1 RAGA 2 JIWA

ZELINE
Chapter #1

Episode 1

Namaku Syafa Aqila Usman.

Aku lahir di sebuah desa yang kumuh dan jauh dari perkotaan. Maaf, aku tidak akan menyebutkan nama desaku. Karena kalian hanya perlu tahu kondisinya. Di desaku ini sangat konyol. Tradisi kuno masih diterapkan, terutama masalah perjodohan. Kebanyakan anak tamat SD sudah dijodohkan. Ngeri! Hanya ada beberapa orang yang tidak lagi menggunakan tradisi kuno itu. Salah satunya keluargaku. Aku tidak ingin hidup monoton. Menikah, punya anak, mengurus suami, terus? Ajal menjemput? Tidak, aku tidak mau seperti itu. Aku sangat bersyukur dilahirkan dalam keluarga yang selalu mendukungku, meskipun tidak jarang orang-orang mengolok-olok keluarga kami, karena yang katanya, ngapain sekolah tinggi-tinggi, toh, ujung-ujungnya punya anak, ngurus anak. HAHAHAHA. Menyakitkan! Tapi keluargaku tak pernah menggubris perkataan seperti itu.

Sebenarnya juga ada alasannya mengapa para orang tua di desaku segera menikahkan anaknya setelah baligh. Karena para orang tua tidak mampu membiayai sekolah anaknya. Seperti yang kalian duga, mayoritas penduduk di desaku bermata pencaharian sebagai petani. Seperti yang kalian tahu, gaji petani sangat tipis, apalagi sekarang ratusan sawah di desaku sudah dibeli pemerintah. Katanya sih mau digunakan untuk membangun pabrik, entah pabrik apa aku kurang tahu. Ah! Tapi tetap saja sepertinya itu tidak akan mengubah nasib warga desaku. Kita lihat saja kondosinya saat ini, jarang sekali yang melanjutkan ke SMP apalagi ke SMA.

Aku tinggal bersama kedua orang tuaku. Emakku bernama Minah dan abahku bernama Usman. Kedua orang tuaku bekerja sebagai petani, seperti warga kami yang lainnya. Kami juga hanya mempunyai satu sawah yang tidak terlalu luas. Jadi untuk mencari penghasilan tambahan, setiap pulang sekolah aku membantu emak jualan gorengan keliling.

Kehidupan kami memang payah. Hutang uang ke sana kemari untuk membayar SPP Sekolahku, belum lagi tagihan untuk Purna Siswa, buku, dll. Karena sekarang aku sudah kelas 3 SMP, jadi kebutuhan sekolah semakin banyak. Tetapi orang tuaku tetap ingin aku melanjutkan ke SMA. Mereka siap untuk banting tulang demi aku bisa melanjutkan sekolah.

***


Hari ini adalah hari yang aku nantikan. Mungkin akan menjadi hari yang bersejarah dalam hidupku. Ya, hari ini pengumuman seleksi lolos beasiswa SMA Nusa Bangsa Jakarta akan diumumkan. Pagi ini aku meminta Siti, sahabatku, untuk datang ke rumahku. Karena kebetulan emak dan abahku sudah pergi ke sawah selepas sholat Subuh tadi.

“Sit, bagaimana kalau aku nggak lolos?”

Siti memegang tanganku erat, Ia memintaku untuk berpikir positif.

Aku memejamkan mata menyebut lafadz Allah. Aku pasrah dan berusaha untuk menerima apapun nanti hasilnya.

“Syaf sudah jam 8, cepetan buka!”

“Takut Sit.”

“Biar aku, ya, yang buka?”

Aku mengangguk pelan.

“Tenang Syaf. Kalau enggak lolos berarti ya nggak rezekimu. Toh, lagian kalau enggak lolos kamu bisa gap year.”

Aku memeluk Siti erat-erat. Aku tidak tau lagi siapa yang akan jadi teman curhatku nanti kalau aku di Jakarta. Siti adalah orang ketiga setelah orang tuaku yang memandang pendidikan itu penting, sepertiku. Jadi tak heran jika melihatnya begitu mendukungku untuk melanjutkan SMA. Tapi, sayang sekali, SIti hanya tinggal bersama ibunya yang sedang sakit-sakitan, sehingga tidak memungkinkannya untuk melanjutkan ke jenjang SMA.

“Syaf, kok udah baper sih, kan belum lihat hasilnya.”

“Aku nggak bisa bayangin Sit, kalau nanti hasilnya hijau aku harus ke Jakarta. Itu artinya kita harus berpisah.”

“Kamu gimana sih, kan itu mimpimu pingin sekolah di Jakarta Syafa. Kamu harusnya senang dong.”

Air mataku semakin bercucuran deras. Jika aku lihat di cermin pasti sudah bengkak sekarang.

“Syafa, sudah jangan menangis terus. Aku buka ya pengumumannya, nanti keburu eror webnya.”

Aku mengangguk pelan.

“Bismillahhirahmanirrahim.” Sesekali aku menutup mataku dengan kain jilbab yang aku kenakan.

Lihat selengkapnya