Dio sudah lama berada di kota. Ia datang dari desa, dan ia merantau ke kota setelah orangtuanya meninggal akibat insiden kebakaran. Pria yang saat itu berusia 21 tahun sedang di masjid ketika kebakaran terjadi.
Awalnya, ketika di kota, pria itu menumpang tinggal di kontrakan bersama pamannya dan istrinya, sambil mencari-cari lowongan pekerjaan. Namun, Dio tak lama hidup menumpang, karena ia kembali ditinggal hidup sendiri di kontrakan. Berbekal uang saku dari sang paman sebelum beliau meninggal, pria itu memutuskan menyewa rumah kos yang lebih murah.
Tak gampang mencari kerja di perkotaan. Saingannya ketat, apalagi untuk Dio sendiri yang cuma berbekal ijazah SMK.
Dio menghembuskan napasnya pelan setelah bercerita.
Kepala Selvira mengangguk-angguk setelah mendengar cerita Dio. Ia tak bereaksi banyak dan hanya menyeruput minuman di depannya yang datang di tengah Dio bercerita tadi. Semilir angin menerbangkan beberapa helai rambutnya yang tergerai hingga bahunya.
"Jadi, gimana, Sel? Bisa, kan, gajinya saya ambil di awal?" tanya Dio menjelaskan kembali niat awalnya bertemu dengan wanita itu.
"Kamu nggak mau tanya dulu sistem kerjanya sama saya gimana? Main langsung ambil gaji aja," jawab Selvira menaikkan sebelah alisnya.
"Eh. Iya, ya. Itu gimana ceritanya, ya, jadi suami tapi dibayar per bulan." Dio tersadar.
Selvira berdehem sejenak sebelum menegakkan badannya, lantas menatap pria di hadapannya serius.
"Jadi, gini... kamu kerja sama saya, maksudnya di perusahaan saya. Saya gaji, tapi kamu tetap menjadi suami saya kalau di rumah. Gaji kamu sesuai sama pekerjaan kamu. Nah, nanti gaji kamu, saya tambahin, ee..." Selvira berpikir sejenak. "25%."
Dio masih berusaha mencerna penjelasan Selvira. Pria itu menjulingkan matanya ke atas sambil berpikir serius. Ia menatap Selvira kemudian. "Gaji di perusahaan berapa? Sama 25% nya itu berapa?"
"Tergantung apa pekerjaan kamu nanti. 25% itu, seperti 25% dari gaji perusahaan. Nah, berarti kamu saya tambahin gaji itu 25% tadi." Selvira masih menatap Dio. "Gimana, paham?"
Dio menggelengkan kepala. Karena jujur saja, kepalanya saat ini saja rasanya panas dan seolah-olah sedang keluar asap saking seriusnya ia berpikir.
Wanita itu menghela napas panjang. "Gini. Semisal, gaji kamu di kantor saya—“
"Tadi katanya perusahaan, kenapa jadi kantor?" potong Dio.
Selvira berdecak kesal. "Kantor itu tempat perusahaannya. Jadi perusahaan ya kantor, kantor ya perusahaan."
"Oo." Dio ber-oh ria. "Lanjut jelasin," pintanya kemudian.
"Jadi gini, semisal, gaji kamu di kantor saya 1 juta. Ini semisal, ya. 25% dari gaji 250 ribu. Berarti nanti kamu saya tambahin gaji 250 ribu. Gitu. Paham?"
"Oo, paham-paham." Dio mengangguk-angguk seperti ayam mematuk nasi.
"Jadi gimana? Kamu setuju?" tanya Selvira.
Dio malah kelihatan bingung. "Setuju apa?"