1000 Reason With You

Brilijae(⁠。⁠•̀⁠ᴗ⁠-⁠)⁠✧
Chapter #4

4th Reason : Who Are You?

Memangnya siapa yang bisa memastikan masa depan?

Siapa yang bisa merangkai itu persis sesuai harapan?

Jika ada, bolehkah Aji ikut request masa depannya juga? Agar segala yang diharapkannya bisa terwujud sempurna. Agar kenangan yang sudah berlalu bisa menjadi kenangan sekarang dan seterusnya.

Aji masih ingat. Sangat ingat. Empat tahun yang lalu, saat dia bertemu dengan seorang gadis fakultas ilmu komunikasi yang tak sempat disapanya bahkan sampai lulus. Gadis yang ia temui sejak usia sebelas tahun. Dia si pemilik senyum manis kala menyampaikan pidato dalam rapat HIMA, si ramah kala mempresentasikan ilmunya pada sesama mahasiswa. Gadis itu sekarang ternyata masih sama, hanya mungkin sedikit berbeda di gaya rambut sejak terakhir pertemuan mereka.

Rhea juga masih sama, tidak mengingatnya.

Karena memang Aji bukan orang penting. Dia juga tidak pernah memperkenalkan diri. Jadi, bukankah seharusnya dia sadar dengan pertanyaan 'siapa lo?' yang mungkin akan diucapkan Rhea begitu dia bertanya.

Sesaat, dia terdiam. Memandangi Rhea yang tengah mengangkat tangan, mengikat cepol longgar dengan beberapa helai rambutnya dibiarkan terurai.

Dia cantik.

Aji akui gadis itu selalu tampak cantik.

Bahkan semua yang melihatnya dalam sekali lirik akan tetap mengatakan cantik. Saat itu, Aji merasa terlalu cepat jatuh cinta. Dia terlalu terburu-buru untuk mendekat, tapi tidak tahu jika Tuhan sudah memiliki rencana lain.

Doa-doa dan harapan masa kecil yang ia rapalkan, akhirnya sia-sia saat jalan mereka terpisah. Takdir mereka tak bertemu.

Mungkin kini, Tuhan mengasihinya, kan? Tuhan mempertemukan Aji dengan Rhea dengan situasi yang sama. Tanpa mengenal. Tanpa ada kedekatan.

Aji menghembuskan napas panjang. Dia menggeleng kecil, akhir-akhir ini dia sering memikirkan tentang masa lalu. Yang membuatnya lelah. Karena dengan kembali ke masa itu, sama saja mengulang luka. Dia melangkah, coba mengabaikan pikiran yang terasa berjejal di kepalanya.

Ketukan sneakers miliknya sesaat mengalihkan perhatian Rhea. Gadis itu menoleh dan bergegas bangkit. Tungkainya menapak lebih dulu sebelum laki-laki itu sampai di tempatnya.

"Udah semua?" gadis itu memastikan jika perlengkapan si embul tak kurang. Mumpung masih disini, dia akan membelanjakan lebih jika memang butuh banyak.

Aji hanya mengangguk. "Dianya udah tidur duluan, ntar malem aja kasih makannya gak papa, kan? Kalau dia kebangun?"

"Hm." sahut Rhea, dia masih merapikan perkakas K-Pop yang sempat dia keluarkan dari tas. Padahal niat awal, Rhea ingin pergi entah kemana, yang penting jauh dari rumah. Tapi langkahnya selalu ragu saat bertemu keramaian, dia beringsut takut, dan berakhir kembali lagi ke rumah. Itu sebabnya, tas Rhea tidak pernah kosong membawa barang-barang minggat.

Keduanya meninggalkan klinik. Berjalan beriringan di area parkiran umun, dimana mobil Aji terletak paling ujung setelah pintu masuk. Klinik pet tadi memang tidak punya kawasan parkir, hanya memiliki hak atas sebagian parkir umum disampingnya.

Malam yang tadinya masih ramai dengan sorot lampu kendaraan, kini perlahan menggelap. Hanya ada beberapa titik lampu remang oranye di pelataran. Menerangi jalanan yang mulai sepi.

Aji merasakan titik air mulai turun lagi. Wajahnya menengadah, perlahan dia temukan titik air itu mulai berhamburan menerjang bumi. Aji meraih tangan Rhea, mengajaknya berlari, mencari tempat berlindung saat hujan tiba-tiba deras.

Aji bisa merasakan bagaimana jemari Rhea mencengkeram tangannya erat. Mereka berlari lebih cepat menuju sebuah gazebo luas di pinggir parkiran. Karena mobil Aji masih jauh, dan jika dipaksakan, mereka malah berakhir basah kuyup.

Diam.

Seolah-olah suara mereka berhasil diredam kebisingan hujan. Dan diam, untuk siapa yang akan melepaskan genggaman lebih dulu? Lalu Aji menoleh, melihat ekspresi kedinginan gadis itu. Yang merasakan kakinya hampir beku terhempas angin.

Bergerak, Aji sedikit merapat, setidaknya melindungi tubuh gadis itu agar air tak terlalu banyak menciprat, lalu bertanya, "... lo, okay?" jemari Aji bergerak perlahan, mencoba lepas dari genggaman lama mereka. Namun, setelahnya, Aji tidak menemukan jawaban apapun. Hanya dapat merasa, genggaman yang hampir terlepas... kini kembali bertaut. Karena Rhea menjalinnya lebih erat.

*****

Membelah jalanan malam memang selalu menyenangkan. Apalagi dengan iringan balada musik yang terkesan mendayu seperti Pesan Terakhir dari Lyodra. Seakan perjalanan lebih tentram, tak peduli berapa banyak suara klakson bersahutan, karena dengan musik, dapat membawa sumpek itu jadi agak tenang, kan?"

Bagi Aji.

Lihat selengkapnya