"Terimakasih, bang," ucap Dio pada supir angkot sambil mengulurkan tangan berisi lembaran uang, setelah ia turun dari kendaraan tersebut. Sesaat setelahnya, kendaraan tersebut melaju kembali meninggalkan Dio di depan bangunan café berlantai dua.
Dio memandangi bangunan itu. Seumur-umur, ia baru kali ini datang ke sana. Sebelum-sebelumnya, ia selalu ke warung kalau mau makan, hemat uang.
Sekarang, ia datang karena menurut pesan chat yang diterimanya kemarin, mengatakan akan menemuinya di café ini untuk membahas 'pekerjaannya'.
Bangunan berlantai dua itu memiliki desain minimalis hangat dan estetik. Dindingnya berhiaskan gambar bunga camelia yang indah. Pot-pot kecil berisi bunga camelia diletakkan di tiap meja. Lampu-lampu bohlam padam bergantung di dalam ruang café. Pintu kacanya memantulkan cahaya matahari pagi. Parkiran café itu tampak penuh dengan mobil dan motor para pengunjung. Dari luar, bisa terdengar obrolan tawa para pengunjung. Selain itu, aroma kopi dan roti panggang menyeruak ke udara, memenuhi setiap indra penciuman. Dio menarik napas, lalu melangkah masuk.
Ia langsung menuju ke depan meja bar. "Permisi. Meja atas nama Bu Selvira di mana, ya, kak?" tanyanya ramah pada pelayan di belakang bar.
Pelayan memandangi Dio sejenak sebelum melihat layar komputer di hadapannya. "Meja atas nama Selvira di lantai dua. Mari, saya antar," ajaknya sambil berjalan menuju tangga ke lantai dua diiringi Dio yang mengekor di belakangnya.
Di lantai dua, suasananya berbeda dengan lantai satu. Di sini, areanya luas, dengan atap terbuka. Lebih seperti rooftop. Di pembatas rofftop, dipasang pagar besi setinggi pinggang untuk membatasi area rooftop dengan pinggir rooftop. Selain itu, disediakan pula beberapa bunga dan pohon-pohon kecil untuk menyejukkan lantai dua yang tanpa atap tersebut. Hanya ada satu orang wanita di salah satu meja yang sedang memainkan ponselnya.
"Itu meja atas nama Selvira. Kalau begitu, saya pamit dulu," kata pelayan pada Dio sambil berbalik badan turun ke lantai satu.
Dio menghampiri wanita itu dengan langkah ragu. "Permisi!" sapanya setelah sampai di dekatnya.
Wanita itu mendongak dan melihat pemuda yang kemarin menerima buntelan kertas yang ia lemparkan. Ia memandangi pemuda itu dari atas sampai bawah. Saat ini Dio memakai baju kemeja hijau kotak-kotak dengan celana jeans berwarna coklat. Di kakinya, terselip sepatu hitam khas anak sekolahan. Terlihat sederhana, menurut wanita di depan Dio.
"Kamu yang menerima buntelan kertas yang saya lempar itu, ya?" tanyanya seraya tersenyum tipis. Tampak cantik wajahnya, membuat Dio agak kagum melihatnya.
“Lempar?” tanya Dio mengernyitkan dahi bingung.
“Ehm.. maksud saya, kamu yang chat saya kemarin kan?” ralat wanita itu.
"Oh.. eh.. i-iya. Itu saya," jawab Dio gugup.
"Mari, silakan duduk." Wanita itu tersenyum dan menyilahkan Dio duduk di kursi depannya. Dio duduk di kursi di hadapan wanita itu.
"Saya tidak tahu apa makanan kesukaan kamu, jadi saya pesan apa yang saya suka saja. Nggak apa-apa, kan?"
Dio menggeleng. "Tidak apa-apa, Bu. Eh.. Anda Bu Selvira?"
Selvira mengangguk sambil tersenyum. "Iya. Itu saya."
"Apa benar ibu cari suami tapi dibayar 100 juta perbulan? tanya pemuda itu tanpa basa-basi.
“Kamu mau gak?” Selvira kembali bertanya, mengabaikan pertanyaan Dio padanya.
“Mau apa?” Dio bertanya bingung.
“Jadi suami saya.”
“Jadi itu benar, Bu?” ucap Dio tak percaya.
“Iya. Tapi jangan panggil saya ibu dong, emangnya saya ibu kamu apa.”
“Tapi saya panggil ibu saya di rumah Emak, Bu,” kata Dio polos.
“Hah?” beo Selvira bingung.
Sesaat kemudian, ia tersadar. Ia melambaikan tangannya. “Ah, sudah, sudah. Mau bahas apa, jadi bahas apa. Fokus ke pembahasan utama.”
“Kan ibu yang mulai duluan tadi.”