Baron mengendari mobil berdasarkan google map, sesuai dengan alamat yang kuberikan padanya sebelum kami berangkat. Kami pergi ke Bandung dalam diam. Baron pun tidak menanyai ini-itu kepadaku sama sekali.
“Minum dulu,” ia menyodorkan air mineral oleh tangan kirinya, sementara tangan kanannya tetap memegang stir. Aku menerimanya, kemudian meminumnya barang seteguk.
Kami benar-benar diam sepanjang perjalanan.
Sampai di tempat yang dituju, tidak lain tidak bukan adalah rumah Echo.
Geris menyambut kami di depan pintu, ia salim kepada aku dan Baron.
“Kak Rein,” Geris kemudian merangkulku. “Lama ga lihat kakak.” aku tersenyum dan membalas rangkulannya. Geris terlihat lebih tinggi dan lebih berisi sejak terakhir kali kami bertemu. Jauh lebih sehat.
“Masih minum obat?”, tanyaku. Geris menggeleng.
“Baru saja tuntas empat hari yang lalu, kak,” jelasnya. “Minggu depan kultur dahak lagi.”
Aku mengangguk paham. “Semoga hasilnya bagus, ya.”
“Rein,” tante Hera keluar menyusul Geris. Dia memelukku erat. “Terimakasih untuk kirimannya tiap bulan, ya,” Tante Hera terlihat terharu. “Echo bilang kamu bantu banyak sekali.” Aku menggeleng. “Echo tetap sponsor utama, tante,” jawabku, Tante Hera tersenyum.
“Ini?”, Tante Hera melihat Baron. “Ini rekan kerja saya di Cikalong Wetan, tante. Namanya Baron.”
Baron kemudian menyalami sopan.
“Echo ada, tante?”
Tante Hera dan Geris tidak menjawab.
“Ehm, ada, Rein. Di kamarnya.”
“Tapi, sedang tidak mau bertemu, sepertinya.”
Hatiku mencelos. Seharusnya dia bicara langsung!
Oh Tuhan, sakit sekali rasanya.
“Saya, bicara di depan pintu kamarnya saja boleh, tante?”
Tante Luna mengangguk saja, meskipun Ia tidak yakin Echo bisa mendengarnya dari dalam atau tidak.
Baron memutuskan untuk menunggu di ruang tamu. Aku ijin ke atas sebentar, ke kamar Echo. Bagaimanapun, ia tetap kepala ruanganku yang menyempatkan waktu untuk mengantar anak buahnya. Setidaknya aku harus sopan.
Langit bergemuruh, sebentar lagi hujan.
Tolong hujan, jika akhir dari cerita ini menyenangkan, kamu boleh turun dengan deras.
Tetapi aku mohon, yang terjadi jangan sebaliknya, pintaku dalam hati.
Aku berjalan pelan menuju kamar Echo. Aku masih ingat jelas yang mana kamarnya, karena dulu, aku sering main kesini. Kadang bermain game bersama Echo, kadang bersama Geris. Papan karambol koleksi Echo masih terlihat tersimpan baik di sudut ruangan. Sekelibat mengalir di ingatanku, ratusan momen kebersamaanku dengan Echo di ruangan ini.