1/4

Sancka Stella
Chapter #8

#ECHO

Aku telah banyak mendapat pencerahan dari Pak Lucas, yang rasanya harus aku sampaikan kepada Baron ketika rapat pembahasan plan of action siang nanti. Baron, masih menenteng piring dan gelas kotornya, melewatiku.

Baron mengalihkan gelas ke atas piring. tangannya yang kini kosong menyentuh keningku. Telapak tangannya dingin.

“Kenapa?” tanyaku protes. Memangnya keningku tembok mess yang bebas disentuh siapa saja?

“Kirain kamu demam lagi,” ujar Baron. “Karena semalam pulang malam, takutnya masuk angin. Kamu jompo, soalnya.”

Aku melotot padanya. Dia menyindirku karena seharian bersama Echo kemarin.

Gak ada masalah, kan,” si tinggi itu masih bersuara.

“Kamu yang bilang kalo ukur suhu tubuh gak bisa pake perkiraan. Lagian tangan kamu dingin banget. Kalibrasi dulu, sana,” kataku sebal. Seenaknya saja memegang jidatku.

“Bar, salah target,” Dion melirikku. “Moal kapincut si Rein mah, Bar. Ctrl + Alt + Del weh,” canda Dion lalu tertawa. Aku melotot padanya. Dia masih terkena isu penyimpangan seksualku rupanya.

Awina menggelengkan kepalanya, menatapku kasihan.

Aku tersenyum saja, lelah untuk mengklarifikasi.

Setelah Baron benar-benar berlalu, aku baru bisa lega. Ternyata, walaupun kami sudah banyak berkomunikasi, di dekatnya masih membuat jemariku dingin. Rasanya aku beku setiap kali kami berdekatan terlalu lama.

Aku membereskan peralatan makanku.

Shift pagi selesai.

Berbekal air mineral dan snack, perjalanan Baron dan aku dimulai untuk kembali ke daerah terlarang itu, yang sekarang untukku sudah tidak terlarang lagi.

Angin—seperti biasa—menyambut kami ramah. Beberapa helai daun kering kembali terinjak, kali ini mungkin terasa lebih sakit jika mereka bisa bisa bersuara, karena langkahku yang lebih pasti. Bergegas, tanpa ragu-ragu sedikitpun, kami menapaki jalan itu.

Beberapa kali aku melirik Baron, dengan langkah besar-besar dan kecepatan yang tidak berkurang sedikitpun. Hari ini, aku officially melanggar peraturan mess bersama dengan si empunya pembuat peraturan itu sendiri.

Sebenarnya investigasi ku menyelidiki daerah sini hari-hari kemarin membuatku hafal dengan jalan ini, dan dengan mudah mendapati jalan lain yang bisa ku lewati, kalau-kalau Baron melakukan yang aneh-aneh. Ada perasaan yang masih membuatku masih harus berjaga-jaga dengannya.

Kami sampai di pohon yang authentic itu, yang diikat dengan tali rotan. Hiasan kayu itu masih ada. Berpilin-pilin dengan angin, sangat mesra. Tak lama, kami sampai di depan rumah “terapi konversi” Joy kemarin.

Terapi konversi gundulmu, rasanya aku ingin mengutuki praktik itu berkali-kali.

“Namanya mungkin akan diganti menjadi tempat rehabilitasi,” setelah sampai dan menyapa manusia-manusia disana--termasuk Justice--Baron memulai penjelasan. Sounds better. “Tempat rehabilitasi dan edukasi untuk klien dengan LGBT+ dan kegiatan lain untuk melakukan pencegahan dini pada kelompok-kelompok usia tertentu. Remaja, misalnya.”

“Sebenarnya, ketika kamu pergi kemarin, saya sudah membuat plan of action dengan teman-teman disini,” kata Baron padaku. “Minggu depan rencana ada seminar tentang penyuluhan HIV-AIDS dan PMS1 lainnya. Audiens nya adalah LGBT+. Will you come in?”

“Sure,” tak perlu waktu lama untuk setuju.

“Jadi, nanti ada edukasi ke masyarakat umum juga?”

“Iya,” kali ini Justice. “Sekolah, puskesmas, area publik, komunitas tertentu.”

“Baron, sebenarnya, aku punya presentasi,” aku mulai dengan hati-hati.

Beberapa orang merapat.

“Boleh,” Baron bertepuk tangan tiga kali. “Teman-teman, mohon perhatiannya. Ada yang mau melakukan presentasi.”

Lebih banyak orang merapat. Justice duduk agak jauh dariku, tetapi kudapati Ia siap menyimak.

Aku membuka laptopku, dan menampilkan power point yang sengaja aku siapkan di desktop agar bisa ku buka dengan mudah.

Hari itu, selama tiga puluh menit, aku menampilkan seluruh pengetahuan dan informasi yang kudapat: dari Echo, dari pengalamanku di rumah sakit, dari Pak Lucas, dari Jack, dari semua buku yang ku baca selama ini. Tentang HIV AIDS. Tentang LGBT+.

Lima belas orang di depanku, aku tak yakin dengan apa yang berputar di pikiran mereka. Yang aku bisa lihat hanyalah mata-mata penuh perhatian yang tertuju padaku saat ini. Jujur aku gemetar, karena sudah lama aku tidak melakukan presentasi seperti ini. Terakhir adalah ketika masih kuliah. Biasanya aku melakukan penyuluhan didepan satu orang pasien, atau paling banter didepan beberapa keluarga pasien.

“Oleh karena itu, tetap teguh. Kasih dan dukungan kita akan sangat menunjang proses penyembuhan mereka.”

Tepuk tangan itu tidak bergemuruh, tidak luar biasa.

Tetapi kali ini, aku melihat mata mereka bergelimang rencana baru.

Setelah selesai presentasi, Baron menghampiri ku. Aku baru sadar bahwa tanganku tak berhenti bergetar dari tadi, sebenarnya. Baron kedapatan memperhatikan hal itu.

“Kenapa?”

Ada air mataku tak kuasa untuk ku tahan.

“Aku hanya merasa lega.”

Baron menatapku dalam.

“Kamu akan lebih sibuk dari sebelumnya. Tidurmu akan kurang. Prioritasmu akan terbagi. Masih boleh, kalau kamu memutuskan berkegiatan di rumah sakit saja, setelah itu bekerja dan pulang.”

“Bar, sudah sejauh ini. Just let me in.”

Kali ini, ada senyum samar di wajahnya.

Kali ini, aku mengijinkannya ketika Ia menepuk pundakku beberapa kali.

 

¼

 

Ini adalah slide kedua belas yang ditampilkan oleh Justice. Bulan depan akan ada rencana seminar terkait dengan manajemen stress yang dialami LGBT. Mereka sudah menetapkan waktu dan tempat, dan hari ini mereka sedang membahas materi apa saja yang akan disharingkan.

“Ada masukan, Rein?” Justice bertanya padaku.

Sudah beberapa hari ini, ia melibatkanku dalam untuk berbicara dalam tiap rapat.

“Mm, udah bagus. Bisa ditambah dengan dampak secara patofisiologi akibat stress itu sendiri. Dampak ke tubuh individu itu seperti apa. Supaya audiens tahu bahwa—oh penting banget untuk melakukan manajemen stress karena emang dampaknya nyata ke fisik seseorang,” jawabku.

“Dan sepertinya kita harus tambahkan etiologi yang menyebabkan kerentanan stress pada LGBT+.”

Justice tersenyum. “I think we have to re-arrange nara sumbernya.”

“Tugas pertama buat lu, ya, Rein. Jadi salah satu narasumber untuk seminar ini.”

Aku agak terhenyak karena cukup tiba-tiba, tapi sepertinya binar dimataku tidak bisa kututupi.

Seems that I don’t need any answer,” kerling Justice. “Kami butuh soft file materi fiksnya minggu depan, sekalian CV, ya,” tambahnya.

“Mohon bimbingannya,” aku mengangguk bersemangat. Membayangkan akan bertemu dengan sebuah komunitas LGBT saja rasanya akan sangat menyenangkan. Kuharap akan ada sesi mengobrol ringan dengan mereka, tentang alasan dan cerita mula-mula mereka menjadi seperti itu. Aku selalu menyukai bagian ini.

Justice menyenggol bahu Baron. “Kalo butuh bimbingan, abang satu ini ready 24 jam, kok.”

Baron mengerenyit. “You wish.”

Justice nyengir. Aku sudah tak heran. Malah aneh rasanya kalau Baron bersikap hangat padaku.

Seusai rapat, aku mampir ke pantry. Hari yang tidak begitu penat, namun membuat secangkir teh panas untuk cuaca yang agak mendung ini, rasanya keputusan bijak.

Ada yang mengikutiku, rupanya. Mr. ‘you wish’ tadi ikut mengambil cangkir dan mengambil bekas teh celup dari cangkirku, kemudian menaruh itu di cangkirnya.

“Belum juga pekat, ini,” kataku protes melihat warna teh dicangkirku yang pucat. Mata Baron memicingkan matanya tak bersahabat. Ya Tuhan. Tiap hari. Harus bersinergi dengan orang seperti ini.

Ngeteh, ngeteh, ngeteh. Pagi, sore, malam. Pulang ke Bandung ginjal kamu kena, Rein.”

Itu bahkan bukan urusannya.

“Duduk,” Baron menunjuk sebuah kursi dengan matanya. “Saya mau bicara.”

Aku duduk dan disaat yang sama aku berpikir kenapa aku harus menuruti perintahnya.

“Kamu tau enggak sih, sesibuk apa kamu nanti? Maksud saya, kamu enggak bisa juga langsung mau terima tawaran Justice, sementara kamu belum tahu gimana waktu kamu akan terbagi?”

Aku masih mencerna kata-katanya yang sangat tidak memotivasi. Dia yang melibatkan aku disana dan sekarang dia juga yang mematahkan tunas-tunas yang baru tumbuh, baru saja menjelma menjadi sekuntum semangat.

“Bar—”

“Paling enggak, kamu ikut dulu, lihat dulu, pertimbangkan dulu, pikir dulu apa kamu sanggup ngerjainnya. Jangan asal oke-oke, sementara di IGD juga kamu terhitung baru, kan. Lihat kemarin? Aku minta kamu benahin triase di IGD, malah keluyuran buang waktu.”

“Bar—”, kok jadi mengungkit yang itu, sih?

“Jadwal harian kita masih sama, ya. Beres kerja, kamu bantu saya monitoring kelengkapan dokumentasi, abis itu kita bikin web of caution penyakit teratas, dan—”

Aku memberanikan diri memegang punggung lengan Baron, akralnya dingin.

“Bar, bisa aku bicara sekarang?”

Baron diam, mungkin ini saatnya.

“Bar, enggak sedetik pun aku berpikir buat menomorduakan kerjaanku, oke? Seperti halnya langkahku yang pasti ketika kamu ajak aku ke sana kemarin, sepasti itu juga langkahku ketika aku setuju ditempatkan bekerja di sini."

“Jadi, aku—si anak baru ini—mau minta satu hal sama kamu.”

Baron masih diam.

“Karena kamu yang melibatkan aku disana, jadi tolong- dukung- aku.”

Baron melihatku sekilas, sebelum menyesap teh dari cangkirnya.

“Saya—”, Baron berdehem sekali.

“Saya belum ngerti sih Rein. Karena jarang ada orang kayak kamu. Maksud saya, apa yang bikin kamu sangat tertarik fenomena LGBT ini?”

Ini kali pertama Baron ingin mendengar alasanku.

Jika bisa, aku ingin mencubit lenganku sekilas dan memastikan ini bukan mimpi. Si kepala batu ini ingin aku bercerita? Yang benar saja.

“Aku lebih concern sama HIV AIDS, sebenarnya, Bar. Malah aku engga kepikiran ke LGBT, awalnya. Sampe aku pernah mikir gini, bisa engga sih, Bar, angka kejadian HIV AIDS di dunia ini engga betambah walaupun LGBT tetap atau bertambah?”

Baron tersenyum khas. Khas senyum dia. Senyum ingin menyetujui tapi tidak bisa.

“Sementara tahun 1981 HIV pertama kali ditemukan pada klien dengan orientasi homoseksual? Enggak bisa, Rein. Salah satu etiologinya kan itu. Aktifitas seksual mereka yang beresiko tinggi menyebabkan penularan HIV. Faktanya itu, Rein.”

Aku harus tes DNA Echo dan Baron, sepertinya mereka ada hubungan saudara jauh. Mirip sekali pandangannya kalau sedang membahas ini.

“Tapi, Bar. Bisa gak sih kita menempatkan diri jadi mereka? Gak ada hujan, gak ada angin, gak di jampi-jampi tahu-tahu mereka lahir dengan kesukaannya dengan sesama jenis. Sakit gak sih, Bar?”, aku mencoba mengujinya.

“Sakit.”

“Dan mereka nyaman dengan orientasi seksual yang seperti itu. Merasa lebih hidup, lebih bahagia, lebih bisa menjalani keseharian mereka dengan baik,” jelasku.

“Tapi, Rein. Kamu pernah kepikirian begini gak. Kan ada yang namanya adaptasi morfologi, ya.”

Aku lanjut mendengarkan.

“Kayak, misal. Jerapah dulunya punya leher yang pendek. Tapi karena daun-daun tumbuhan yang masih tersisa adalah yang letaknya agak tinggi, jadi leher mereka beradaptasi, biar bisa tetap bertahan di lingkungan tempat dia hidup dan tidak punah.”

“Saya sama sekali bukan menyamakan manusia dengan hewan. Tapi kita punya kesamaan, yaitu sama-sama bagian dari alam. Bukan buatan tangan manusia. Artinya kalau memang Sang Pencipta kita menyediakan lingkungan yang mengharuskan kita survive didalamnya, akan ada perubahan morfologi yang mengikutinya.”

Lihat selengkapnya