Aku pastikan sadel, kerangka utama dan handle bar[1] benar-benar dalam posisi tegak lurus di parkiran yang disediakan kantor. Baru beberapa langkah kaki saja dari sana, aku putuskan untuk kembali lagi. Pedal sepeda terlihat bergeser sekian putaran derajat dari letak biasanya.
Datang lebih awal satu jam ke kantor adalah caraku untuk lebih bisa memusatkan pikiran untuk menentukan hal apa saja yang perlu aku lakukan hari ini. Rutinitas yang aku lakukan untuk beberapa temanku sesama pengusaha terlihat sangat kaku, namun aku harus sampaikan aku tidak keberatan dengan pandangan orang lain. Menurutku membangun kebiasaan adalah hal yang perlu dilakukan.
Menatap 335 Pioneer Way melalui kaca jendela adalah urutan selanjutnya dari prosedur yang aku buat. Sejauh yang aku bisa perhatikan, daerah ini begitu pesat dari sisi pengembangan bisnis. Aku tidak pernah membayangkan jika kini di lokasi dekat kantorku bekerja, bermunculan banyak perusahaan baru setiap tahunnya.
“Apakah saya bisa membawakan minuman untuk anda sekarang?”
Suara dari kolega keturunan Afro Amerika membuatku mau tidak mau menoleh padanya. Namanya Sam, ia dekat denganku karena tahun kami masuk bekerja adalah persis sama. Aku menyampaikan kalimat terima kasih sebagai jawaban atas pertanyaannya, yang kemudian diartikan olehnya sebagai tanda setuju.
Selang beberapa menit kemudian Sam masuk ke ruangan kerjaku dengan membawa gelas berisi lemon tea hangat tanpa gula. Setelah Sam keluar dari pintu ruangan, aku melihat sekretaris wanita yang ditugaskan kantor menemaniku baru saja tiba.
***
07:30-10:00 adalah waktu khusus yang aku sebut sebagai jam kreatif. Sekretarisku sudah paham jika di momen ini aku tidak ingin diganggu. Entah itu kesediaan menghadiri rapat, panggilan telepon dari relasi, menjawab surat elektronik dan bahkan jika istriku mengontak. Aku meminta Catherine untuk sebisa mungkin mengosongkan semua agenda untukku di kesempatan itu.
Aku menyingsingkan lengan kemeja panjang sebatas siku sebagai tanda aku siap bekerja pagi ini. Dengan tangan menggenggam sebuah pulpen aku tuliskan beberapa catatan di post-it[2] penuh warna. Selanjutnya setengah berlari aku menempelkan semuanya hingga penuh di dinding kaca terdekat.
Papan berwarna putih berukuran besar di belakang punggungku pun tidak urung jadi sasaran coretan stabilo warna untuk semua ide yang mengalir dalam kepalaku. Aku tuliskan dan gambarkan gagasan apapun selama berhubungan dengan apa yang aku pikirkan. Jika dalam kondisi puncak, meja kerjaku menjadi media tambahan terakhir untuk menampung semua rancangan. Alhasil, seringnya ruanganku mirip semacam galeri yang menampilkan semua ide acak yang aku buat.
Bagiku jika meja CEO[3] begitu bersih, aku sangsi dengannya, apakah benar ia memikirkan bisnisnya sendiri.