Dia pergi ke warung internet. Mencari informasi tentang prosedur mengikuti kejar paket B. Dibukanya salah satu situs Dinas Pendidikan Kota Semarang. Di sana terdapat petunjuk dan syarat-syarat serta cara mengikuti sekolah informal itu.
Rara men-download formulir pendaftaran secara online. Dia harus mempersiapkan 5 lembar photocopy ijazah SD yang sudah di legalisir. Foto Ukuran 3×4 sebanyak 10 buah dengan nama identitas di belakangnya. Foto berwarna dengan background merah dan mengenakan kemeja putih. Persyaratan harus dilengkapi sebelum di kirim ke Semarang.
***
Meski hasil ijazah tidak tertera atas nama sekolah formal, tetapi Rara sudah lega. Dengan ijazah informal, dia bisa masuk ke SMA yang dikehendaki. SMA N I Demak. SMA ini di pilih karena jarak antara rumahnya lebih dekat. Ketika memasuki area sekolah, langsung disambut taman yang terbentang indah di depan gerbang sekolah. Di sampingnya terdapat tempat parkir.
Hari ini Rara terlihat bersemangat menjalani hari pertama masuk sekolah. Mata pelajaran diulas sedikit sebagai warming up. Para siswa turut antusias memperhatikan guru yang menerangkan. Tak terasa, jam istirahat tiba. Diam-diam, Dama yang duduk di bangku paling depan memperhatikan Rara yang berada di belakangnya.
“Boleh nanya, ini jam berapa?” tanya Dama.
“Jam sembilan lewat sepuluh menit,”
“Namamu siapa?”
“Panggil saja Rara,”
“Kalau boleh tahu, orang mana?”
Pertanyaan basa-basi Dama ditanggapinya enteng.
Rara bersikap dingin. Dikeluarkannya buku bersampul hijau muda dari tas gendong. Buku berjudul Sastra yang Melintasi Batas dan Identitas, menemaninya sambil menunggu jam masuk. Ketika Rara membuka halaman 79, Dama menghampiri. Rara pura-pura tidak tahu jika Dama berdiri disampingnya.
“Suka baca novel juga?” tanya Dama.
“Sedikit,” jawab Rara singkat.
Dama terdiam. Canggung. Bingung. Pikirannya mencari bahan pembahasan. Tak lama kemudian, “Nanti bisa pulang bareng?”
Rara menoleh ke arahnya. Sedetik. Dua detik. Lalu kembali memandang bukunya, “Nanti sepulang sekolah aku mau mampir ke suatu tempat,” Rara sedikit cuek.
Waktu menunjuk pukul tujuh. Pak Umam segera masuk kelas. Bertubuh besar dengan perut buncit, tinggi dan tegap. Pakaiannya rapi. Ia siap mengajar di kelas Rara. Para siswa segera duduk di bangkunya masing-masing.
Para siswa membuka halaman yang diinstruksikan oleh Pak Umam. Di sana, terdapat paragraf deskripsi berjudul Global Warming yang di bawahnya ada sejumlah pertanyaan essay yang harus dijawab. Pak Umam suka kepada siswa yang aktif. Di setiap pelajarannya, selalu memberi kesempatan kepada siswa untuk menulis jawabannya di whiteboard. Rara melihat sekelilingnya. Tidak ada yang maju. Ini kesempatan untuknya mencuri point tambahan nilai. Dia berdiri dan maju menuliskan jawaban di whiteboard. Mata pelajaran Pak Umam masuk dalam daftar pelajaran yang ia sukai. Tidak heran jika Rara selalu aktif dan semangat jika mengikuti pelajaran ini.
Giliran Gatot, siswa gendut, tinggi yang humoris dan ceplas-ceplos. Ketika dia maju ke depan kelas, semua siswa tertawa. Pantas saja tertawa. Melihat di punggungnya ada secarik kertas yang tertempel dengan tulisan “Dicari! Anak sapi ilang”. Kemudian Gatot menoleh ke teman sekelasnya dengan pandangan polos tanpa dosa. Dia tak tahu jika teman sekelas menertawakannya.
***
Rara tak pernah membayangkan bahwa dia bisa melanjutkan Sekolah. Ia sadar, dia terlahir dari keluarga berekonomi lemah. Pelajaran pertama setelah upacara akan segera dimulai. Pak Gimin menyapa siswanya dengan semangat.
“Selamat pagi, anak-anak,”
“Selamat pagi, Pak…” jawab semua siswa serentak. Guru yang mempunyai nama lengkap Wagimin ini sangat humoris, tetapi tegas. Beliau berkumis dan beralis tebal, hidung mungil, dan wajah bulat. Pria paruh baya ini telah menghabiskan 10 tahun waktunya untuk mendedikasikan ilmu yang disandang, Sarjana Pendidikan Bahasa Indonesia. Belajar dengan beliau tidak membosankan. Tidak hanya pelajaran Bahasa Indonesia saja yang diajarkan kepada muridnya. Namun, ilmu kehidupan seperti moral dan filsafat juga disampaikannya.