1/4

Sancka Stella
Chapter #9

#1/4

Baron mengendarai mobil berdasarkan google map, sesuai dengan alamat tujuan yang kuberikan padanya sebelum kami berangkat. Kami pergi ke Bandung dalam diam. Baron pun tidak menanyai ini-itu kepadaku sama sekali.

“Minum dulu,” ia menyodorkan air mineral oleh tangan kirinya, sementara tangan kanannya tetap memegang setir. Aku menerimanya, kemudian meminumnya barang seteguk.

Kami benar-benar diam sepanjang perjalanan.

 

Sampai di tempat yang dituju, tidak lain tidak bukan adalah rumah Echo.

Geris menyambut kami di depan pintu, ia salim kepadaku dan kepada Baron.

“Kak Rein,” Geris kemudian merangkulku. “Lama gak lihat kakak.” aku tersenyum dan membalas rangkulannya. Geris terlihat lebih tinggi dan lebih berisi sejak terakhir kali kami bertemu. Jauh lebih sehat.

“Masih minum obat?”, tanyaku. Geris menggeleng.

“Baru saja tuntas empat hari yang lalu, kak,” jelasnya. “Minggu depan kultur dahak lagi.”

Aku mengangguk paham. “Semoga hasilnya bagus, ya.”

“Rein,” tante Hera keluar menyusul Geris. Dia memelukku erat. “Terimakasih untuk kirimannya tiap bulan, ya,” Tante Hera terlihat terharu. “Echo bilang kamu bantu banyak sekali.” Aku menggeleng. “Echo tetap sponsor utama, tante,” jawabku, disusul senyum Tante Hera.

“Ini?”, Tante Hera melihat Baron. “Ini rekan kerja saya di Cikalong Wetan, tante. Namanya Baron.”

Baron kemudian menyalami sopan.

“Echo ada, tante?”

Tante Hera dan Geris tidak menjawab.

“Ehm, ada, Rein. Di kamarnya.”

Sebelum aku mulai meminta untuk bertemu, Tante Hera sepertinya duluan menyadari tujuan dari kedatanganku. “Tapi, sedang tidak mau bertemu, sepertinya.”

Hatiku mencelos. Jadi, siapa yang sebenarnya tak menganggap sahabat? Dia atau aku? Dia marah besar ketika aku lupa membicarakan kepadanya tentang Cikalong Wetan. Tapi ia sendiri tidak membahas hal ini sebelumnya denganku dan memilih untuk menghindar seperti ini.

Seharusnya dia bisa mendudukanku di depannya, dalam sebuah jam nongkrong di sore hari, dan bicara langsung.

Ini sakit sekali, rasanya.

“Saya.. bicara di depan pintu kamarnya saja boleh, tante?”

Tante Hera mengangguk saja, meskipun aku tahu Ia pun tidak yakin Echo akan mendengarkan dari dalam atau tidak.

Baron memutuskan untuk menunggu saja di ruang tamu. Aku ijin kepadanya sebelum melangkahkan kakiku ke lantai dua, ke kamar Echo. Bagaimanapun, Baron tetap kepala ruanganku. Setidaknya aku harus sopan padanya.

Langit bergemuruh, niscaya sebentar lagi hujan turun.

Tolong hujan, jika akhir dari cerita ini menyenangkan, kamu boleh turun dengan deras. Sederas-derasnya, menetap di ingatanku.

Tetapi aku mohon, jangan sebaliknya yang terjadi, pintaku dalam hati.

Aku berjalan pelan menuju kamar Echo. Aku masih ingat jelas yang mana kamarnya, karena dulu, aku sering main kesini. Kadang bermain game bersama Echo, kadang bersama Geris. Papan karambol koleksi Echo masih terlihat tertata baik di sudut ruangan. Sekelibat mengalir di ingatanku, ratusan momen kebersamaanku dengan Echo di ruangan ini.

Mambaca komik, nyemil sorabi dan gorengan, serta menonton kartun.

Bermain catur, karambol, dan uno.

Mengobrol ringan. Mengobrol berat.

Berdebat. Menangis, aku yang paling sering.

Belajar bersama sampai ketiduran ketika masa-masa ujian.

Bercerita tentang banyak hal.

Banyak, banyak, banyak sekali.

"Duk," aku melangkah dan duduk tepat didepan pintu kamarnya. Diam sejenak demi merangkai kata-kata.

Seingatku, ini kali pertama aku benar-benar memikirkan susunan kata-kata yang tepat untuk kusampaikan kepada laki-laki ini.

Dua, tiga menit berlalu. Aku tak mungkin terus membatu.

“Echo, ini Rein.”

Tidak ada jawaban dari dalam.

“Echo, aku sudah membaca surat kamu. Kaget, sih.”

“Aku kaget, kok surat-suratan? Kayak jaman 90-an aja,” aku memaksakan tertawa. “Ketemu langsung kan, bisa.”

Hening. Bahkan detik jam dinding lantai dua bisa terdengar jelas sekali. Rintik hujan sudah mulai membuai bumi. Satu, satu.

Lihat selengkapnya