“Aku harap suatu saat nanti akan ada seseorang yang akan meratapi nisan atas nama Luciana Preziosa.”
‡ 10A(n)ger Story ‡
{ivorygs}
•~ Luciana Preziosa ~•
Detikan jarum jam terdengar jelas seiring dengan suara alat elektrokardiograf. Sedangkan sebuah selang tipis tengah asik menyalurkan darah segar ke tubuh kurus milik Luciana.
Tubuhnya tengah terbaring tak berdaya di atas ranjang rumah sakit. Luciana kehilangan kesadarannya selama dua hari sejak dirinya kehilangan banyak darah akibat percobaan bunuh diri.
Luciana merasakan sebuah kehangatan menyapa pipi tirus miliknya, sedangkan kedua gendang telinga merasa risi kala mendengar suara lirih perempuan yang terus memanggil-manggil namanya.
Luciana mengejapkan matanya perlahan dan tersentak kaget tatkala melihat wajah seorang perempuan yang tengah membelai lembut pipi tirusnya seraya membuat raut wajah nan sendu.
Luciana menghempaskan tangan perempuan itu dari wajahnya, sedangkan perempuan itu hanya tersenyum cerah seraya bersyukur bisa melihat netra kecokelatan milik gadis pemberontak itu bersinar sekali lagi.
“Syukurlah kau masih hidup.”
Luciana mendecih kesal melihat wajah perempuan itu. Perempuan inilah yang dulu membantu tubuh kurusnya untuk bangkit dari genangan darah Ibunya sendiri, dan sekarang perempuan ini rela menghabiskan waktunya untuk sekedar menemani Luciana yang terbaring tak berdaya di rumah sakit.
Lamat-lamat Luciana berpikir agaknya apa keperluan perempuan ini hingga memperlakukannya sebaik ini? Apakah hanya untuk mendapatkan sejumlah uang dari Ziosa? Benar. Semua ini hanyalah dusta belaka yang tercipta oleh kerakusan pada uang milik Ayahnya.
Luciana terlalu bodoh karena berpikir bahwa masih ada orang yang membantunya dengan cuma-cuma. Kehidupan memang dipenuhi oleh pendusta, pikirnya.
Luciana mengubah posisinya menjadi duduk, kemudian menatap lekat-lekat perempuan itu, “Jadi, berapa uang yang ia berikan padamu untuk menjagaku disini?”
Perempuan itu menggelengkan kepalanya seraya melambai kecil kepada Luciana, “Ziosa tak memberikan sepeserpun uang padaku. Aku datang kemari atas kemauanku sendiri.”
“Omong kosong!”
Perempuan itu mencengkram lembut tangan Luciana seraya berkata, “Namaku Patricia, aku adalah sahabat karib Ziosa, Ayahmu. Ziosa menceritakan segalanya kepadaku dan aku bersedia untuk membantunya.”
Luciana melepaskan cengkraman perempuan bernama Patricia itu, “Kau sudah cukup membantuku. Pergilah dan jangan pernah kembali lagi, aku muak berurusan dengan para pendusta.”
“Aku ingin membantumu terlepas dari penderitaan dan rasa bersalah atas kematian Preslenia.” Patricia mendekatkan wajahnya pada gadis itu hingga pandangan mereka terpaku pada satu titik, “Tiada kebohongan yang terpancar dari kedua mata ini. Percayalah padaku, Luciana.”
Bagi Luciana, iris hazel itu memancarkan sebuah keindahan. Iris itu berseru bahwasanya tak ada dusta yang terselubung dan memanggil kebenaran untuk berbicara. Setidak-tidaknya, Luciana ingin mencurahkan kebenaran atas dirinya kepada seseorang sebelum kematian menghampirinya.
“Baiklah, aku menyerah! Cepat katakan apa yang kau inginkan daripadaku sebelum aku merubah pikiranku,” ucap Luciana seraya melipat kedua tangannya di dada.
Patricia tersenyum tipis kemudian memperbaiki posisi duduknya. Entah mengapa, perempuan itu sangat berbeda dengan dirinya beberapa detik yang lalu. Dia terlihat sangat serius.
“Apakah kau membunuh Preslenia?”
“Tidak.”
“Wanita bernama Preslenia itu sudah gila sedari dulu. Dia selalu menyiksa, mengutuk bahkan sering mencoba untuk membunuhku. Saat aku pikir dia datang untuk membunuhku, dia terlebih dahulu membunuh dirinya sendiri.”
Patricia tahu betul bahwasanya gadis dihadapannya ini tidak sedang berbohong. Tapi ia tak melihat sebuah penyesalan dari setiap kata, ataupun pandangan yang gadis itu perlihatkan kepadanya.
Baginya, gadis itu tenang dan berani layaknya seekor elang, tapi dibalik ketenangan itu terdapat amarah yang teramat besar yang mampu menerkam mangsanya dengan mudah.
“Apa arti nama Preziosa bagimu?”
Luciana mendecih kesal mendengar nama itu. Baginya, menyanggah nama itu sama dengan menerima kutukan yang mengerikan.
“Sebuah dusta yang mengatasnamakan cinta yang tercipta dari kemarahan dua insan manusia. Nama terkutuk yang membuat pemiliknya menderita dalam rasa sakit,” ucap Luciana seraya mencengkram erat selimut untuk menahan amarahnya.
Perempuan di hadapannya membuat raut wajah iba seolah-olah mengerti akan apa yang ia rasakan. Sejujurnya, Luciana ingin menangis dalam dekapan Patricia, tapi tiada rasa yang mampu ia rasakan selain kemarahan pada dirinya sendiri.
“Aku turut prihatin atas segala penderitaan yang telah kau alami. Tapi, mengakhiri hidup tidak akan membebaskan jiwamu dari penderitaan dan penyesalan.” Patricia membelai lembut rambut gadis itu, “Apakah kau merasakan sesuatu?”
“Aku tidak merasakan apapun.” Luciana menghempaskan tangan Patricia, “Aku sudah membuang rasa dari hatiku dan kini hanya tersisa amarah yang membara dari dalam jiwaku.”
“Kemarahan kepada siapa?”
“Kepada diriku sendiri. Aku akan membuat banyak orang membenci dan melukai diriku, karena aku juga membencinya. Dan sepertinya aku pantas menerima semua itu.”
“Bukankah itu sakit?”
Luciana menganggukkan kepalanya, “Ya. Tapi manusia sepertiku layak hidup dalam rasa sakit.”
Patricia tersenyum cerah, kemudian beranjak dari tempat duduknya. Sudah saatnya ia pergi dan meninggalkan Luciana bersama dengan keputusan yang telah dipilihnya.
Luciana hanya melambaikan tangannya pelan kepada Patrcia seraya berharap suatu saat nanti takdir dapat mempertemukannya dengan orang baik seperti perempuan bermanik indah itu.
Kini pandangannya beralih ke sebuah perban tengah membungkus rapih legannya yang dipenuhi oleh luka-luka, Luciana mengembangkan senyuman saat ingatan akan tindakan kejam yang dia lakukan tempo hari pada tubuhnya sendiri.
“Kau pantas menerimanya.”
Derap langkah kaki terdengar semakin mendekat seiring waktunya, beberapa orang berpakaian putih kini mendatangi dirinya. Mereka datang bersama pria berjas hitam pekat seperti kedua manik obsidian miliknya.
“Luciana Preziosa sudah bisa pulang hari ini, Tuan,” ucap seorang pria seraya mengalungkan stetoskop ke lehernya.
Ziosa Porsche tersenyum tipis sebagai ucapan terima kasih. Setelah mencabut selang infus dan selang kantung darah dari tubuh Luciana para medikus berserta asistennya segera pergi dan meninggalkan Ziosa bersama putri semata wayangnya.
“Kita harus pergi sekarang.”
Luciana mendelikkan matanya seraya berkata, “Aku tak sudi menginjakkan kakiku ke rumah itu lagi.”
“Rumah usang itu sudah tak layak lagi untuk ditinggali. Aku akan memberikanmu tempat tinggal yang layak.”
Gadis itu tertawa sarkas seraya berkata, “Setelah mengurungku di tempat hina dan mengerikan selama enam belas tahun, kini kau ingin memberikanku tempat tinggal yang layak? Omong kosong macam apa itu, Ziosa.”