“Rasa sakit ini mengajarkanku bahwa kebahagiaan adalah hal yang mustahil.”
‡ 10A(n)ger Story ‡
{ivorygs}
•~ Prologue : Pain ~•
Debu dan kegelapan melekat dengan kulit kuning langsat milik gadis bernama Luciana Preziosa. Dentuman pintu serta teriakan-teriakan dari langit-langit tempat ia berada membuat rasa sakitnya sedikit berkurang. Suara itu membuatnya bahagia, sebab orang yang menyiksanya tengah merasakan rasa sakit yang sama dengannya.
Setidaknya di tempat hina dan kotor ini kedua matanya tak melihat ayah kandungnya bersetubuh dengan para gadis secara bergantian. Meskipun ia tak melihat secercah cahaya di sini, setidaknya kegelapan justru lebih baik ketimbang harus pertengkaran kedua manusia yang menyerupai iblis itu.
Setiap hari Luciana harus menelan pil pahit kehidupan dari kedua orang tuanya sendiri. Ia selalu memohon kepada Tuhan untuk mencabut nyawanya secepat mungkin agar tak merasakan rasa sakit yang teramat menyiksa.
Tubuhnya sudah remuk akibat tendangan dan pukulan yang diterimanya dari Ayahnya sendiri. Dan pipinya yang teramat tirus itu sudah menerima beratus-ratus kali tamparan dari sang ibu.
Rasa sakit merupakan satu-satunya makanan yang diterimanya, membuat segenap jiwa dan raganya hampir hancur berkeping-keping. Semua orang mengutuk kehadirannya dan sebagai balasannya Luciana mengutuk kebahagiaan atas mereka.
Di umurnya yang tengah menginjak enam belas tahun, ia tak pernah sekalipun merasakan kebahagiaan. Mereka berkata bahwa masa remaja merupakan masa yang paling membahagiakan. Lantas, apakah kebahagiaan akan datang kepadanya?
“Apakah suatu saat nanti aku mampu merasakan hal itu? Ah, Luciana... kau sungguh bodoh, tiada orang yang mencintaimu di luar sana.”
Derap langkah terdengar mulai mendekat, dan knop pintu yang perlahan-lahan terbuka itu membuatnya ketakutan setengah mati. Luciana hanya bisa meringkuk bersembunyi dibalik selimut usang miliknya.
Baginya, pria bermanik kelam itu adalah manusia yang tak berperasaan. Dia hanya datang untuk bersenang-senang untuk melupakan rasa penatnya dan menumpahkan segala amarahnya pada Luciana beserta Ibunya.
Pria itu melemparkan segepok uang tepat ke wajah putrinya. Luciana terlebih dahulu menitikkan air matanya kala melihat wajah manusia hina itu berdiri tepat di depannya.
Pria itu menampar keras pipi tirusnya, kemudian mendekatkan bibirnya tepat di telinga Luciana, “Bersyukurlah karena aku memberimu uang, dan hidup yang lebih lama. Sekarang kau harus pergi ke sekolah.”
Luciana menganggukkan kepalanya pelan tapi sejujurnya ia tak sudi menginjakkan kakinya ke tempat penuh dusta itu. Teman dan sahabat hanyalah dusta yang diciptakan para bajingan rakus pada harta dan pencapaian yang ia dapatkan.
Usai sudah persembunyian di tempat ini, saatnya ia kembali menapaki kejamnya realita yang penuh penderitaan. Luciana berdiri dari tempatnya, dan bejalan tertatih-tatih menuju rumahnya. Sejujurnya, menghabiskan sisa hidupnya di basemen justru lebih menyenangkan ketimbang tinggal di rumah luapan amarah itu.
Luciana mengembangkan senyumannya saat menatap wajah wanita yang paling ia benci itu terbaring dengan kondisi kepala yang berdarah. Agaknya semalam dia telah disiksa habis-habisan oleh suaminya sendiri.
Ada rasa yang menggelitik di dadanya setiap kali mendengar rintihan dan teriakan dari mulut perempuan yang telah melahirkan ke dunia ini. Kebahagiaan menyinggahinya.
Tapi apakah kebahagiaan hanya akan datang ketika ada darah yang tertumpah?