100 Juta Per Bulan?

Tio Wirantara
Chapter #3

Bab 3 Ceritakan tentang diri kamu

“Aku nggak mau, Ma!” seru Selvira menatap penuh protes pada mamanya.

 

“Kalau nggak mau makanya menikah.” Nareta tak mengindahkan protes sang anak.

 

“Belum dapet jodohnya, Ma. Makanya sabar dulu,” ujar Selvira kembali mengalihkan atensi pada layar laptop.

 

“Huh! Kamu enak, tinggal nyuruh sabar doang. Temen mama yang lain, baru seminggu anaknya lulus kuliah sekarang sudah punya anak. Padahal baru seminggu nikah,” keluh Nareta bersungut-sungut.

 

Selvira mendelik. “Itu mah, karena orangnya sudah hamil duluan pas kuliah.”

 

Nareta balas mendelik. “Tau dari mana kamu?”

 

“Ya, pergaulannya bebas itu.”

 

“Masa sih? Berarti sebelum nikah, dia udah begituan dong?” tanya Nareta bingung.

 

“Begituan apa?” tanya Selvira tak kalah bingung.

 

“Masa kamu nggak ngerti sih. Itu loh… aduh gimana ya, bahasanya?” Nareta berpikir serius.

 

Selvira ikut-ikutan berpikir serius.

 

“Aha! Kayak pensil masuk rautan! Kamu paham nggak maksud mama,” seru Nareta antusias, seperti baru saja memenangkan lotre.

 

Selvira menatap bingung mamanya pada awalnya. Tambah bingung dengan pemilihan kata yang diucapkan mamanya. Namun tak lama, karena ia langsung sadar apa maksud mamanya dari tadi. Wajahnya memerah perlahan.

 

“Ish! Mama bahasnya itu-itu mulu. Aku kan masih polos, Ma!” keluh Selvira.

 

“Orang polos nggak akan ngaku polos, Vira Sayang. Justru kalau orang polos ngaku polos, tandanya dia ngerti apa yang diucapkan atau dibahas. Tapi buktinya tuh wajah kamu merah, berarti kamu tau apa yang mama bahas,” balas Nareta menekankan katanya sambil tersenyum meledek pada putrinya yang wajahnya masih bersemu merah.

 

Selvira cemberut, membuat Nareta langsung terpingkal-pingkal.

 

***

 

“Permisi!”

 

Seruan seorang pria paruh baya di depan kosnya, membuat Dio yang masih lelap di balik selimut tebalnya agak terusik. Ia menggeliat, tapi tak membuka matanya.

 

Tok Tok Tok

“Permisi!”

 

Baru, suara ketukan berulang-ulang ditambah seruan, membuat Dio membuka matanya walau masih malas-malasan. Ia melirik jam weker di laci samping tempat tidurnya. Pukul enam pagi.

 

Pria itu menghela napas dan bangun seketika. Ia duduk sebentar, mengumpulkan nyawanya yang tercecer. Setelah terkumpul, ia bangkit dan menuju ke toilet guna mencuci wajahnya yang masih kusut. Keluar dari toilet, langsung ke depan dan membuka pintu kos. Kini, di hadapannya berdiri seorang pria paruh baya 40-an.

 

Mata Dio melek seketika. “Ada apa, Pak?” tanyanya pada pria di depannya yang merupakan pemilik kos tempat ia ngekos selama ini.

 

“Gini Dio. Saya mau nagih uang kos bulan ini,” ucap Wawan, pemilik kos.

 

Dahi Dio berkerut bingung. “Kenapa sekarang, Pak?”

 

“Saya lagi butuh uang buat biaya berobat istri saya ke rumah sakit, Dio. Nah, kamu bayar sekarang, supaya nanti akhir bulan tidak bingung mau bayar.”

 

Dio terdiam. Ia memang tahu, kalau istri Wawan memang sakit kanker dan perlu operasi, sementara penghasilan Wawan hanya dari rumah kos yang disewa dan hasil toko sembako di pasar.

 

“Tapi saya lagi nggak punya uang sekarang, Pak,” balas Dio tak enak.

 

“Waduh, gimana dong. Orang lain yang ngekos di sini sudah saya tagih dan sudah bayar,” keluh Wawan gusar.

 

Dio ikutan gusar mendengar ucapan Wawan. Jalanan depan rumah kos lengang. Semilir angin pagi berembus lumayan dingin melalui pepohonan rindang yang berjejer di tiap rumah kos. Matahari masih malu-malu menampakkan diri.

 

“Gini aja, deh, Pak.” Ucapan Dio membuat punggung Wawan menegak dengan wajah menanti.

 

“Saya bayar, tapi tunggu nanti siang gimana? Bisa kan?” tanya Dio membujuk.

 

Wawan berpikir sebentar. Akhirnya ia mengangguk. “Ya udah, deh. Nggak papa. Saya tunggu nanti jam 1 siang, ya. Kamu ke rumah saya aja nanti.”

 

“Iya, Pak.” Dio mengangguk.

 

“Kalau begitu saya permisi dulu. Maaf menganggu waktu pagimu.” Wawan berbalik badan dan pergi meninggalkan rumah kos yang ditempati Dio.

 

Sepeninggal Wawan, Dio panik. Sebetulnya, ia mengucapkan kalimat tadi hanya untuk menenangkan Wawan supaya pria paruh baya itu tenang sambil ia berpikir bagaimana caranya membayarnya. Sekarang, setelah terucap, rasanya ia menyesal. Kenapa tidak menunggu seminggu lagi atau dua minggu lagi, sambil menunggu ia punya pekerjaan? Tapi yang namanya sakit kan nggak tau kapan datangnya, apalagi ini kanker.

Lihat selengkapnya