"Jika Puan tak percaya keampuhan syairku, maka aku buktikan sekarang. Tak perlu membayar, tak perlu menukar apapun, jika kemampuan syairku tak dapat menembus sisi pecinta suami terhadap Puan," tawaran berubah menjadi cicipan atas kemahiran Singgala.
"Aku akan melantunkan sebuah tembang Syair Pemetik Hati suami yang 'kaudamba. Sebutkan namanya dalam hati," tanpa diminta, Singgala membuka bungkusan panjang ternyata isinya kecapi mungil seukuran rentang dua lengannya. Alunan merdu mulai dimainkan, seiring jemarinya sibuk memetik senar-senar kecapi.
'Aku, Puan pemilik hati. Rindu bukan kepayang. Datanglah! Pada hati yang menawanmu. Aku, pengusir sunyi sepi hatimu. Kau milikku.
Tuan asmara, 'kupetik seluruh kasih berbuah sukma pecinta. Ikatlah hatimu padaku.'
Semerbak angin lirih mengalir lembut dari berbagai arah. Lantunan merdu syair cinta dan alunan syahdu kecapi di tangan Singgala, kian menjelma nuansa asmara dalam cerahnya siang. Ufuk timur dan barat terasa lebih menawan dari biasanya.
Dari ujung jalan setapak, sesosok muncul tak terduga. Suaminya, Lorr En. Membawa sebuket mawar hutan, semerah hati merona.
"Kanda?" sulit dipercaya, siapa yang datang. Sakawuni merasa di ambang mimpi menjelang siang. Sementara Gadis Penyair Cinta, hanya terduduk di bebatuan. Kedua lengannya merentangkan kecapi. Rasa jumawa keberhasilan atas syairnya, Singgala mengulas senyum puas.
"Sayang ...," itu yang diucap Lorr En ketika sampai di depan Sakawuni, sembari tangannya menyodorkan buket mawar merah. Tersadar seketika, Sakawuni terdorong selangkah mundur. Belum lama, Lorr En marah dan seperti mengusirnya dari sungai. Sekarang, suaminya itu datang dengan sebuket bunga mawar yang manis untuk Sakawuni.
"Kanda?" Sakawuni menyambut senang buket mawar dari tangan Lorr En.
"Siapa mereka?" menyadari tiga orang wanita asing yang datang, Lorr En menoleh ke arah mereka.
"Mereka tamuku," Sakawuni menjawab singkat. Buru-buru mengalihkan kecurigaan Lorr En tentang kaum penyihir yang muncul dalam wujud tiga wanita bersamaan.
"Mereka, Singgala dan keluarganya. Ayo ikut aku, Kanda," cepat-cepat Sakawuni menarik lengan Lorr En, menuju sisi pondok lainnya.
"Kakanda, aku akan menjamu mereka. Tunggulah di sini, aku juga akan mempersiapkan makan siang untukmu," kata Sakawuni singkat. Lorr En menurut saja tanpa bertanya banyak.
"Aku menunggu masakanmu yang lezat, Sayang. Aku mulai lapar," pinta Lorr En agak manja. Sedikit mengelus genggaman Sakawuni hendak pergi sebentar darinya.
Senyum sungging Sakawuni melengkapi kemenangan. Ia menghampiri ketiga tamu kaum Penyihir Kuning itu lagi.
"Masuklah ke rumahku, aku akan menjamu kalian," kata Sakawuni, kali ini penuh sopan.
"Singgala, tembang dan syairmu sangat ajaib, terbukti Kakanda Lorr berubah sikapnya menjadi lembut padaku," takjub Sakawuni, berbisik di sisi Singgala dan dua wanita lainnya. Mereka singgah di ruangan dalam pondok. Hunian terbentuk dari tatanan pepohonan saling terpaut secara alami.
Singgala tersenyum ramah.
"Puan, aku memiliki syair yang lebih dahsyat dari itu. Tembang syair Pengikat Suami. Siapapun suami akan leleh hati, sangat penurut dan tak bisa jauh dari istrinya. Cinta mati selamanya. Tetapi sebelum itu, masihkah engkau berkenan membayar layanan syairku?"
"Mengadopsi satu bayi milikku, itukah yang kalian mau?" Sakawuni memastikan sekali lagi pertukaran yang dimaksud. Ketiga Penyihir Kuning mengangguk bersamaan.