Jakarta, 2025.
Pagi itu, bandara dipenuhi suara riuh yang saling bertumpuk. Orang-orang berlari ke sana kemari, menyeret koper mereka dengan tergesa, sementara sebagian yang lain hanya duduk dengan ekspresi kosong, menunggu giliran untuk pergi atau datang. Bau kopi, croissant, dan aroma mesin AC yang dingin bercampur. Sesekali, suara pengumuman penerbangan menggetarkan langit-langit bandara, bercampur dengan gelak tawa anak-anak dan obrolan orang-orang yang sedang menunggu.
Aku duduk sendirian di sudut ruang tunggu yang sepi. Mataku menatap layar ponsel, namun pikiranku terbang jauh, menjelajah kenangan bersama Deva yang ada di dalam foto-foto lama yang tak pernah kuhapus. Dua belas tahun persahabatan kami berjalan begitu cepat, seolah waktu tak pernah benar-benar terasa. Tak ada pertengkaran besar, tak ada kata-kata menyakitkan, hanya tawa dan kebersamaan. Dan sekarang, saat ini, aku akan menyaksikan perpisahan itu—perpisahan yang belum pernah aku bayangkan.
Deva akan pergi.
Aku sudah tiba di bandara hampir dua jam lebih awal dari jadwal keberangkatannya. Waktu berjalan lebih lambat hari ini, seakan aku terjebak dalam kebingungan yang tak bisa kuterima. Aku berjalan tanpa arah, bahkan sempat menaiki kereta gantung bandara yang menghubungkan terminal satu, dua, dan tiga. Aku menyusuri lorong-lorong besar itu, berpura-pura mengamati toko-toko makanan, membaca daftar penerbangan yang tertera di layar besar, atau sekadar duduk di bangku kosong yang ada di sana. Tapi tak peduli ke mana aku pergi, bayangan perpisahan terus mengikuti, menjelma dalam bentuk setiap langkahku.
Kereta gantung bandara berhenti di terminal tiga. Aku turun pelan-pelan, langkahku lesu menyusuri koridor panjang berlantai marmer dingin. Di kanan kiriku, penumpang lain bergerak cepat dengan arah dan tujuan masing-masing. Sementara aku—hanya berjalan tanpa arah, berharap waktu bisa dilipat dan aku tidak harus sampai ke momen ketika dia benar-benar pergi.
Di layar informasi digital yang tergantung tinggi, barisan nama kota muncul dan menghilang. Mataku tertahan pada satu baris: Seoul – 10.45 WIB – On Time.
Kupandangi baris itu lama. Tanganku refleks menggenggam ponsel, membuka pesan terakhir dari Deva tadi malam. Pesannya pendek. “Ra, makasih udah mau nganter. Besok pagi, terminal tiga.”
Tidak ada emoji. Tidak ada pertanyaan, tidak ada harapan. Seperti biasa. Sederhana dan menggantung.
Aku menarik napas dalam-dalam, menahan rasa yang bergemuruh di dada. Aku ingin marah, ingin memeluk, ingin mencegah kepergian ini—tapi semuanya hanya berputar di kepala. Tak ada yang benar-benar keluar.
Langkahku terhenti di depan sebuah jendela besar yang menghadap ke landasan pacu. Pesawat-pesawat berbaris rapi, seperti menunggu giliran untuk lepas landas. Seperti Deva. Seperti perasaanku yang tak pernah diizinkan benar-benar pergi.
Aku masuk ke salah satu toko oleh-oleh yang menjual gantungan kunci, boneka maskot bandara, dan cokelat dalam kemasan elegan. Musik instrumental diputar pelan dari speaker di langit-langit, terdengar terlalu manis untuk pagi yang terasa getir ini.
Tanganku meraih gantungan kunci berbentuk pesawat, memutar-mutarnya sebentar, lalu meletakkannya kembali. Aku tersenyum pada penjaga toko yang menyapaku, lalu berpura-pura tertarik dengan cokelat edisi khas Korea. Semua gerakanku kosong. Tidak satu pun yang benar-benar ingin kulakukan.
Di meja kasir, ada kartu ucapan bertuliskan:
“Untuk yang akan pergi jauh, semoga hatimu tetap tinggal di sini.”
Aku menelan ludah. Lucu sekali. Seolah alam semesta tahu bahwa aku sedang belajar merelakan seseorang yang tak pernah benar-benar kumiliki.
Aku keluar dari toko, berjalan melewati lorong yang lebih sepi. Di ujung lorong itu ada bangku panjang dengan colokan listrik di sampingnya. Aku duduk di sana, membuka folder foto di ponselku yang berjudul Kita—isi folder itu penuh gambar berdua. Aku dan Deva, tersenyum di taman bacaan, di kedai kopi, di peron stasiun, dan di antara rak buku kampus.
Aku menatap satu foto di mana aku tertawa, sedangkan Deva sedang mengalihkan pandangan ke arah lain. Aku tak ingat kapan foto itu diambil. Tapi sekarang, gambar itu terasa seperti kesimpulan dari semuanya: aku selalu menatapnya, sementara dia sibuk melihat ke arah yang lain.
Aku kembali ke bangku panjang yang kulihat tadi, tidak jauh dari vending machine yang mengeluarkan suara dengung konstan. Angin dari AC sentral membuat ujung jariku dingin saat menggenggam ponsel.
Seorang petugas kebersihan—lelaki paruh baya dengan seragam biru tua—berjalan pelan mendekat, mendorong tong sampah besar beroda.
“Sendirian, Mbak?” tanyanya sambil berhenti sejenak untuk memungut botol plastik dari bawah bangku.
Aku tersenyum kecil. “Iya, Pak. Nunggu orang.”
Dia mengangguk, lalu melirik ke layar informasi di atas. “Mau nganter yang ke luar negeri, ya?”
Aku menoleh. “Kok Bapak tahu?”
“Pagi-pagi kayak gini, yang nunggu lama biasanya begitu,” katanya sambil tertawa kecil. “Kalau cuma antar ke Surabaya atau Medan, paling lima belas menit juga pulang.”
Aku ikut tertawa, tapi rasanya hambar.
Sambil berbalik, dia sempat menepuk tong sampahnya dan berkata, “Kalau sempat, jangan nunggu di sini terus. AC-nya dingin, nanti malah masuk angin.”
Setelah dia pergi, aku menarik napas panjang dan menyelipkan ponsel ke saku. Seseorang duduk di kursi dua bangku dariku, tapi aku tak menoleh. Fokusku tertahan pada suara panggilan boarding yang menggema sesaat—bukan untuk penerbangan Deva, tapi tetap saja jantungku berdegup lebih cepat.
Aku membungkuk sedikit, membuka tas kecilku, dan mengeluarkan sebungkus permen mint. Mulutku kering sejak tadi. Aku membuka bungkusnya, lalu menaruh permen di lidah.
Dingin.
Seperti pagi ini.
Seperti kata-kata yang tak pernah sempat kuucapkan.
Suara pengumuman baru saja lewat. Bukan untuk penerbangan Seoul. Tapi jantungku tetap berdegup, seperti alarm yang tak bisa diatur ulang.
Aku melirik jam tangan. 09.15.
Masih ada waktu. Tapi rasanya seperti siksaan pelan-pelan.
Tanganku sudah berkeringat, meski udara di sekitarku dingin. Aku mencoba menyeka telapak tanganku ke celana jeans yang kupakai, lalu menyalakan layar ponsel hanya untuk memeriksa waktu yang sama, lagi dan lagi.
Seorang ibu muda duduk di bangku sebelahku. Ia memeluk anak laki-lakinya yang merengek minta pulang.
“Sebentar lagi, sayang. Papa belum naik pesawat,” bisiknya lembut.
Aku memalingkan wajah, pura-pura sibuk dengan tasku. Ada sesuatu dari suara anak kecil itu yang menusuk terlalu dalam. Tentang ditinggalkan. Tentang menunggu. Tentang tidak tahu kapan harus mengikhlaskan.
Mataku kembali tertuju pada layar informasi digital.
Seoul – 10.45 WIB – Check-in Ongoing.
Aku menghela napas pelan. Perasaan ini seperti duduk di kursi yang goyah di atas jurang. Setiap detik mendekatkan pada ujung yang tak bisa dielakkan.
Aku membuka ponsel lagi. Tidak ada pesan dari Deva. Tidak ada notifikasi.
Tapi tiba-tiba, getaran lembut membuat tanganku refleks menoleh.
[Deva]: “Aku udah deket, Ra.”
Cuma itu.
Tapi dadaku langsung penuh. Tanganku gemetar sedikit saat mengetik balasan.
[Aku]: “Oke. Aku di bangku deket Gate 3.”
Kupencet tombol kirim.
Lalu kutatap layar kosong itu, menunggu balasan yang tak kunjung datang.
Dan untuk pertama kalinya pagi itu, aku sadar—yang lebih menyakitkan dari ditinggalkan, adalah tahu bahwa kamu tidak pernah benar-benar dipilih untuk ditinggali.