12 Tahun, Tentang Asa Dan Rasa

Indira Raina
Chapter #5

DIAM YANG DISEMBUNYIKAN

Hari itu Bandung mendung sejak pagi. Langit seperti enggan membuka diri, dan angin membawa aroma tanah basah dari taman kecil di halaman kantor. Aku datang sedikit lebih pagi dari biasanya. Lantai dua masih sepi, hanya ada aroma kopi instan dari pantry yang menggantung malas di udara. Risa dan Mas Arya baru masuk lima menit setelahku dengan ransel besar dan wajah setengah kantuk.

“Ada proyek baru,” kata Mas Arya sambil menaruh map cokelat tebal di atas meja rapat.

Aku menoleh. “Risa juga?”

“Buku ini udah deal untuk naik cetak triwulan depan. Tapi penulisnya minta editor yang... bisa jaga rasa,” lanjutnya.

Risa melirikku. “Jaga rasa? Maksudnya?”

Mas Arya menyilangkan tangan. “Tulisan ini pribadi banget. Dia gak mau sembarang orang bongkar. Tapi dia percaya editor perempuan. Dan...” Tatapannya pindah ke arahku. “Dia minta kamu, Ra.”

Aku mengerutkan kening. “Aku?”

“Iya. Nama penanya Secret. Dia kirim draf via email dua hari lalu. Aku baru sempat buka tadi malam.”

Aku mengambil mapnya. Sampul depan polos, hanya tulisan Yang Kita Sembunyikan di tengah.

“Buku apa ini?” gumamku pelan.

“Fiksi. Tapi banyak bagian yang terasa kayak catatan harian,” kata Mas Arya.

Risa bersandar ke kursinya. “Udah baca belum, Ra?”

“Belum. Baru lihat sekarang.”

“Feeling gue sih, penulisnya naksir sama lo, Ra.”

Aku menoleh. “Maksudnya?”

Dia hanya senyum. “Lo baca dulu deh. Nanti kita bahas sambil ngopi.”

Setelah rapat, aku kembali ke meja kerja. Suasana kantor siang itu cukup ramai, tapi tidak bising. Suara ketik, mesin fotokopi, dan denting notifikasi laptop jadi latar belakang rutinku sehari-hari.

Kupandangi map di tanganku. Ada sesuatu dari beratnya yang terasa berbeda.

Aku buka lembar pertama.

Untuk siapa pun yang pernah menyimpan sesuatu terlalu lama...

Ini bukan cerita tentang keberanian. Ini cerita tentang penundaan yang menyamar jadi kekuatan.

Aku terdiam. Kalimat pembuka itu seperti surat tak bernama yang ditaruh di bawah pintu pikiranku. Halaman demi halaman kulihat cepat. Nama tokohnya... Nadira. Dan tokoh prianya? Devan.

Aku menggigit bibir.

Terlalu mirip.

Terlalu dekat.

Risa mendekat, menyandarkan diri ke meja. “Gue bilang juga apa.”

Aku menutup map perlahan. “Siapa penulisnya?”

“Belum tahu. Tapi nama penanya Secret. Lo yakin belum bisa nebak?”

Aku menggeleng.

“Ra,” katanya sambil mengecilkan suara. “Lo inget Kak Ridwan, enggak?”

Aku diam. Sekalipun tidak menjawab, aku tahu tubuhku sudah memberi isyarat.

“Dia kontak Mas Arya langsung. Tapi gak mau nama aslinya dimasukin. Maunya naskah ini dipegang sama lo. Ternyata naskah ini bukan cuma sekadar cerita, tapi pengakuan yang tertunda,”

Dunia sunyi sesaat di dalam kepala. Nama itu seperti kilas balik yang belum sempat dibicarakan.

Kak Ridwan.

Senior yang dulu menulis puisi dengan tinta hitam dan membawa termos kopi ke tiap rapat BEM. Yang duduk di sebelahku tiap kali diskusi, yang selalu bertanya apakah aku sudah makan atau belum.

“Ra?” suara Risa menarikku kembali.

Aku mengangguk pelan. “Oke.”

“Gue serius ya,” kata Risa. “Lo harus baca naskahnya.”

Aku tak menjawab. Hanya menggenggam erat naskah itu, seolah tahu: cerita ini bukan sekadar tulisan. Ini mungkin... semacam cermin.

-----

Ruang rapat sore itu sedikit lebih sunyi dari biasanya. Meja oval dengan kursi hitam berlapis kulit sudah terisi oleh tim kecil: aku, Risa, Mas Arya, dan satu kursi kosong di ujung meja.

“Dia bilang bakal datang tepat waktu,” ujar Mas Arya sambil melirik jam tangannya.

“Dia siapa, Mas?” tanyaku, mencoba tetap tenang.

“Penulisnya. Secret.”

Risa menyenggol sikuku pelan. “Deg-degan gak lo?”

Aku hanya menarik napas. “Biasa aja.”

Tapi jantungku tahu itu bohong.

Pintu diketuk dua kali. Mas Arya berdiri.

“Masuk.”

Seseorang membuka pintu perlahan. Langkahnya tetap seperti dulu: tenang, tidak terburu-buru. Jas hitam kasual, rambut sedikit berantakan seperti baru saja bangun tidur.

Mataku menangkapnya.

Dan jiwaku seolah berhenti sebentar.

“Kak Ridwan,” sapaku pelan.

Ia menoleh, tersenyum. “Hai, Ra.”

Nada suaranya masih sama. Hangat, tapi menjaga jarak.

Risa menyipitkan mata. “Lo masih inget namanya?”

“Masih,” jawab Kak Ridwan sebelum aku sempat bicara. “Namanya enggak pernah berubah.”

Mas Arya mempersilakan duduk. “Oke, kita mulai ya. Jadi ini tim yang akan menangani naskah Mas Secret, eh, maksud saya Mas Ridwan.”

Kami semua duduk. Risa menatapku dengan ekspresi jahil, tapi menahan komentar. Pertemuan dimulai dengan pembahasan teknis: struktur bab, gaya narasi, target pasar. Aku mencoba fokus. Tapi dari sudut pandangku, setiap gerakan Kak Ridwan terasa seperti jeda dari masa lalu.

“Aku minta Indira sebagai editor utama,” katanya di tengah diskusi.

Mas Arya mengangguk. “Itu juga yang bikin naskah ini sampai ke meja kami.”

“Kenapa aku?” tanyaku, tanpa menatapnya langsung.

“Karena kamu yang paling tahu mana kalimat yang jujur, dan mana yang cuma kata-kata,” jawabnya.

Suasana hening sejenak.

Risa menatapku. “Lo tahu dia dulu suka nulis puisi buat cewek-cewek kampus, kan?”

Aku tertawa pendek. “Tahu. Tapi katanya itu latihan doang.”

“Aku enggak pernah bilang gitu,” potong Kak Ridwan, senyumnya muncul. “Tapi aku tahu kamu yang paling jarang baca puisiku.”

“Karena kakak enggak pernah kasih lihat,” jawabku cepat.

“Karena waktu itu kamu enggak butuh puisiku. Kamu... butuh ruang.”

Aku terdiam. Ada sesuatu dari ucapannya yang terdengar... benar. Tapi juga menyakitkan, karena terasa seperti pernyataan yang tertunda selama bertahun-tahun.

Rapat selesai satu jam kemudian. Mas Arya dan Risa keluar lebih dulu. Aku masih membereskan catatan ketika Kak Ridwan berdiri di sebelahku.

“Kamu masih suka nulis?” tanyanya.

“Kadang. Tapi sekarang lebih sering motong tulisan orang.”

“Termasuk tulisanku.”

Aku mengangguk pelan. “Kita lihat nanti, siapa yang lebih banyak motong: aku atau kakak.”

Ia tertawa pelan. “Kalau kamu butuh ngobrol di luar jam kantor, kabarin. Aku enggak jauh.”

Aku tidak menjawab. Tapi senyumku muncul pelan melihat kepergian Kak Ridwan dari ruang meeting. Dan dalam hati, aku tahu:

Kadang, pertemuan bukan untuk membuka yang lama. Tapi untuk memastikan bahwa yang pernah ada... benar-benar pernah ada.

-----

Malam larut. Suara detak jam dinding terdengar jelas di ruang kecil ini. Layar laptopku sudah tertutup sejak sejam lalu, tapi aku belum ingin tidur. Naskah Yang Kita Sembunyikan tergeletak di pangkuan. Aku menandai Bab 8 sejak sore, tapi baru sekarang punya cukup keberanian untuk membacanya perlahan.

“Dia tahu, kan, kamu suka dia?” tanya Damar.

Arga tidak menjawab. Tapi senyum tipis di bibirnya cukup untuk menjelaskan banyak hal yang tak ia ucapkan.

“Terus kenapa kamu nggak bilang apa-apa ke dia?”

Arga memandangi gelas kopinya. “Karena dia nunggu orang lain.”

Aku berhenti membaca. Mataku menatap kalimat demi kalimat yang familiar. Kalimat yang pernah aku dengar dari Kak Amar tentang Kak Ridwan.

Aku lanjut membaca.

“Kamu yakin dia bahagia sama orang itu?” tanya Damar.

“Aku nggak tahu. Tapi aku tahu dia setia. Dan itu... cukup untuk bikin dia tetap di sana.”

“Padahal kamu bisa jadi tempat pulang juga, Ga.”

Arga menggeleng pelan. “Aku nggak pengen jadi pelarian. Kalau aku jadi tempat pulang, itu karena dia ingin, bukan karena dia lelah.”

Tanganku menggenggam tepi kertas. Mataku masih di halaman itu, tapi pikiranku sudah mundur jauh. Ke bangku panjang di halaman kampus. Ke hari ketika aku duduk sendirian setelah rapat, dan Kak Ridwan hanya menyodorkan segelas kopi sambil duduk di sampingku. Diam.

Bab 8 selesai lima menit kemudian, tapi rasanya masih menempel di dadaku.

Aku tahu ini fiksi. Tapi rasanya terlalu nyata.

Terlalu jujur.

Dan aku tahu, ini bukan hanya cerita tentang tokoh di naskah.

Ini mungkin, diam-diam, cerita tentangku.

Aku menutup naskah perlahan.

Memandang ke jendela kamar yang hanya memantulkan bayangan samar wajahku sendiri.

"Aku nggak pengen jadi pelarian."

Kata-kata itu berputar di kepalaku.

Dan entah kenapa, malam ini aku baru benar-benar sadar—bahwa Kak Ridwan selama ini bukan diam karena tidak tahu. Tapi karena terlalu tahu.

-----

Langit sore itu berwarna sangat jingga. Itu pertanda hari ini akan berakhir. Aku pikir hariku akan sedikit berwarna karena pertemuanku dengan Kak Ridwan tapi nyatanya kehadirannya mengingatkanku pada kepergian Deva beberapa minggu yang lalu.

“Masih suka duduk di tempat sepi, ya?”

Aku menoleh. Kak Ridwan berdiri sambil membawa dua gelas kopi plastik. Ia menyodorkan satu ke arahku.

“Aku lagi enggak nunggu kopi,” kataku, setengah bercanda.

“Tapi kamu enggak nolak.”

Aku menerimanya. “Terima kasih.”

Kami duduk di bangku kayu panjang di pinggir taman. Senja mulai turun. Langit Bandung mulai berubah ke warna yang tak bisa dijelaskan dengan satu kata.

“Masih sering ke kampus?” tanyaku, membuka obrolan.

“Kadang. Kalau lagi iseng atau cari wifi gratis,” jawabnya. “Tapi sekarang semua terasa lebih kecil. Atau mungkin, kita yang makin jauh dari sana.”

Aku mengangguk pelan. “Dulu aku pikir kita bakal lama di lingkaran itu. Rapat, ngetik proposal, nyusun konsep acara.”

“Dan makan mi instan tengah malam di sekre.”

Aku tertawa kecil. “Kakak masih inget?”

“Beberapa hal enggak perlu diingat buat tetap ada.”

Kami diam sebentar.

Suara kendaraan lewat, dan sesekali angin membawa wangi gorengan dari warung seberang taman.

“Aku kadang kepikiran,” ucapku akhirnya, “waktu dulu kita sering bareng, kakak pernah curiga enggak... kalau aku lagi sembunyi dari sesuatu?”

Kak Ridwan menatap lurus ke depan. “Bukan curiga. Aku tahu.”

Aku menarik napas. “Tahu, tapi enggak nanya?”

“Karena kamu selalu kelihatan kuat. Kadang, orang yang kelihatan kuat justru paling susah dijangkau. Dan saat itu terjadi, aku memilih diam dan hadir.”

Aku mengangguk. Tapi tidak membantah.

“Kalau kakak bisa balik ke masa itu,” tanyaku pelan, “kakak akan nanya?”

Ia menatapku lama. Lalu tersenyum kecil.

“Mungkin enggak. Karena kalau aku tanya, dan kamu jawab jujur... mungkin hubungan kita enggak akan jadi seperti sekarang.”

Senja sudah nyaris habis. Tapi percakapan kami belum selesai sepenuhnya.

“Aku banyak diam waktu itu,” aku mengaku. “Mungkin karena aku enggak tahu cara bilang: aku takut patah kalau berharap.”

Kak Ridwan menatapku, tapi tidak menyela.

“Aku tahu kakak ada,” lanjutku. “Tapi aku tidak mau menempatkan kakak di posisi yang sulit.”

Kami kembali diam.

Tapi diam kali ini bukan karena canggung.

Melainkan karena kami sadar:

Terlalu banyak hal yang dulu kami diamkan, bukan karena tak penting, tapi karena kami terlalu saling menjaga.

-----

Pagi di kantor selalu diawali aroma kopi dari pantry. Tapi hari ini ada tambahan: satu kotak kecil dibungkus kertas cokelat, dengan post-it biru muda di atasnya. Di mejaku.

Aku menatapnya curiga. Risa belum datang.

Kubaca tulisannya:

Lihat selengkapnya