Entah ini akan terdengar biasa saja atau malah hal yang seru untuk dibaca, aku senang menjalaninya, walaupun ada hati yang kerap terluka.
“Dave, tugas Bahasa Inggrismu udah belum?” untuk pertama kalinya aku mengirimkan pesan kepada Dave saat ada di tingkat VIII Sekolah Menengah Pertama.
Memang kami dipertemukan pertama kali saat duduk di bangku kelas VIII. Aku sempat kagum pada namanya ketika perkenalan di depan kelas. Dave Folant. Pemilik darah Suku Betawi.
Wajahnya tidak begitu tampan, tapi sisi humorisnya mampu memikat ketertarikanku. Aku menjadi sering bercerita banyak kepada Dave. Dia pendengar yang baik, baru sekali ini kutemukan teman lelaki yang ingin mendengarkan teman lawan jenisnya bercerita. Aku masih berhubungan dengan seseorang saat itu, tidak begitu baik. Aku masih belum paham ketika itu tentang toxic relationship jadi aku tetap meneruskan hubungan dengan masa laluku atas dasar sayang. Dave tau persis bagaimana rumitnya kisah masa laluku dengan Ansa, lelaki yang sudah kukenal sejak duduk dibangku kelas V SD.
”Dave, aku ada masalah lagi sama Ansa. Aku bingung harus gimana lagi ngadepin dia, sikap dia yang kek anak kecil bikin aku jadi sering kepikiran, pusing banget aku.”
“ya Lu sayang ngga Giy sama dia? Kalo Lu masih sayang ya coba diomongin baik-baik,” jawab Dave untuk meyakinkanku.
Hubunganku dan Ansa hanya berjalan selama satu tahun lebih dua bulan. Tepatnya pada kelas IX dia memutuskan untuk berpisah dariku, dengan alasan fokus ujian. Terlalu klasik menurutku. Banyaknya permasalahan, sikap Ansa yang tak pernah menghargaiku, cemburuan, posesif, overprotektif, dan sosoknya terkadang kasar membuatku merasa berjuang sendirian untuk suatu hubungan yang toxic. Jika diingat-ingat aku terlalu bodoh mempertahankan lelaki seperti dirinya. Butuh waktu lumayan lama untuk aku bisa benar-benar melupakan Ansa.
Dikelas IX ini, aku bertemu lagi dengan Dave, teman ceritaku. Aku sangat bersyukur bisa satu kelas lagi dengannya. Setelah berpisah dengan Ansa, aku kembali membuka hati. Aku dekat dengan temanku semasa kelas VII. Satya namanya. Ternyata dia sudah mengagumiku dari lama, tapi dia malu untuk mengungkapkannya. Apalagi Satya sedang tidak tinggal di kotaku.
Sambungan suara nan jauh di Medan dari Satya, “Giya, aku mau ngomong.”
Tentu saja membuatku terkejut karena tidak seperti biasanya dia berbicara serius seperti ini.
“kenapa Sat, serius banget kedengerannya.” Jawabku dengan nada sedikit tertawa agar aku tidak begitu gugup.
“kalo kamu jadi pacarku mau ngga? Ngga juga gapapa Giy. Aku terima apapun itu jawabanmu.”
Hening. Aku diam membisu memikirkan jawabannya. Aku tidak ingin memiliki hubungan serius dengan Satya. Maaf, karena hatiku belum terlalu yakin jika harus membangun hubungan dengan Satya.
“uhh, Satya. Maaf ya..”
“iya Giy ngga papa.”
Belum selesai aku menjelaskan kepada Satya, dia sudah paham maksudku. Iya. Aku menolaknya. Karena memang perasaanku tidak bisa dipaksakan. Tapi satu hal baik dari Satya. Dia masih saja bersikap baik kepadaku, masih saja mengirimku pesan untuk mengetahui kabarku setiap hari.
Aku bercerita kepada Dave, seperti biasa. Dan dia masih meresponku dengan baik. Dave juga sedang mendekati adik kelas saat itu.