10 Tahun

Sri Rokhayati
Chapter #1

Amanah

Pengumuman hasil ujian nasional akan diumumkan hari ini. Hari yang membuat siswa deg-degan. Semua wali murid harus mewakili anaknya untuk pengambilan Surat Keterangan Hasil Ujian Nasional. Rara meminta tolong Mbak Erna. Untuk alasan apa lagi jika bukan dirinya malu membawa orang tuanya ke sekolah. Ibunya dianggap kolot.

“Mbak, tolong wakilin, ya.” Kata Rara setengah memohon. “Tolong ya Mbak, Ibu ndak bisa karena jualan.” Kata Rara dengan alasannya sendiri. Toh, sebenarnya jika Rara bicara kepada ibunya untuk mewakili, ibunya tidak akan bilang “tidak bisa”.

 “Ya sudah, Iya.”

Mbak Erna siap-siap pergi ke sekolah bersama Rara.

Pukul 09.00 WIB.

Bapak kepala sekolah memberikan sambutan panjang lebar. “Kabar baiknya, kemarin sekolah ini mendapatkan juara olimpiade Matematika yang dimenangkan Rara Rosada. Namun, kabar sedihnya ada dua anak yang tidak lulus,” Terdengar sesuatu yang menyenangkan sekaligus mengerikan. Rara berbangga diri namanya disebut dengan prestasi yang dinanti-nanti, juara olimpiade.

“Wah, selamat ya, Ra.” Salah satu teman Rara yang memberi selamat kepadanya. Rara tersenyum bangga. 

Sebelum acara sakral dimulai, pementasan dari beberapa siswa menampilkan belbagai seni. Seperti pembacaan puisi, tari modern dan tradisional, serta menyanyi yang tak pernah ketinggalan menjadi agenda daftar pentas. Semua dibawakan dengan luwes yang bertujuan untuk menghibur para hadirin. Hingga acara usai pukul 13.20 WIB. Saatnya pembagian Surat Keterangan Hasil Ujian Nasional tiba. Semua wali kelas dimohon untuk ke kelas perwalian masing-masing.

“Dari kelas ini ada satu anak yang tidak lulus.” Wali kelas Rara memberikan informasi.

“Putri Dewi Ratna.” Panggil wali kelas.

Orang tua Putri maju. Duduk di depan wali kelas. Dibagikan amplop berisi Surat Keterangan Hasil Ujian Nasional. Setelah mengucapkan terima kasih, orang tua Putri keluar kelas. Disambut Putri yang sedari tadi menunggu di luar kelas. Dibukanya amplop itu. Lulus. Rasa senang menghampiri Putri dan teman-teman di sekelilingnya. Banyak siswa yang berpelukan setelah mengetahui bahwa dirinya lulus. Bahkan ada yang menitihkan air mata karena bahagia. Ada pula yang menangis karena sedih akan berpisah setelah kelulusan.

“Rara Rosana.” Mbak Erna maju ke depan. Berbincang-bincang dengan wali kelas. Tanda tangan kehadiran wali. Diterimanya amplop putih bersih itu.

“Mbak, piye hasilnya?” kata Rara yang sudah tidak sabar.

“Buka nanti saja di rumah, Ra.” Kata Mbak Erna. Namun, Rara merebut amplop itu dari tangan Mbak Erna. Membukanya. Dug. Hati Rara tiba-tiba berdegup kencang. Darahnya berdesir lebih deras. Suhu badannya mendadak terasa panas dingin. Diikuti teriakan histeris.

Di antara identitas nama dan hasil nilai ujian nasional tertulis “TIDAK LULUS”. Ya. Rara tidak lulus ujian nasional. Dia pingsan setelah berteriak histeris mengatakan “tidak mungkin”. Surat Keterangan Hasil Ujian Nasional yang digenggamnya terjatuh. Mbak Erna panik di tempat. Orang-orang yang berada di sekelilingnya mendekat. Mengangkat tubuh Rara ke Unit Kesehatan Siswa.

Mbak Erna masih panik. Dia bingung harus bagaimana. Mbak Erna mencoba menarik napas panjang. Setidaknya membuat dirinya rileks terlebih dahulu sebelum menenangkan Rara ketika sadarkan diri.

“Mbak, nanti tolong kasih pengertian ke Rara, ini bukan akhir dari segalanya. Dia masih bisa mengikuti kejar paket B nantinya,” kata salah satu Guru yang berada di UKS. Lama, Rara belum sadarkan diri. Detak jam terus berputar.

Rara menaiki motor sendirian saat pulang dari sekolah. Dia salah arah. Ternyata, jalan yang dilaluinya bukan jalan menuju pulang ke rumahnya. Tiba-tiba jalan itu menjadi gelap. Tanpa penerangan apa pun. Namun, anehnya dia masih bisa melihat jalan. Dia terus saja mengendarai motornya tanpa berbelok. Meski demikian, dia tidak tahu ke mana nantinya dia berhenti. Dari sejauh matanya memandang, dia melihat seseorang berpakaian putih bersih, bercahaya. Sedang berjalan berlawanan arah dengan dirinya. Semakin dekat jarak mereka. Rara bertanya kepadanya mengenai jalan menuju rumahnya.

“Mas, tahu jalan rumah saya di mana?”

Orang itu tidak menjawab. Diam. Memandang wajah Rara dengan saksama. “Rara? Ngapain kamu ke sini? Pulanglah! Kamu belum saatnya ke sini!”

Rara tampak bingung dengan perkataan orang itu. Bagaimana dia bisa tahu namanya – pikirnya.

Lihat selengkapnya