kemana?”
Laki-laki itu tak menggubrisku kali ini.
Aku—mau tak mau—melepaskan tanganku dari genggamannya.
“Aku harus tahu kemana kita akan pergi,” suaraku bersaing dengan suara nyanyian dan tabuhan alat musik yang semakin keras.
“Kamu mau tahu, kan? Kalau mau tahu, diam saja dan tetap ikut aku,” ia sigap meraih tanganku dan kembali berlari. “Yang perlu kita lakukan ialah berada di belakang mereka.” Masih setengah paham, aku melanjutkan aktivitas lariku, mengikutinya. Hampir dekat dengan sumber kegaduhan, ia mempererat genggamannya di tanganku. Aku merasa ia sedang ketakutan.
Kami berada sangat dekat dengan mereka. Aku, Echo, dia, dan orang-orang itu. Aku memaksa dia untuk berhenti, meskipun ia—yang namanya pun belum kuketahui—terus berusaha menarik lenganku untuk terus melangkah. Aku merasa perlu berhenti untuk melihat apa yang akan terjadi. Dari antara pepohonan dan daun yang merambat, aku menyaksikan parade panjang ini.
Mereka rapi. Tak terlihat seperti upacara adat atau upacara religius atau apa. Kemeja berkerah, rambut ditata rapi. Celana kain dan sepatu hitam. Aku memicingkan mata ketika kulihat seseorang duduk didalam sebuah jeep. Dia, kukenal.
Laki-laki di sebelahku pucat pasi. Aku mendapati ia tak bergeming menatap ke jeep itu.
Ia menggumam, seperti mengutuki dirinya sendiri. Air mukanya muram. Aku samar melihat setitik air bening meluncur satu dari sudut matanya.
Satu kata yang bisa kudengar diantara gumamannya,
“Joina. Joina..”
¼
Darahku mendesir hebat. Setiap jengkal pembuluh darah milikku mendadak merenggang, irreversibel. Seolah cairan tubuhku lewat melalui sela-selanya. Aku lemas, tetapi mataku tetap mencoba fokus ke dalam sana.
Itu adalah Joy. Kali ini bisa kupastikan perempuan yang barusan turun dari jeep dan masuk ke dalam situ, adalah Joy.
Aku mengintip dari celah ventilasi belakang ruangan, laki-laki tadi yang menunjukkan celah itu untukku. Karena letaknya agak tinggi, tanpa ba-bi-bu Echo menyuruhku menaiki pundaknya agar mataku dapat menjangkau celah itu.
Ruangan itu luas. Ada sedikit penerangan dan kotak kaca besar yang mengisi ruangan itu sehingga menambah kesan ‘berisi’. Kursi berkaki besi diletakkan tepat di depan kotak kaca itu, dan Joy mendudukinya dengan gerak-gerik yang kaku.
Lampu damar kecil hanya sanggup menerangi setengah tubuhnya. Tetapi berkat lampu damar itu, aku tahu matanya sedang terpejam.
Dia pucat sekali.
Apa dia bisa mengetahui keberadaanku?
Apakah bisa seperti Echo yang cepat mencium aroma tubuhku?
Ia tak banyak bergerak. Matanya tetap terkatup. Tetapi dari sudut itu aku bisa melihat keseluruhan bagian tubuhnya. Goresan-goresan tipis lagi panjang terlihat samar menghiasi lengan dan pipinya. Itu jelas disebabkan benda tajam. Dari celah itu pula, aku bisa melihat beberapa tusukan seperti jarum akupuntur yang ukurannya sedikit lebih besar, tertempel di beberapa bagian tubuhnya. Di tangan, telinga, sudut mata, pipi, dagu, tumit kaki, telapak, aku menghitungnya. Aku menghitung berapa buah jarum itu menusuk tubuhnya. Tiga belas. Tiga belas yang terlihat. Belum lagi yang tidak terlihat.
Aku melihat bukan hanya Joy di ruangan itu, tetapi juga beberapa wanita dan laki-laki di belakang Joy, seperti sedang antri. Mataku kembali teralih kepada Joy. Gadis itu membuka matanya perlahan dan kemudian melepas selopnya. Tersisa kaus kaki yang akhirnya dibiarkan kotor begitu saja saat menyentuh tegel. Seorang laki-laki menjulurkan kayu berujung bara api.
Sekelibat, aku mengingat sisa-sisa pembakaran yang kutemukan di pinggir jalan, setiap kali aku mencoba masuk ke daerah ini.
Ujungnya yang terlihat masih panas, ditusukan dengan tidak manusiawi ke punggug atas Joy. Aku terperagah. Ia berteriak sekali. setelah itu, hening.
Laki-laki itu lantas berbicara kepadanya—aku tak bisa melihat wajahnya karena ia membelakangiku—dan Joy mengangguk lemah, masih menanggapi.
Joy, dengan perlahan maju menuju kotak kaca itu, yang ternyata berisi air. Masih belum bisa kutebak kegiatan macam apa ini. Joy merendamkan tubuhnya sampai ke bahu atas. Pelipisnya terlihat bergetar, tersorot cahaya damar. Sejurus setelahnya, beberapa balok es ditumpahkan ke dalam kotak kaca itu.
Joy mengerang, sedikit menggeliat, tak nyaman. Aku bisa melihat ia tersiksa disana. Sekilas kepalanya menggeleng, alisnya berkerut. Kegiatan ini bukan untuk ketenangan. Ia sedang gelisah. Seperti sedang berusaha untuk menolak sesuatu.
Teringat aku dan Echo pernah sok-sokan “ice-challenge”, memegang beberapa balok es kecil bekas minuman dingin, dan berujung telapak tangan kami merah-merah dan mati rasa.
Aku bisa membayangkan keadaan itu dirasakan oleh sekujur tubuhku. Rasanya seperti ribuan jarum menusuk dagingmu inci per inci, tanpa terkecuali.
Seseorang didepannya tiba-tiba berdiri. Suara gemerincing gelang kakinya beradu dengan gemerincing hiasan pintu yang kudengar tertiup angin sedari tadi. Ia mengambil sebuah foto dan menempatkannya tepat di depan Joy.
Aku menyipitkan mataku untuk memastikan siapa di foto itu.
Itu,
Itu fotoku.
“Rein,” Echo berbisik dari bawah. “Aman?”
Aku tergagap, tidak bisa mengeluarkan suara. Aku kaget setengah mati. Kenapa fotoku?
Laki-laki disamping Joy mengambil sesuatu, seperti sebuah cambuk. Ukuran batangnya kutaksir setengah meter, dan panjang talinya satu setengah—kurang lebih. Bulu romaku sudah berdisko sedari tadi.
Ia menempelkan cambuk itu diatas punggung Joy yang sudah memiliki luka bakar. Selaki-lakinya wanita ini, aku bisa merasakan ketakutan yang sedang menggerogotinya. Alisnya berkerut ketika cambuk itu memecah udara dengan cepat, sebelum mendarat dengan keras di punggungnya.
“Pcaaat!”
Aku menutup mata, nyaris menjerit. Bahunya membungkuk, seperti sedang mencoba menahan sakit.