1/4

Sancka Stella
Chapter #7

#TITIK CERAH

Echo melempar-lempar kaleng colanya. Kaleng itu menentang gravitasi barang sebentar, lalu kembali dengan mulus keatas telapak tangannya.

“Lo yakin gue ga perlu ikut campur urusan lo?”, Echo bertanya untuk kesekian kalinya, dengan pertanyaan yang itu-itu lagi. Aku menghela nafas, “Pengennya sih, ada kamu juga,” aku akhirnya nyengir. “Kamu jadi jubir aku aja, ya, Cho,” aku memainkan kelingkingnya. Aku pautkan kelingkingku dan kelingkingnya. Jari-jarinya besar. Kelingking dia satu ukuran dengan jempolku. “Ini jari dokter apa jari kuli, sih?”, Aku mengacungkan kelingkingnya. “Gue kebanyakan ngangkat timbangan, ancang-ancang buat dilempar ke mukanya Dave. Kali dia berulah.”

Aku tertawa. “Kalian perang terus tapi kamu yang dia ajak kemanapun. Sampai-sampai ke Cikalong Wetan juga kamu ngikut?”

“Kan gue bilang, kalo gue kesini karena ada elu,” Echo manyun. “Nah kan, ini buktinya. Ga butuh waktu lama kan buat memastikan elu emang butuh gue.” Aku memijit kelingkingnya. Echo meringis. “Sakit, Rein!”

Aku menghela nafas. Mencoba memantapkan hati bahwa aku tak harus bergantung pada Echo untuk urusan ini.

“Semoga semua penjelasan lu ke mereka nanti bisa nyampe, dan praktik itu bisa distop, ya?”

“Semoga aja, Cho. Aku berharap banget.”

Anyway, Cho,” aku mengacungkan tanganku. “Apa guna sebuah tangan?”

Echo tertegun, tidak kaget. Cuma kepada dia aku bisa mengajukan pertanyaan serandom itu.

“Untuk memegang benda, untuk menulis, untuk—nanti—menyematkan cincin di tangan yang lain,” Echo tersenyum. “Lu lagi mikirin apa?”

“Cho, gue pernah denger dari youtube seorang sejarawan, bahwa tiap organ dari tubuh manusia ini bisa melakukan beberapa hal. Bisa saja yang tidak umum dilakukan. Kita hanya mengikuti kebiasaan saja, selama ini.”

“Misal, dulu, tangan bisa digunakan untuk memanjat pohon. Karena orang dulu tahunya hanya begitu. Sekarang tangan bisa digunakan untuk bermain piano. Mengetik di ponsel.”

So, I agree with him, then.”

“Contoh lain lagi, dulu mulut digunakan untuk memasukkan makanan ke dalam mulut. Sebelum manusia purba mengenal bahasa. Sekarang, manusia menggunakannya juga untuk berbicara.”

Echo mengangguk “Jelas.”

“Apakah itu alamiah?”

“Iya, jelas,” jawab Echo tanpa perdebatan.

“Dan tentang seksual, pada awalnya untuk tujuan menghasilkan individu baru, berkembang biak. Dan sekarang, untuk meningkatkan keintiman, dan menjalin sebuah hubungan.”

Alih-alih langsung menjawab setuju, Echo diam, sepertinya mulai mengerti arah pembicaraanku.

“Seksual? Elu lagi mengarah ke ‘organ seksual’nya kah, atau ke ‘kata kerja-melakukan hubungan seksual’? Soalnya sekarang kan kita lagi bahas organ-organ tubuh manusia yang particular ya. Artinya bisa multifungsi gitu.”

Aku berpikir.

“Tapi kalau elu mengarah ke seksual sebagai kata kerja, itu benar juga sih. Selain untuk bereproduksi, aktifitas seksual juga bisa digunakan untuk meningkatkan keintiman dan menjalin sebuah hubungan. Tapi itu mungkin sudah ada sejak jaman dulu, ya. Menjalin hubungan dengan seseorang, ditandai adanya perkawainan dengan orang tersebut. Apalagi setelah tahu aktifitas seksual yang bergantian pasangan dapat meningkatkan resiko tertularnya infeksi seksual, makanya ada perkawinan monogami.”

Aku mengangguk setuju.

“Tapi aku kurang tahu, ya, Cho, sejarawan ini mengarah kemana. Ke kata benda –organ seksual—atau ke kata kerja. Tapi seandainya dia mengarah ke kata benda, artinya beberapa organ tubuh manusia bisa juga digunakan untuk aktifitas seksual, mungkin.”

Echo melihat kepadaku dengan sungguh-sungguh.

“Contohnya? Anus? Untuk memasukkan penis kedalamnya?”

“Cho,” aku mulai bimbang. “Bisa engga, kita mengindahkan hal itu? Ternyata benar, itu natural dan organ itu bisa digunakan untuk hal tersebut. Jadi fokus kita itu hanya untuk mencegah penularan HIV AIDS saja dan, karena manusia heteroseksual juga bisa mengalami itu.”

“Rein, elu kenapa?”

“Aku merasa engga bisa, Cho, melihat mereka menderita karena orientasi seksual mereka.”

“Elu mau gue kasih jawaban yang benarnya, atau yang memenangkan elu?”

“Kamu tahu aku selalu ingin pendapatmu yang jujur.”

“Rein.. misal, tadi kamu kasih aku contoh apa? Tangan untuk memanjat pohon, sekarang digunakan untuk bermain piano? Ya, itu natural. Tangan menjalankan fungsinya sebagaimana mestinya. Tangan tidak akan terkena luka ketika bermain piano. Demikian juga mulut tidak akan terkena luka jika berbicara dan makan.”

“Aktifitas natural yang harus dilestarikan adalah aktifitas yang tidak berdampak buruk terhadap manusia itu sendiri.”

“Sekarang pertanyaannya, bagaimana dengan anus? Dulu anus hanya digunakan untuk eliminasi, sebagai jalur pembuangan feses, sekarang bisa digunakan untuk aktifitas seksual? Organ anus berbeda dengan vagina. Vagina—elu yang lebih ngerti—punya sel-sel yang bisa menghasilkan pelumas dengan mukosa yang lebih tebal. Sehingga ketika penis masuk, akan sedikit sekali resiko menimbulkan perlukaan. Apalagi aktifitas seksual dengan foreplay terlebih dahulu. Untuk anus, tidak ada sel yang dapat menghasilkan pelumas sepeti halnya vagina, mempunyai pembuluh darah lebih banyak di sekitarnya, dan dinding yang lebih tipis. Akan lebih banyak resiko mengalami perlukaan apabila digunakan untuk aktifitas seksual, Rein.”

“Seperti halnya dahi untuk berjalan dan telinga untuk memegang sendok makanan. Bisa? Bisa, jelas bisa. Tetapi akan mengalami perlukaan. Karena kulit dahi lebih tipis daripada kulit telapak kaki kita, dan telinga punya lubang yang bila dijejali sendok, akan menutup pendengaran kita.”

“Semua bisa dilakukan, Rein. Semuanya bisa disebut natural. Ini adalah tentang adakah dampak negatif yang ditimbulkan atau tidak.”

“Lu pasti pernah baca di Centers for Disease Control and Prevention (CDC) Amerika Serikat, pria gay dan biseksual 17 kali lebih mungkin terkena Infeksi menular seksual (IMS) dibandingkan pria heteroseksual. Ya karena emang dari organ untuk aktifitas seksualnya saja sudah salah.”

Aku merenung. Jelas tidak ada yang bisa kusanggah secuilpun dari perkataan Echo.

“Tapi, kalau menurut sejarawan tersebut, seksual mengarah kepada sebuah aktifitas, dimana selain bereproduksi, aktifitas seksual juga bisa mengarah kepada peningkatan hubungan dan keintiman, jelas gue setuju seperti yang gue bilang tadi. Tapi, ketika kita melakukannya untuk tujuan yang kedua dan ketiga, jangan juga kita melupakan tujuan yang pertama. Untuk berkembang biak, menghasilkan keturunan.”

“Emang kenapa kalau tujuan pertama diabaikan, Cho? Misal, jaman sekarang kan banyak istilah child-free. Mereka menikah, berhubungan seks, tapi tidak menginginkan seorang anak.”

“Oh, kalau jalan pikiran elu kesitu, boleh saja. Tapi ingat,sejak jaman pemburu pengumpul, jaman pertanian purba, dan jaman industri, manusia berkembang biak dengan tujuan koloni mereka bertambah dan tidak mengalami kepunahan. Bahkan beberapa dari mereka berupaya memusnahkan hewan yang dianggap mengancam manusia karena besarnya atau ganasnya, dengan tujuan agar komunitas mereka tidak mengalami kepunahan. Sampai spesies hewan ganas itu menjadi punah, tidak ada lagi pada jaman sekarang.”

“Tujuan manusia sedari dulu untuk hal tersebut, ditambah kata-kata beberapa Kitab Suci yang mengajarkan tentang ‘beranakcuculah dan berkembangbiaklah’. Sekarang bayangkan, Rein. Kalau ternyata populasi manusia di bumi ini adalah gay atau lesbian. Dimana tidak terjadi membuahi dan dibuahi. Lama-lama bukan hanya hewan yang mereka musnahkan, tapi diri mereka sendiri.”

“Kan sekarang banyak teknologi yang dibuat manusia akan adanya pembuahan meskipun tidak melakukan coitus neonatus, Cho.”

“Dan elu pikir semua manusia sesultan itu punya uang cukup besar untuk memiliki program seperti itu, Rein? Coitus neonatus adalah yang paling alami, paling mudah, dan mengenakkan untuk terjadinya sebuah kehidupan baru,” Echo geli sendiri ketika menyebutkan kata ‘mengenakkan’. Aku ikut tersenyum sedikit.

“Rein,” Echo membimbing jemariku kedalam lingkup telapak tangannya.

Gue ngerti apa maksud lu, apa yang mau elu tuju. Tapi kalau elu membenarkan aktifitas seksual seperti itu, jelas gue akan menyanggah dengan ksatria.”

 

¼

 

Sebenarnya aku hendak mengusulkan sebuah pertemuan untuk semua yang terlibat dalam pelaksanaan “terapi konservasi” pada Joy tempo hari. Walaupun itu lebih kepada terapi pembunuhan manusia secara perlahan-lahan, menurutku. Tapi, Baron sudah mengajakku lebih dulu untuk bertemu dengan Justice dan beberapa anggota tim yang mereka bentuk ketika kebetulan kami mempunyai waktu setelah lepas jaga malam.

 

“Kita belum tahu hasilnya, kalau eksperimen nya aja engga tuntas, Bar,” Justice lagi-lagi memotong argumenku. “Dan, elu mau percaya mentah-mentah sama hasil dari jurnal-jurnal luar? Dan itu penelitian lama. Kita, di jaman ini, sudah berbeda karateristik, berbeda budaya, berbeda nilai-nilai. Apa salahnya dicoba lagi?”

 

“Cara itu sudah pernah dicoba dan hasilnya enggak efektif, Justice. Engga perlu berbeda karakteristik karena respondennya sama; manusia!”, selaku. “Malah cara itu bisa menambah trauma kepada korban, psikologisnya bisa kena, Justice. Dampak negatifnya akan lebih besar dibanding kemungkinan dampak positif yang didapat. Kita engga perlu meminum cairan yang sama, kan, kalau didalam penelitian sebelumnya isi cairan itu sudah terbukti racun?” kataku berargumen.

 

Tenang, tadi malam aku sudah mendopping diriku sendiri dengan empat buah telur ayam kampung dan madu, untuk bisa tangguh berdebat didepan laki-laki ini. Di akhir, jika aku masih punya kesabaran untuk melihat wajahnya, akan kugunakan waktu untuk meminta ia bertanggung jawab karena bahuku lebam akibat dorongan dia kemarin di lorong.

 

“Dan elu mau delapan belas hari ini sia-sia?”, Justice berkacak pinggang. “Meskipun volunteer, Joy itu pakai usaha mati-matian loh, Rein. Delapan belas hari ini dia udah sakit fisik: kita udah melakukan segala cara yang mungkin. Terus elu mau menghentikan hal itu—yang tinggal tiga hari lagi kita bakal lihat hasilnya!”, Justice menunjukku. Mataku tak berpaling sedetikpun dari wajah Justice—tidak berupaya untuk melunak padanya ataupun memberikan isyarat minta tolong pada Baron.

“Kita enggak tahu akan ada apa di hari ke-19, 20, 21, Justice. Kamu engga lihat kemarin, dia sudah kelihatan payah?”

“Dari observasi sekilas itu memangnya apa yang bisa lu temukan? Lu bahkan engga melakukan pemeriksaan fisik,” ujar Justice. “Sok tahu.”

“Gimana dia mau melakukan pemeriksaan, Bro, lu nyuruh dia pergi,” sela Baron. Justice memandang Baron tak percaya.

“Lantas, lu punya rencana yang lebih baik, dengan kemungkinan keberhasilan lebih besar dan dampak negative yang lebih minimal?”, Justice menentangku.

“Aku enggak tahu ini bakal berhasil atau enggak, tapi boleh aku usul sesuatu?”

Justice menghela nafas, tak acuh.

“Lanjutkan,” Baron bersiap, dengan seksama, mendengarkanku.

“Kalau ada factor lingkungan yang bisa membuat orientasi seksual mereka berubah, aku kira factor lingkungan juga yang bisa menjadikan orientasi seksual mereka kembali seperti semula. Ini hanya berlaku untuk mereka—yang punya motivasi internal untuk mengubah orientasi seksual mereka.”

Baik Baron, maupun Justice, belum menanggapi apapun.

“Kita bisa coba live in—tinggal bersama selama beberapa bulan—dengan pemuka agama yang dianggap lebih paham terkait pendidikan rohani, atau orang-orang yang dianggap mempunyai pemahaman lebih terkait hal itu. Kita buat MOU dulu dengan mereka. Gimana?”

Lihat selengkapnya