Fira sudah tiba di bandara Sepinggan, Balikpapan. Usai check-in ditemani ayah, ia menyusul ibu dan Fani ke sebuah kafe.
“Kak Fira...” panggil Fani dan berlari mendatangi kakaknya seraya memeluk. Ada rasa sedih dihati Fani karena kurang dari satu setengah jam mereka akan berpisah.
“Ayah, ibu... kami jalan-jalan sebentar ya!” Ujar Fira.
“Iya, jangan jauh-jauh! Paling lama 15 menit.” Jawab ayahnya.
Fira melihat arloji, menyahut ayah “Oke!”
Fira menggandeng Fani, mengajak ke sebuah tempat dengan berlari-lari kecil lalu menaiki tangga dan tiba di waving gallery atau biasa yang disebut anjungan pengantar.
“Wow...” Fani terperangah melihat pesawat-pesawat yang berjajar rapi. Tampak sebuah pesawat yang mendarat, tak lama ada juga yang lepas landas.
Sejenak, Fani dan Fira bermain kejar-kejaran. Ketika Fani sudah tertangkap, mereka berhenti dengan nafas tersengal-sengal dan tertawa.
“Hm... sepertinya, itu pesawat yang akan bawa kakak terbang ke Malang.” Fira menunjuk pesawat yang berjalan pelan dan mulai berhenti di apron (tempat parkir pesawat terbang).
“Kak, kita bakal pisah lama ya? kakak sekolah tentang pesawat kan?” Tanya Fani yang berdiri sambil melingkarkan tangannya ke punggung Fira.
“Iya, kakak belajar pesawat terbang. Siapa tahu nanti kakak bisa menerbangkan pesawat atau memperbaiki yang rusak-rusak, jadi orang-orang yang naik pesawat bisa aman dan selamat sampai tujuan.”
“Hm...” gumam Fani.
“Kakak juga sedih kita pisah, tapi nanti Fani bisa jalan-jalan ke Malang datangi kakak. Sekarang kan Fani sudah kelas 6 dan sebentar lagi lulus SD! Belajar yang baik, nanti masuk SMP di tempat kakak sekolah ya.”
Fani menjawab dengan anggukan senyum. Fira memeluk Fani dengan erat dan mengecup kedua pipinya.
“Ayo dek, kita turun! Tadi pesan ayah cuma 15 menit...” Fira kembali menggandeng tangan Fani.
Peppi dan Guntur melihat kedatangan kedua anaknya dengan gusar.
“Fira, sebentar lagi kamu boarding (naik pesawat). Lekas! Siap-siap.” Ucap Guntur, ayah Fira.
Ibunya memasangkan tas ransel ke punggung Fira. “Ibu sudah masukkan camilan-camilan, susu dan air mineral ke tas kamu. Nanti pakde Baskoro yang jemput dan kalian langsung ke SMK Penerbangan. Hati-hati ya anakku, belajar yang tekun dan jaga diri baik-baik.” Mereka berpelukan, Fira mencium tangan ibu dan ibu mencium kening Fira.
Fira memeluk ayahnya. “Salat lima waktu jangan putus ya kak, baik-baik di sana.” Ayah mencium kening sambil mendoakan anaknya.
“Baik ayah.” jawab Fira. Ia mencium tangan ayah dan juga memeluknya.
“Kakak...” Fira melepas pelukan dari ayahnya dan lanjut memeluk Fani.
“Fani... sudah ya menangisnya. Fani sudah besar, kakak sayang banget sama Fani.” Fira melepas pelukan.
“Ayah, Ibu, Fani... kakak jalan dulu ya. Dadaaaaggghhhh...” Fira pergi menjauhi mereka menuju ruang tunggu keberangkatan.”
Beberapa saat kemudian, dari waving gallery ada Guntur, Peppi dan Fani sedang melihat pesawat yang ditumpangi Fira terbang lepas landas.
**
Amer bingung dengan perubahan sikap adiknya, Miko. Padahal sudah diterima masuk ke SMA 111, tapi dari kemarin selalu mengurung diri dikamar.
“Eh, ayo keluar! Jangan dikamar terus, hampir jam makan siang nih.” Amer masuk ke kamar Miko dan melihat adiknya yang memegang novel Herri Potret keluaran terbaru.
“Sebentar lagi bang! Tanggung, ini lagi seru banget...”
Amer berfirasat kalau terjadi sesuatu pada Miko. Ada raut sedih dan kecewa di wajahnya.
“Mik, kamu sedih? Tapi abang bingung, kalau sedih karena apa? Kan sudah lulus tes masuk SMA 111. Bisa sama-sama Fira lagi kan?” Tanya Amer lembut dengan pertanyaan akhir yang spontan.
Wajah Miko memerah dan matanya mulai berair. “Hm...”
“Eh, kenapa?” Amer memajukan tubuhnya lebih dekat.
“Fira sekolah di Malang bang. Jam 7 tadi sudah pergi.” Ucap Miko menahan tangis.
“Tadi pagi? Berarti tadi pagi, kamu bersepeda ke rumah dia?”
“Iya.” Jawab Miko.
“Memangnya Fira sekolah di mana? Sampai ke Malang segala.”
“SMK Penerbangan bang”.
“Wow... keren!”
Miko hanya diam mendengar tanggapan si abang.
Amer menyenggol bahu Miko. “Fira itu, yang mana sih orangnya?”