Sesampainya di rumah, aku temukan istriku baru saja selesai memasak sedangkan anak-anak berlomba lari mendekat ketika mendapatiku kini sudah hadir di antara mereka. Kedua anak lelakiku meminta bermain, meski lelah aku turuti keinginan mereka yang berharap bisa duduk di atas punggungku dan bermain peran sebagai penunggang kuda. Aku paham dengan tingkah keduanya, mereka masih memiliki hak atas waktuku.
Stop! Begitu kata istriku yang terpaksa menghentikan tingkah anakku yang mulai berulah tidak kendali. Jika tidak demikian, mungkin permainan ini tidak akan usai.
Anin tidak begitu pintar memasak namun sayap ayam goreng yang jadi menu makan malam tampak begitu menggoda selera. Entah karena aku begitu lapar atau mungkin karena energiku terkuras oleh dua bocah lelaki di samping kiri dan kanan.
Berulang kali. Tepatnya saat tahun-tahun awal kami menikah, seringnya aku berbohong padanya soal kualitas produk masakan yang ia kreasikan. Meski demikian selama bukan racun yang ia buat, tidak menjadi masalah untukku untuk memberikan senyum dan melahap semua masakannya.
Hanya butuh beberapa menit saja setelah makan malam keluarga dilakukan kedua anakku tampak mulai mengantuk. Seperti biasa Anin membacakan cerita di kamar sebelum mereka tertidur.
“Apa yang Han tulis dalam email-nya?” tanyaku pada diriku sendiri ketika mengeluarkan dua lembar kertas dari tas kerjaku.
***
Satu kertas berisi surat resmi, khas dengan logo burung garuda di atasnya. Tertera nama jelasku sebagai penerima. Deskripsi pesan singkat, pada intinya aku diminta untuk kembali ke Indonesia untuk mengurus sesuatu secara nasional. Setelah paham dengan isi pesan di kertas pertama aku lanjutkan dengan membuka kertas terakhir berupa tulisan tangan yang aku tahu betul itu adalah goresan pena dari teman lamaku.