Bhainan!
Darah yang sama mengalir dalam dirimu!
Takdir bukan diwariskan, tapi dipertaruhkan!
Tubuh kita bisa karam, tapi kehormatan jangan ikut tenggelam!
Bhainan!
Kau mewarisi kemampuan kaum kami ....
Bangkitlah!!!
Angin menderu. Ombak menghantam. Berbaur nafas, terengah dalam sunyi yang menekan jiwa. Keringat mengalir deras dari pelipis dan leher, membasahi jubah tidur Lorr En yang setengah terbuka. Ia duduk tersentak, matanya terbelalak oleh bayangan-bayangan silam mencabik ketenangan tidurnya. Malam belum selesai. Fajar masih tersembunyi jauh di balik garis waktu. Namun ketakutan merangkak di dalam dada terasa seperti suara perang yang tak kunjung padam.
Ia bangkit. Kakinya melangkah pelan, namun pasti, menembus dingin lantai kayu menuju pintu. Ketika ia membukanya, angin pagi langsung menerpa wajahnya—membawa aroma asin dari Teluk Jawata dan bisikan burung malam yang menyuarakan kesunyian lebih dalam dari kematian.
Teras rumah pondoknya sunyi, dikelilingi pohon-pohon merintang dan rerumputan air. Lorr En menatap langit. Ratusan bintang menari di samudra malam yang bersih. Tapi cahaya itu tak mampu menenangkan kegundahannya. Dalam diam, ia merasakan ... sesuatu yang sudah lama hilang.
Gunggali.
Satu kata itu bergetar dalam pikirannya. Satu nama, satu tempat, satu warisan leluhur yang kini hanya tinggal debu dalam sejarah. Lenyap. Hancur. Dimakan waktu dan pengkhianatan. Kenangan terakhir tentang para leluhurnya—perkasa, setia, dan teguh—masih menari dalam pelupuk mata.
Tangannya mengepal.
"Jika darah mereka masih mengalir dalam nadiku," bisiknya dalam hati, "maka aku tak boleh kalah ... bahkan pada diriku sendiri."
Angin malam menusuk dada, namun Lorr En berdiri kaku di teras, menatap langit. Suara-suara lama kembali menggema. Dari medan perang terakhir Gunggali. Suara ayahnya, kakeknya, buyutnya, bersahutan menggema.
“Takdir bukan diwariskan, tapi diperjuangkan!” teriak para leluhur menggema di pikirannya.
Lorr En menggertakkan gigi.
“Apakah aku sudah seperti kalian?” bisiknya pada malam. Suara dalam dadanya menjawab, “Rasanya belum ....”
Lorr En mengepalkan tangan, “Aku bukan bayang-bayang kalian. Tapi akulah penerus kalian.”
Dalam hatinya, medan perang itu belum usai. Dialog itu bukan kenangan, tapi perintah hidup.
“Jangan hanya bertahan. Aku harus memimpin kesatuan di masaku sekarang. Kesatuan Laskar Katak. Unit benteng paling kuat dengan penyerangan terbaik.”