Hari terakhir MOS, mereka mengadakan upacara penutupan sore di Gondo Mayit. Sebuah kawasan bersejarah, yang merupakan bagian dari Kerajaan Singosari. Letaknya tak jauh dari sekolah Fira, jadi mereka hanya menempuh dengan berjalan kaki.
Melewati sawah-sawah yang hijau dengan sungai-sungai kecil yang mengairi, bukit-bukit dan ada sebuah lorong bekas aliran sungai yang tak berair lagi. Orang-orang menyebutnya dengan sungai mati.
Sampai akhirnya tiba disebuah tanah lapang luas dan kering. Kalau kaki di entakkan ke tanah tersebut, maka akan seperti debu-debu yang beterbangan. Udara terasa sejuk, tapi sinar matahari masih terik sisa siang hari.
Perjalanan yang ditempuh cukup menguras tenaga dan mengucurkan keringat. Fira langsung menenggak air dari botol minumnya dengan posisi berjongkok, setelah itu kembali berdiri. Ia membelakangi sebuah gunung, yang kabarnya di sana terdapat makam ‘Kebo Ijo’.
Singkat cerita. Dulu, saat kerajaan Singosari di bawah kekuasaan Tunggul Ametung, Ken Arok memesan keris kepada Mpu Gandring. Ketika sudah jadi, Ken Arok meminjamkan keris itu kepada Kebo Ijo. Kebo Ijo menyukai keris tersebut dan menganggap jika itu adalah miliknya dan ia juga memamerkan kepada orang-orang sekitar, sehingga mereka kira kalau keris tersebut adalah milik Kebo Ijo.
Ketika Kebo Ijo sedang tidur lelap, Ken Arok mengambil kerisnya dan ia membunuh Tunggul Ametung. Ken Arok sengaja membiarkan keris tersebut tertancap di tubuh Tunggul Ametung. Keesokan pagi, istana geger dan Kebo Ijo adalah tersangka utamanya.
Kebo Ijo mengetahui berita tersebut dan ia kabur, bersembunyi di gunung Gondo Mayit. Tapi sayang, ia tertangkap dan dibunuh. Dimakamkan di lereng gunung Gondo Mayit, lokasinya terletak di komplek Yon Kav 3/ Tank.
Semasa SMP, Fira pernah tahu kisahnya dari pelajaran Sejarah. Tentang runtuhnya Tumapel, tapi ia tidak paham. Karena imajinasi yang lari ke mana-mana, ia membayangkan jika pertumpahan darah tersebut terjadi di gunung yang sangat besar dan tinggi. Ternyata itu gunung yang kecil. Apalagi dengan seorang manusia yang bernama ‘Kebo Ijo’. Itu sangat jarang ada dan bahkan mungkin, itu nama satu-satunya di dunia. Sekarang Fira sudah paham, karena berada di lokasi dan melihat secara langsung.
Memasuki kawasan ini, mereka saling berpegangan tangan membentuk seperti rantai. Yang pasti dalam pengawasan ketat, ada beberapa personil TNI-AU juga yang berjaga di tempat Fira dan kawan-kawan berada. Karena mitosnya, banyak orang yang tersesat dan tak bisa kembali pulang.
Upacara penutupan berjalan dengan khidmat. Fira seperti merasakan kembali, sewaktu awal pertama kali datang ke sekolah bersama Pakde Bas sampai hari ini. Ia sangat bersyukur dengan kawan-kawan di sekelilingnya, terutama yang satu regu. Mereka mampu menyelesaikan setiap misi, yang diberikan para senior dengan baik dan kompak.
Upacara resmi ditutup oleh Kepala Sekolah. Setelah itu, seorang yang mengenakan seragam loreng maju ke tengah lapangan.
“Semua ketua regu, maju ke depan!” ujar salah satu personil TNI-AU, Pak Hariyanto.
Edwin, langsung lari ke depan begitu juga ketua regu yang lain. Mereka baris berjajar sesuai dengan urutan kelompok. Pak Hariyanto tampak berbicara pada ketua regu yang berjumlah enam orang, tapi suaranya tidak terdengar oleh siswa lain. Tak lama mereka mengambil posisi push-up.
“Ada apa ini? Kenapa mereka push-up?” Bisik Fira ke kawan sebelahnya.
Dan Fira hanya mendapat jawaban dengan gelengan kepala, karena kawannya pun tak tahu.
“9, 10, 11 ...," teriak para ketua regu menghitung push-up.
Semua mata, tertuju ke mereka dan bingung. Kecuali para senior.