"Let me take you to the door there. Kalau lo mau."
Ada semburat senyum saat Rhea melepas seatbeltnya, tapi bibir itu sama sekali tidak mengeluarkan sepatah kata. Aji sempat mengintip ke kawasan apartemen, sudah sepi. Senyap.
Rhea tersenyum, agak lebar walau sekilas.
Ada pertanyaan yang datang tiba-tiba, seperti kenapa perhatian Aji malah membuatnya repot? Ditengah rasa survive karena kehidupannya, Rhea berusaha untuk menghindar dari orang. Bersembunyi dari dunia. Dia hanya ingin mengunci hidupnya agar tak ada yang mengintip, apalagi masuk dan melihat betapa menyedihkannya Rhea..
Rhea juga tidak mengerti apa yang sedang mengganggu gundahnya. Seperti malam ini, harusnya Rhea cukup memotong percakapan mereka, kembali seperti semula saat beberapa jam yang lalu sebelum hujan datang. Mereka tidak perlu bersama dalam waktu yang lama. Oke, cukup antarkan Rhea pulang lalu... sudah. Mereka berpisah.
Bukankah itu sederhana?
"Oke, gini... " Aji melanjutkan kalimatnya. Bergerak cepat ikut melepas seatbelt. "Gue anter lo sampai depan pancuran itu aja gimana? Agak deket sama pintu masuk."
Ada kekeh lirih yang terdengar. "Gak usah."
"Udah malem, Rhe."
"Beneran gak usah. Cuma sepuluh langkah dari mobil ini kok." Rhea meraih tasnya dari jok tengah, lalu menoleh sejenak pada embul yang masih terlelap di keranjangnya. "Rawat embul baik-baik, lho. Dan... makasih, Ji. Lo udah mau jadi temen gue malem ini."
Laki-laki itu mengangguk.
"Next time, gue mau kok kalau misal... lo butuh temen... ?" intonasi Aji merendah di akhir kalimatnya, dan tiba-tiba terkekeh sumbang. "Ya, gue sih notabene punya banyak waktu longgar. Ngantor cuma sampai jam lima, mungkin. Habis itu udah. Nggak ngapa-ngapain."
"Itu namanya sibuk juga." Sahut Rhea.
Tas sudah di pelukannya, Rhea juga memastikan kalau barang-barang miliknya tidak tertinggal di mobil Aji. Agar tidak repot, pertama. Dan yang kedua, memang siapa yang tahu jika mereka akan bertemu lagi?
Aji masih memperhatikan pergerakan Rhea, sesaat dia seperti berpikir, menyusun kata-kata. Lalu berujar yang sempat membuat gadis di sampingnya tertegun sejenak, "Tentang omongan gue buat jadi temen... itu serius." Mereka bersitatap. "Gue boleh gamblang tanya ini?"
Ada hening. Dan yang terdengar hanya suara deru mesin mobil. Atau eongan embul yang terbangun dari tidurnya.
Manik Aji terkesan serius, dan itu berhasil membawa ragu Rhea perlahan terganti dengan rasa yang sama.
Ada senyum tipis dari Aji, "Lo... nggak punya pacar, kan?"
Rhea tertawa.
"Ada kok." Jawabnya. "10 orang. Choi Hyunsuk, Park Jihoon, Yoshinori, Kim Junkyu, Yoon Jaehyuk, Hamada Asahi, Kim Doyoung, Watanabe Haruto, Park Jeongwoo, dan... " Rhea menghitung dengan jemarinya, dahinya sempat berkerut mengingat siapa nama terakhir dari pacar-pacar itu. "Oh, iya. So Junghwan."
"Hah?" Aji seperti mengejek dengan seringainya.
"Eh, yang So Junghwan kayak adik aja, jadi... 9. Totalnya cowok gue. Kenapa? Lo mau nyaingin? Sori ya, gak bisa—"
"Iya." Sahut Aji, dan perlahan ekspresi Rhea berubah. "Mungkin gue gak setajir pacar-pacar lo itu. Tapi kelebihan gue... karena, ya, bisa digapai. Bisa dilihat nyata. Bisa... jadi sandaran kalau lo butuh tempat buat sejenak ngelupain luka."
Tanpa sadar Rhea tersenyum. Mencerna kata-kata Aji sembari memikirkan kenyataan itu sepertinya menyenangkan. Tapi, dia mengingat satu prinsip sejak dulu, Rhea tidak pernah ingin benar-benar mencintai seseorang. Hidup seperti ini saja lelah, kenapa dia harus menambah beban lain?
Lalu, jika mereka tidak lagi sejalan, bukankah waktu akan sia-sia? Harus ada pertengkaran, mengatur mood untuk sekedar meminta maaf dan memperbaiki hubungan. Namun jika mereka berpisah, bukankah dua orang itu menjadi asing, padahal pernah menyatakan rahasia masing-masing.
"Ji."
"Hm?"