“Saya pamit, ya, pak! Semoga istrinya cepat sembuh,” ucap Dio berpamitan pada Wawan. Ia kemudian menyikut lengan Selvira yang berdiri di sampingnya, kode supaya ikut berpamitan.
Selvira mengerutkan dahi. ‘Seenaknya aja Dio menyuruh-nyuruhnya. Emangnya dia babunya apa, kan dia bosnya dia.’
Tapi, ia segera menuruti isyarat Dio. “Saya juga pamit, pak! Semoga istrinya cepat sembuh, ya, pak. Walaupun saya nggak kenal istri bapak, pasti beliau orang baik, orang bapaknya juga baik.”
“Aamiinn. Terimakasih atas doa-nya, ya, Bu, Dio,” sahut Wawan mengaminkan doa dari keduanya sembari bibirnya tersenyum haru.
“Mari, pak!” Dio melambaikan tangannya pada Wawan yang segera dibalas lambaian tangan pula oleh pria itu. “Hati-hati, ya!”
Dio segera berlalu dari rumah itu diikuti Selvira yang berjalan di sampingnya. Mereka melangkah beriringan menuju rumah kos Dio untuk mengambil mobil Selvira yang terparkir di sana.
Tak lama, mereka tiba di depan rumah kos Dio. Selvira segera membuka pintunya dan masuk ke sana, diikuti Dio yang ikut masuk lewat pintu lainnya. Setelah siap, Selvira segera menyalakan mesin mobil. Mesin mobil meraung dan segera melaju. Mobil Selvira segera bergabung dengan berbagai kendaraan lainnya di jalan raya. Deru mobil dan motor saling bersahutan. Angin masuk melalui jendela mobil yang dibiarkan setengah terbuka. Meski AC tersedia, entah mengapa Selvira lebih suka mematikannya dan menikmati hembusan angin luar yang menyejukkan.
Sepanjang perjalanan, mereka hanya diam tak bersuara. Dio sibuk mengamati luar mobil, melihat gedung-gedung yang menjulang tinggi di sepanjang jalan yang mereka lewati. Sedangkan Selvira lebih fokus menyetir.
Tak lama, kendaraan yang mereka naiki melambat tatkala memasuki gerbang komplek yang dijaga satpam. Selvira menyembulkan kepalanya ketika satpam melihat mobil yang masuk. Begitu mengenali Selvira, satpam membiarkan mobil itu masuk. Mobil masuk komplek dan melewati deretan rumah mewah yang berjejer rapi. Mata Dio segera terfokus pada deretan rumah berlantai lebih dari satu yang mereka lewati. Mobil berhenti di sebuah rumah yang pagarnya tertutup.
Selvira turun dari mobil untuk membuka pagarnya lebar-lebar. Dio hanya memandanginya tanpa niat membantu. Tak lama, Selvira kembali ke dalam mobil dan segera memasukkan mobilnya ke dalam. Mobil berhenti di halaman rumah. Selvira turun dari sana. Melihat itu, Dio ikut turun melangkah ke arah Selvira ketika wanita itu melambaikan tangan padanya, menyuruhnya mendekat.
“Ayo, kita ke dalam. Mama saya kayaknya masih di luar. Tadi gerbangnya masih ke tutup. Kita ke dalam dulu aja,” ucap Selvira sambil melangkah ke pintu.
Namun, Dio yang tadinya hendak melangkah, terhenti langkahnya ketika mendengar ucapan Selvira. ‘Jadi ini aku sama Selvira doang yang ada di dalam nanti? Apa nggak papa?’ batinnya ragu.
Mendengar ucapannya tak dijawab ataupun disahuti, wanita yang sudah separuh langkah ke pintu berbalik dan melihat Dio masih terhenti di tempat. Ia berseru seketika, “Ayo! Ngapain kamu berhenti di situ?”
Mendengar seruannya, Dio segera menghampiri wanita itu, namun ia kembali terhenti dan menatap Selvira dengan ragu. “Kita di dalam cuma berdua doang, bu? Nggak papa emang?”
“Ya, nggak papa, lah. Emang kenapa?” tanya Selvira bingung. Tak lama raut wajahnya berubah saat tahu maksud pria itu. “Kita di dalam nggak cuma berdua, kok. Ada pembantu di rumah ini, jadi aman.”
Walaupun kalimat yang diucapkan Selvira terdengar ambigu, Dio berusaha percaya. Ia lantas mengangguk dan melangkah menyusul Selvira yang sudah melangkah lebih dulu.
Selvira membuka pintu besar di hadapannya, lalu melangkah masuk sambil berseru, “Bi! Bibi! Bi Sumi!”
Tak lama, seorang wanita paruh baya datang tergopoh-gopoh dari dapur. “Ada yang bisa bibi banting, Non? Eh, bantu.”
Tampaknya Selvira terbiasa dengan ucapan yang salah dari wanita di depannya dan tetap berbicara kembali. “Tolong bikinin jus buah, Bi. Dua, ya,” pinta Selvira pada wanita paruh baya itu alias Bi Sumi.
Bi Sumi menoleh pada pria di samping Selvira. “Wah, siapa den bagus ini? Pacarnya Non Vira, ya?” tanyanya ramah.