1 Rumah 2 Cinta

Herman Sim
Chapter #2

Kamu Mau Jadi Imamku

Ketika Malam Itu ...

"Bahagia itu, makan enak di restoran yang mewah ...

Bahagia itu, memakai outfit brandit ...

Bahagia itu, harus bergaul bebas tanpa batas ...

Bahagia itu, menghamburkan segalanya karena hidup hanya satu kali ...

Bahagia itu, hidup bebas tanpa terjerat aturan dan pilihan ..."

Kompak sekali terlontar dari dua bibir-bibir berselimut lipstik merah muda, tentu wajah keduanya juga berparas cantik. Tergurat selalu tersenyum seraya mengumandangkan cerita kenyataan kehidupan bebas lepas, yang ingin sekali terbang diangkasa bebas malam itu.

Dress putih pendek tertiup angin terdorong kedepan kebelakang mengibar-ngibar. Gadis cantik berambut panjang itu hanya terduduk diatas papan ayunan.

Sepasang kakinya menyilang kecil terlihat putih mulus sekali-kali terayun menginjak lantai rooftop. Wajahnya selalu menatap melempar senyuman pada indung bulan bulat sempurna diatas langit.

"Gua juga masih mikir-mikir buat terima lamaran Rifan," kata gadis yang duduk diatas papan ayunan itu.

Dua tangan terhenti mendorong papan ayunan, jemarinya menahan kiri-kanan rantai baja penahan papan ayunan pada sepasang tiang besi.

"Maksud loe?" balik tanya Mirah.

Mirah sudah berdiri disamping gadis yang masih terduduk diatas ayunan, wajahnya tersenyum yakin terus masih menatap indung bulan bulat sempurna diatas langit.

"Kemarin malam Rifan ngelamar gua," sahut Anisa kedua kakinya sudah menyentuh lantai rooftop warna putih.

Ia berbalik senyum menatap wajah masih tergurat kebingungan sahabatnya, Mirah malam itu mengenakan dress pendek hitam. Keduanya sedang berada diatas rooftop bergaya minimalis ornamentnya semua serba putih.

Rooftop minimalis serba putih, dengan desain dominasi warna putih pada perabotan untuk memberikan tampilan yang kalem dan lebih lega. Atapnya saja terbuat memanjang terbuat dari arkrilik putih tembus pandang kelangit, tentu jika malam tiba akan begitu dekat jelas sekali melihat langit indah diatas sana. Apalagi kalah siang datang, sinar matahari begitu menyengat menyinari setiap relung dedaunan hijau yang tertanam dalam aneka pot warna putih.

"Loe kenapa?" kini Anisa balik bertanya pada Mirah.

Mirah terduduk diatas kursi panjang santai, belakang pundaknya merebahkan pada sandaran kursi, kedua kaki mulus memanjang setengah menyilang diatas kursi. Wajahnya mulai tergelayuti sendu berkaca-kaca seraya indung bulat sempurna bulan mengulik hatinya menjadi sedih.

Lihat selengkapnya