"Rheana Nadhifa Bintang."
Si putih itu barusaja akan dikeringkan setelah Rhea menyerahkannya pada seorang petugas pet klinik yang berjaga malam ini. Walau status anak kucing itu bukan miliknya, tapi Rhea merasa bertanggung jawab karena sudah membawanya untuk dirawat disini. Jadi, dia menjadi wali atas si putih itu. Spanduk kotor seharga ginjal itu sengaja ia lipat lagi dan masuk di bagian depan tas gendongnya. Lalu Rhea mengambil ponsel yang bertepatan layar menyala sebab ada sebuah pesan masuk.
Air mukanya tiba-tiba masam, tapi meski begitu, Rhea bukan tipikal yang suka mengabaikan perhatian orang lain. Justru sebaliknya, dia sangat butuh perhatian itu. Dia suka diperhatikan, sekecil apapun.
Tapi melihat nama kontak yang tertera, membuat rasa senangnya itu tiba-tiba melesak ke minus. Mungkin hangus tertimbun kejengkelan.
Dari pesan pop up, satu persatu dapat terbaca.
Ayah
Kamu nggak ada di apartemen barat?
Pak Heru dari tadi cariin kamu, lho, Rhe. Kamu nggak bilang mau pergi kemana?
Rhea berdecih kecil. Dia mengambil duduk di sebuah bangku panjang di ruang tunggu klinik. Jemarinya masih mengambang diatas layar ponsel, membaca bolak-balik pesan pop up yang mungkin tak akan dia balas lagi.
Jika termometer bisa mengukur tekanan kebencian, mungkin saja alat itu hanya akan menghitung sampai ke 75% dari seluruh kebencian Rhea. Ayahnya, laki-laki yang mengirimkan pesan berderet tadi, yang dulu selalu mampu membuatnya tersenyum, sebelum badai kebencian itu menutupi semua senyumnya. Kini pun, Rhea masih bisa tersenyum dengan 25% itu. Walau banyak hal yang kadang membuatnya lupa akan kebencian itu, tapi jika ingat sosok gadis kepang dua yang melambaikan tangan kepadanya saat dia berusia sepuluh tahun, tiba-tiba rasa kesal, marah, benci, mendadak hadir lagi.
Saat itu, satu-satunya yang bisa dipikirkan gadis sepuluh tahun sepertinya hanya pertanyaan 'kenapa?'
Kenapa setelah kepergian Mama, dengan cepat Ayah membawa Mama yang lain di hadapannya. Kenapa setelah kepergian Mama, ada gadis seusia Rhea yang ikut tinggal di rumah. Kenapa selama ini, Ayah menyembunyikannya dari Mama?
Dan kenapa-kenapa yang sampai saat ini belum menemukan jawaban.
Ponsel itu akhirnya dimatikan. Rhea menghela napas berat begitu punggungnya tersandar ke kursi. Malam itu, Ayah mencarinya semalaman, lalu menjemputnya dengan pakaian basah karena menyusul Rhea yang meringkuk di dudukan halte saat hujan turun. Dan malam ini, Rhea belum tahu apa yang akan Ayahnya lakukan. Apakah akan menjemputnya lagi atau benar-benar membiarkan kebebasan dalam hidup Rhea?
Sebaiknya, Rhea harus belajar untuk tidak berharap lagi.
Manik kembarnya terarah langsung ke sepasang bangku yang menghadap deretan perlengkapan pet. Ada seorang laki-laki yang tampak asik menarikan jari diatas keyboard ponselnya. Tanpa ada kebisingan. Wajah tak bermasker itu sepertinya sedang serius.
Mungkin berselang satu menit saat Rhea juga tak sadar menatap lama laki-laki itu, kini dia bangkit sambil menenteng jaket hitamnya. Mendekati Rhea yang agak mematung karena juga bingung mau berbuat apa. Masa dia harus lari sebab takut ditanyai neko-neko. Akhirnya Rhea berpura-pura memainkan ponselnya.