Bandung, 2012
Kampusku sering disebut sebagai kampus biru. Tak hanya karena dominasi warna bangunannya yang mencolok, tapi juga karena suasananya yang entah mengapa selalu menghadirkan kenangan yang menenangkan sekaligus menyisakan getir. Di sinilah semua bermula. Di antara bangku-bangku ruang rapat BEM yang keras, meja panjang dari kayu jati kusam, dan whiteboard penuh coretan rencana kegiatan kampus, aku bertemu dengannya—Deva.
Hari itu, aku datang agak terlambat untuk rapat perdana pengurus BEM. Kupikir aku akan jadi orang paling akhir yang masuk ruangan, ternyata masih ada satu orang yang baru duduk tak jauh dari pintu. Dia mengenakan hoodie abu-abu dan sedang membaca buku sambil menggoyang-goyangkan kaki, seolah dunia di sekitarnya tak terlalu penting.
"Aku duduk sini, ya?" tanyaku sambil menunjuk kursi di sampingnya.
Ia menoleh. "Boleh banget. Kamu juga pengurus baru?"
"Iya. Dari Sastra Indonesia. Kamu?"
"Sastra Korea. Deva."
"Indira," jawabku. Lalu kami sama-sama tersenyum, canggung tapi hangat. Tak ada perkenalan panjang, hanya nama dan jurusan, tapi entah mengapa aku merasa seperti sudah mengenalnya sejak lama.
Tak butuh waktu lama sampai aku melihat judul buku yang tadi ia baca: Sang Pemimpi. Kedua mataku langsung menyala.
"Kamu baca itu juga?" tanyaku spontan. "Aku suka banget tetralogi Laskar Pelangi."
Deva menutup bukunya perlahan, seolah menghargai responsku. "Kamu juga? Jarang lho yang bahas detailnya."
"Yang paling aku suka tuh Arai. Gila, dia bisa seoptimis itu di tengah kekacauan."
"Aku malah suka Ikal. Konyol, keras kepala, tapi puitis banget," katanya sambil tertawa kecil.
Sejak percakapan itu, ruang rapat seolah mengecil untuk kami berdua. Kami berdua lupa bahwa kami duduk di forum mahasiswa. Lupa, jika di sekeliling kami ada banyak orang lain. Akan tetapi, kami hanya dua anak muda yang terlalu asyik mengobrol soal buku.
Hingga akhirnya, suara ketua BEM memotong obrolan kami dengan nada setengah bercanda, setengah gemas, "Indira, Deva… kalian ini kayak lagi bedah buku, bukan rapat pengurus!"
Beberapa orang tertawa. Aku langsung menunduk malu, sementara Deva cuma nyengir tak merasa bersalah. Tapi diam-diam aku senang. Hari pertama rapat, aku sudah menemukan satu hal langka—teman laki-laki yang nyambung diajak diskusi soal buku. Dan itu langka buatku.
Setelah pertemuan pertama itu, semuanya jadi terasa ringan. Kami sering duduk berdampingan saat rapat-rapat berikutnya. Kadang saat rapat mulai ngelantur, kami saling menyodorkan kertas kecil dengan tulisan-tulisan lucu atau kutipan buku. Deva selalu tahu cara membuat suasana tegang jadi cair.
Suatu siang, ketika pembahasan proker sedang membosankan, aku dan Deva kembali asyik mengobrol pelan.
"Aku baru selesai baca buku yang baru," ucapnya antusias.
“Buku apa?” tanyaku penasaran
“The Alchemist,” jawabnya yakin
“Ahhh, aku tahu. Aku membaca buku ini tahun lalu, bagus banget bukunya, aku suka,” jawabku antusias
Deva mengangguk setuju. "Setuju, perjalanan mencari harta karun yang sesungguhnya adalah perjalanannya. Ia berkelana sampai ke padang gurun padahal harta karunnya ada di belakang rumahnya. Mungkin untuk sebagian orang, cerita ini kayak buang-buang waktu padahal harta karun sesungguhnya adalah perjalanannya.”
"Setuju, aku juga suka pas dialog ini, 'Kalau kau menginginkan sesuatu, seisi jagat raya akan bekerja sama membantumu memperolehnya.' Itu bikin aku mikir panjang."
"Aku baru tahu kamu bisa sedalam itu, Ra," katanya sambil tersenyum kecil.
Aku menoleh. "Kamu pikir aku anak BEM yang cuma suka rapat dan bikin proposal?"
"Enggak juga. Tapi aku suka cara kamu baca buku. Bukan cuma dicerna, tapi direnungkan."
Deg. Aku terdiam sebentar. Entah kenapa, komentar Deva barusan menancap agak dalam.
Obrolan kami berakhir saat ketua BEM kembali menegur, kali ini lebih serius. "Deva, Indira… bisa simpan dulu bedah bukunya? Kita lagi bahas kegiatan pengabdian masyarakat."
Aku tersenyum canggung, sementara Deva lagi-lagi hanya mengangkat bahu dan menjawab enteng, "Maaf, Bang. Kebiasaan kalau udah ngomongin literatur."
Tawa kecil terdengar lagi, tapi aku tahu batasnya. Sejak itu, kami berdua mencoba lebih fokus saat rapat, meskipun tetap saja, diskusi buku kami berpindah ke tempat lain—kantin kampus dekat kolam ikan atau di bawah pohon bodi di dekat stage outdoor kampus.
Di situlah Harry muncul untuk pertama kalinya. Ia duduk di seberang kami, membawa laptop dan sebotol teh dingin.
"Lo berdua nih udah kayak acara podcast sastra. Tapi bikin sinyal rapat gangguan!" katanya blak-blakan.
Deva tertawa. "Santai, Har. Kita lagi ngasah otak."
Aku ikut tersenyum. "Kamu temannya Deva?"
"Iya. Gue Harry. Sastra Jepang."
"Indira. Sastra Indonesia," jawabku.
"Nggak usah terlalu formal deh. Lo bisa manggil gue Harry aja. Kalo bisa, mulai biasain ngomong 'gue-lo' juga ya. Biar gaul dikit."
Harry menyeringai jahil. Dari sanalah awal mula aku jadi ‘Indira yang dua bahasa’—pakai aku-kamu ke Deva, gue-lo ke Harry.
Deva? Dia hanya mengangkat alis melihat interaksi kami, lalu berkata sambil nyengir, "Seru juga ya kalo trio kayak kita main bareng."
Dan begitulah, hari-hari mulai terasa seperti potongan novel. Kami, tiga mahasiswa dari jurusan yang berbeda, mulai mengisi ruang-ruang kampus biru dengan diskusi buku, candaan receh, dan rencana kegiatan kampus. Tapi entah kenapa, hanya saat berbicara dengan Deva, aku merasa… istimewa.