12 Tahun, Tentang Asa Dan Rasa

Indira Raina
Chapter #4

SUASANA YANG TAK SAMA LAGI

Bandung, 2015

Langit Bandung sore itu menggantung, ragu-ragu. Seperti tidak yakin akan turun hujan atau sekadar mengirim angin dingin saja. Aku duduk di bawah pohon bodi yang sama—yang dulu jadi tempat paling hidup di kampus ini. Tapi hari ini, tempat ini terasa kosong, meski spanduk “Literasi Week” masih tergantung di pagar belakang panggung.

Tanganku sibuk menggulung ujung gelas plastik yang sudah tak dingin. Es tehnya hampir habis, rasanya pun hambar. Di layar ponsel, pesan dari Deva masih berhenti di notifikasi dua jam lalu:

“On the way, Ra.”

Tidak ada “sebentar lagi”, tidak ada “maaf telat”. Hanya satu kalimat pendek yang sekarang terasa semakin jauh. Biasanya, aku akan menunggunya sambil membaca atau menulis di jurnal. Tapi hari ini, jurnal itu terbuka tanpa tulisan baru. Hanya ada satu kutipan yang kugaris miring:

Kadang, hal-hal yang tak diucapkan justru yang paling meninggalkan jarak.

Aku menyimpannya kembali begitu suara langkah datang dari arah panggung.

“Ra,” katanya. Aku menoleh. Deva berdiri di sana—jaket abu-abu gelap, rambut sedikit acak, dan wajah lelah seperti belum tidur cukup. Tapi bukan itu yang membuatku tercekat. Ada jeda di sorot matanya. Seolah ia datang ke tempat yang dulu akrab, tapi kini terasa asing.

“Maaf, tadi ada presentasi mendadak di tempat magang,” katanya sambil duduk. Jarak tubuh kami sekepal tangan lebih jauh dari biasanya.

Aku mengangguk. “Enggak apa-apa,” jawabku, terlalu pelan.

Biasanya, dia akan langsung mengambil minumanku dan mengeluh soal kerjaan atau dosen pembimbing. Tapi kali ini, dia hanya duduk. Matanya menatap ke depan, ke arah panggung kosong. Tidak ada candaan, tidak ada cerita. Hanya desah napas yang terdengar tipis.

“Kamu masih suka duduk di sini?” tanyanya, akhirnya.

Aku mengangguk. “Iya. Tempatnya belum berubah.”

Dia menoleh sekilas. “Orangnya juga belum?”

Kalimat itu menggantung di antara kami. Aku menoleh ke arahnya, tapi dia sudah kembali memandangi lantai semen yang retak di ujung bangku.

“Aku masih di sini,” kataku, lebih sebagai pengingat untuk diriku sendiri.

Angin datang membawa bau tanah basah sisa hujan kemarin. Beberapa helai rambutku menempel di pipi. Dia sempat mengangkat tangan, seperti hendak merapikannya. Tapi gerakannya berhenti di tengah jalan. Jemarinya mengepal, lalu turun perlahan ke lututnya.

“Kamu sibuk banget ya akhir-akhir ini?” tanyaku, hati-hati.

Dia mengangguk kecil. “Magang, skripsi, kadang rasanya enggak punya waktu buat apa-apa.”

Aku menarik napas. “Termasuk buat duduk bareng?”

Dia diam. Lalu tersenyum, tapi tidak sampai ke mata. Senyum tipis yang terasa seperti permintaan maaf yang tak pernah diucapkan.

Aku menunduk, menatap ujung sepatuku. Debunya banyak. Sudah lama tidak kupakai.

“Dulu,” kataku pelan, “kita bisa ngobrol berjam-jam tanpa kehabisan topik.”

Deva tertawa kecil, singkat. “Sekarang malah terlalu banyak topik, tapi gak tahu mau cerita yang mana.”

Kami sama-sama diam lagi.

Sore ini bukan tentang pertemuan. Tapi tentang menyadari bahwa hal-hal yang dulu membuat kami dekat, perlahan menguap begitu saja.

*

Aku tiba di perpustakaan pukul sembilan pagi, berharap bisa dapat tempat di pojok favorit lantai dua. Tempat itu cukup sepi, dekat colokan, dan biasanya jadi tempat Deva duduk kalau kami kerja bareng.

Tapi pagi itu, bangku itu kosong.

Sudah seminggu ini kami jarang mengerjakan skripsi bersama. Dulu, tiap pagi kami saling kirim pesan: “Perpus, jam berapa?” atau “Bawa laptop nggak? Aku males.” Tapi kini tak ada lagi pesan itu. Waktu kami mulai tidak sinkron, dan aku tidak tahu apakah kami masih sedang menuju tempat yang sama.

Aku membuka laptop dan menyalakan dokumen bab tiga. Tapi pikiranku melayang ke notifikasi yang tak pernah muncul lagi. Tidak ada Deva yang memintaku mengecek draft skripsinya. Tidak ada keluhan soal dosen pembimbing yang super sibuk. Tidak ada suara tawa pelan di sebelahku saat kami membaca kalimat sendiri yang terasa terlalu sok puitis.

Kali ini, hanya ada sunyi yang terus mengingatkan: dia tak di sini.

Sejam kemudian, aku melihat Harry berjalan masuk, mengenakan hoodie merah, membawa dua gelas kopi.

“Eh, lo di sini juga?” sapanya santai.

Aku mengangguk. “Ngincer tempat biasa.”

Harry melirik kursi kosong di sebelahku. “Deva nggak dateng?”

Aku menggeleng.

“Dia kayaknya sekarang sering ngumpul sama temen-temen magangnya. Udah kayak geng baru lihatnya,” katanya sambil duduk di seberangku.

Aku tersenyum kaku. “Ya, mungkin karena waktunya banyak di sana juga.”

Harry menyodorkan satu gelas kopi. “Gue beli dua. Kalau lo gak minum, ya berarti rezeki gue dobel.”

Aku tertawa kecil. “Aku minum. Tapi setengah aja.”

Kami hening sejenak. Harry menatapku lama sebelum akhirnya berkata,

“Lo baik-baik aja, Ra?”

Aku pura-pura sibuk menyorot kursor di layar. “Baik kok. Cuma mumet aja.”

“Bukan karena skripsi doang, kan?” tanyanya, setengah serius.

Aku tidak menjawab.

Bahkan aku sendiri tidak yakin—apa yang bikin dadaku berat belakangan ini. Mungkin karena perasaan yang tak pernah kubagi, kini malah jadi terlalu besar untuk kusimpan sendirian. Atau mungkin karena ritme yang dulu terasa pas, sekarang tak lagi selaras.

Dulu, kalau kami beda jadwal pun, tetap ada upaya untuk bertemu di tengah. Sekarang, rasanya seperti kami berjalan dengan tempo masing-masing, dan tidak ada yang menoleh ke belakang untuk memastikan yang lain masih ikut.

Harry mengalihkan pandangan ke luar jendela. “Kadang gue mikir, ya… kita semua bakal sibuk setelah lulus. Tapi lucu aja, lulusnya aja belum, sibuknya udah kayak orang kerja dua shift.”

Aku tersenyum pelan. “Mungkin ini latihan.”

“Latihan ninggalin yang udah biasa ada?” katanya cepat.

Aku menatapnya. Ingin menjawab, tapi kata-kataku mengendap di kerongkongan. Hari itu aku pulang tanpa menyelesaikan satu halaman pun. Tapi bukan karena tidak sempat.

Karena pikiranku sibuk menyesuaikan diri dengan kenyataan baru:

Kami… tidak lagi satu jadwal. Dan mungkin, sebentar lagi, tidak lagi satu arah.

 

-----

Kami duduk bersebelahan, seperti dulu. Di bangku panjang dekat vending machine lantai tiga, tempat favorit kami saat butuh rehat dari ruang bimbingan. Aku membuka bungkus wafer pelan-pelan, berharap suara plastiknya bisa mengisi ruang hening di antara kami. Di sebelahku, Deva sibuk dengan ponselnya. Kadang tersenyum kecil, kadang mengangguk sendiri. Tapi aku tak tahu apa yang sedang ia lihat dan entah kenapa, aku tak ingin tahu.

“Aku sempat baca ulang outline-ku tadi pagi,” ucapku, akhirnya membuka percakapan.

Deva menoleh cepat. “Yang bab tiga?”

Aku mengangguk. “Iya. Aku ngerasa ada yang janggal di transisi argumennya. Terlalu loncat.”

Dia bersandar ke belakang. “Coba tunjukin. Mungkin bisa aku bantu cek.”

Aku menyerahkan laptopku, dan dia mulai membaca. Jari-jarinya menelusuri trackpad dengan kebiasaan lama—pelan, hati-hati, seperti sedang menyusun nada. Aku memperhatikannya dari samping. Masih Deva yang sama. Tapi entah kenapa, rasanya seperti melihat seseorang dari balik kaca.

“Yang ini perlu ditata ulang. Terlalu banyak kutipan. Argumenmu jadi tenggelam,” katanya sambil mengetik beberapa catatan.

Aku mengangguk. “Aku ngerasa gitu juga.”

“Secara ide udah solid, tapi kamu harus percaya sama pemikiranmu sendiri,” lanjutnya sambil menyerahkan kembali laptopku.

Aku menerima laptop itu dengan pelan. “Makasih, Dev.”

Dia hanya mengangguk, lalu kembali bersandar. Matanya menatap ke luar jendela, ke arah atap gedung parkiran yang memantulkan sinar sore. Aku ingin bilang banyak hal. Tentang rasa rindu yang aneh, tentang sunyi yang muncul meski kami duduk bersebelahan. Tapi yang keluar justru,

“Kamu sibuk banget, ya, belakangan ini.”

Dia menoleh, lalu mengangkat bahu. “Lumayan. Proyek di tempat magang makin padat. Aku juga mulai bantu-bantu teman bikin proposal tender.”

Aku hanya mengangguk.

Dia menambahkan, “Kamu juga pasti lagi penuh, kan? Sidang udah deket. Aku lihat kamu sering pulang malam.”

Aku menoleh. “Iya, tapi… rasanya beda. Dulu meskipun sibuk, aku ngerasa kita tetap satu dunia.”

Dia tertawa kecil. “Mungkin sekarang kita berada di dunia yang berbeda.”

“Yang kadang berseberangan?” tanyaku pelan.

Lihat selengkapnya