12 Tahun, Tentang Asa Dan Rasa

Indira Raina
Chapter #3

KEKOSONGAN DIRI

Bandung, 2025

Bus Damri melaju pelan, meninggalkan bandara yang masih terang oleh lampu-lampu. Kaca jendelanya dingin, tapi dahiku tetap menempel di sana. Langit di luar gelap, tapi bersih. Seperti baru saja diseka setelah menahan tangis terlalu lama. Aku tidak membawa banyak barang, hanya satu tas selempang dan satu amplop kecil yang belum sempat kubuka sejak tadi siang. Amplop itu dari Deva. Diberikan buru-buru sebelum kami benar-benar berpisah. Ia hanya bilang, “Baca nanti aja.” Suaranya tenang, tapi matanya tidak.

Kupandangi langit yang kosong. Entah karena kebetulan, sebuah pesawat melintas di atas bus. Hanya berupa titik terang yang nyaris tak bersuara. Aku menatapnya lama. Ada kemungkinan kecil itu pesawat yang sama, yang membawa Deva menjauh. Atau mungkin bukan. Bagiku, itu tetap sama. Atau mungkin bukan. Tapi bagiku, itu sama. Titik cahaya itu perlahan menjauh, kemudian lenyap di balik gumpalan awan tipis. Dan saat itu, aku merasa ada sesuatu yang ikut hilang. Bukan Deva, bukan wajahnya, bukan suaranya.

Tapi… ritme.

Segalanya mendadak kehilangan tempo. Bahkan detak jam tanganku terdengar tak seirama dengan napasku sendiri. Kupalingkan wajah dari jendela. Kaca menyimpan bayangan samar wajahku lelah, pucat, dan sedikit kosong. Tapi mataku tidak merah. Tidak basah. Barangkali karena tubuhku sudah terlalu lelah untuk menangis. Atau barangkali, karena air mata bukan cara terbaik untuk meratapi kehilangan yang tidak bisa ditunjuk dengan satu jari.

Di bangku belakang, seseorang sedang mendengarkan musik dari ponsel. Lagu itu samar terdengar, tidak kukenal, tapi nadanya lambat. Dan anehnya, aku merasa lagu itu yang pantas untuk langit malam ini: sunyi, tapi tak benar-benar hening.

Bus terus melaju.

Di luar, jalanan menyimpan lampu-lampu kota yang mengabur. Di dalam, aku duduk dengan dada kosong. Tidak ada pesan masuk di ponsel. Tidak ada suara. Tidak ada tanya “sudah sampai di kos?”.

Aku menyandarkan kepala ke kaca sekali lagi. Dan dalam hati, aku berkata pada langit:

"Tolong jaga dia di sana. Aku tidak tahu harus menitipkannya pada siapa lagi."

Aku sampai di kamar kos sekitar pukul delapan malam. Jalanan tidak terlalu ramai, dan hujan tak jadi turun meski langit mengancam sejak sore. Kunci pintu kutarik pelan. Engselnya berbunyi seperti biasa, sedikit seret, sedikit menyebalkan. Tapi hari ini, suaranya terdengar lebih keras. Mungkin karena tidak ada yang menimpali dengan suara sapaan dari telepon, atau notifikasi pesan, atau bahkan suara napasku sendiri yang seringkali kutahan diam-diam.

Aku menyalakan lampu. Cahayanya kuning, teduh, dan menyambut seperti biasa. Tapi tak ada yang terasa biasa malam ini. Tas kutaruh di pojok meja. Jaket kulempar asal ke gantungan. Kupandangi kamarku sejenak: tempat tidur kecil, meja belajar, rak buku mini yang mulai dipenuhi jurnal, dan satu figura foto kecil yang sudah lama menghadap ke belakang. Aku bahkan lupa kapan terakhir kali membaliknya.

Aku berjalan ke jendela dan membuka tirainya setengah. Langit masih sama seperti saat kulihat dari bus. Hitam, bersih, dingin. Tapi tak ada lagi pesawat. Tak ada cahaya kecil yang bisa kusebut sebagai “mungkin itu dia.”

Kupikir, pesawat itu terlalu kecil untuk semua rasa ini. Untuk semua kata yang tak sempat kubisikkan saat menatapnya di bandara. Untuk semua kemungkinan yang tak bisa kubahas saat dia menatapku, menunggu isyarat, menunggu perhentian. Dan aku... seperti biasa terlalu takut untuk menaruh beban apa pun di punggungnya yang sudah penuh rencana.

Kupandangi langit itu seperti menatap pintu yang baru saja ditutup. Bukan dibanting. Tapi juga bukan perlahan. Kubiarkan tirai tertutup lagi. Aku duduk di tepi ranjang, membuka sepatu tanpa benar-benar peduli di mana mereka mendarat. Lalu kulihat amplop itu masih kusimpan di kantong jaket. Amplop kecil berwarna krem, bertuliskan tangannya sendiri: “Buka nanti.”

Aku belum siap.

Kupindahkan amplop itu ke laci meja, di antara pulpen dan jurnal lamaku. Dan untuk menenangkan diriku sendiri, aku berkata dalam hati: “Nanti itu bisa besok. Atau minggu depan. Atau… kapan pun setelah aku sudah berhenti berharap tentang isi suratnya.”

Kupandangi layar ponsel yang diam. Tak ada notifikasi baru. Hanya wallpaper yang tak pernah kugalih: pemandangan dari rooftop tempat kami pernah bertukar diam sambil menatap awan. Lucu. Dulu kami diam karena nyaman. Sekarang, aku diam karena takut kata-kataku hanya akan memantul kembali sebagai kesunyian.

Aku berbaring. Tanpa bantal. Tanpa selimut. Hanya ingin tahu bagaimana rasanya tidur tanpa beban, tapi dengan kekosongan yang begitu besar di dalam dada. Aku menutup mata. Tapi dalam pikiranku, pesawat itu masih melayang kecil, jauh, dan membawa sesuatu yang tak sempat kubungkus rapi: diriku yang belum selesai mengucapkan “jangan pergi.”

***

Lampu taman menyala setengah matang saat aku tiba. Beberapa bohlam di tiang sebelah timur masih berkedip, seperti enggan memilih antara padam atau terus menyala. Angin bergerak pelan, membawa suara plastik pembungkus makanan dari arah gerobak batagor dekat pagar. Aku duduk di bangku batu dekat kolam. Yang ujungnya retak. Yang dudukannya agak miring. Bangku yang sama, tempat Deva dulu sering mengeluh soal deadline, lalu mengalihkan topik jadi langit atau playlist baru yang katanya “kayak suasana hati kamu, Ra.”

Hari ini, tidak ada topik.

Aku hanya duduk, dengan tangan dimasukkan ke saku jaket. Dada terasa ringan, tapi bukan karena beban hilang tapi karena udara di sini terlalu tipis untuk mengisi kekosongan di dalam. Di seberang taman, dua anak kecil bermain sepeda roda tiga. Salah satunya tertawa keras, lalu terjatuh dan menangis. Seorang perempuan entah ibunya atau bukan mengangkatnya pelan dan meniup lutut yang tergores. Suara tangisnya berhenti dalam tiga detik.

Aku pernah berharap bisa begitu dipeluk, ditiup, lalu semua hilang.

Deva pernah duduk di bangku ini. Menyodorkan kopi dingin karena lupa beli yang hangat, lalu beralasan, “Yang penting niatnya.” Kami tertawa waktu itu. Lama. Sampai dahan pohon di belakang mengirimkan daun-daun kering ke pundak kami.

Sekarang, daun-daun itu jatuh sendiri. Diterbangkan angin ke arah yang tak kukenal. Kupandangi layar ponsel. Masih tidak ada pesan. Tapi aku tak menunggunya. Setidaknya, bukan dengan cara yang sama seperti kemarin. Kupandangi langit. Tak ada pesawat kali ini. Hanya satu garis uap putih memanjang seperti sisa ingatan yang belum benar-benar hilang.

Deva dulu selalu menyempatkan waktu untuk kembali. Bahkan ketika sudah pindah ke Jakarta, bahkan saat kerjaan menumpuk, bahkan ketika lelah. Dia selalu datang kalau bukan untukku, untuk dirinya sendiri yang tahu bahwa tempat ini menyimpan bagian dari kita.

Tapi sekarang, jaraknya tak lagi bisa ditempuh oleh niat baik atau tiket promo. Aku menunduk. Membiarkan ujung sepatu menggambar lingkaran kecil di atas pasir. Dan di tengah lingkaran itu, aku merasa: sebagian dari yang dulu menghangatkan taman ini... sudah ikut terbang bersama pesawat itu.

***

Jam dinding di ruang editorial menunjukkan pukul sembilan lebih sepuluh. Aku masuk dengan langkah pelan, membawa dua lembar hasil proof yang belum selesai kutandai. Kantor belum ramai, hanya ada suara printer dari meja sebelah dan gelas kopi yang diketuk-ketuk ritmenya oleh Risa.

“Tumben telat, Ra. Lo biasanya paling duluan,” katanya tanpa menoleh, matanya masih tertuju pada layar.

Aku meletakkan map kerjaku ke meja. “Baru tidur jam tiga.”

Risa mendongak. “Insomnia atau overthinking?”

Aku tertawa kecil. “Kurang tidur aja. Enggak usah pakai diagnosis.”

Dia menatapku sekilas, lalu melemparkan satu biskuit ke arahku. “Makan dulu. Lo kelihatan kayak kertas yang belum dicetak.”

“Lusuh ga?”

“Lebih kayak rusuh sih.”

Tawa kami beradu cepat dengan langkah kaki Mas Arya yang masuk sambil membawa dua dus buku dari percetakan. “Awas, ini berat, jangan cuma diliatin.”

“Tenang, Mas,” sahut Risa. “Indira butuh olahraga hati, eh, otot.”

Aku berdiri dan ikut menata buku ke rak. Tanganku gemetar sedikit karena belum sarapan. Tapi aku menyibukkan diri agar tak terlihat.

“By the way,” kata Risa sambil menyandarkan tubuh ke meja, “kemarin lo ke bandara, ya? Kok story lo… sunyi.”

Aku mengerutkan alis. “Kamu lihat story yang mana?”

“Yang langit. Terus tiba-tiba ilang. Lo enggak posting lagi.”

Aku menghela napas pelan. “Enggak mood posting. Kebanyakan mikir.”

Risa menatapku lagi, kali ini lebih lembut. Tapi tak berkata apa-apa. Hanya melempar kalimat netral, “Kalau butuh teman nonton film jelek, kabarin. Gue selalu punya waktu buat drama gak penting.”

Aku tersenyum. “Nanti aku booking ya.”

Hari itu berjalan seperti biasa. Deadline tetap datang, pesan grup kerja tetap berisik, dan kopi tetap pahit. Aku ikut tertawa di jam makan siang saat Mas Arya cerita soal penulis yang ngambek karena typo. Aku ikut bantu desain cover buku baru yang warnanya terlalu mencolok.

Semuanya berjalan… seperti tidak ada yang pergi dari hidupku. Tapi di tengah tumpukan halaman yang harus dicek satu per satu, jemariku berhenti sejenak di kata “pergi”.

Hanya satu kata. Tapi seperti kunci yang membuka ruangan sunyi dalam pikiranku.

“Ra, lo ngelamun?” suara Risa memecah lamunanku.

“Enggak. Cuma... lagi mikirin tanda baca.”

Dia mengangguk. “Tanda baca tuh kayak hidup ya. Kalau enggak dikasih titik, kita enggak tahu kapan selesai.”

Aku tertawa tipis. “Atau kapan harus berhenti dulu.”

Lihat selengkapnya