Pikiran Gendis tidak tahu kemana siang itu, padahal langit pagi menjelang siang sangat cerah sekali. Lihat saja awan putih berkelompok seraya berjalan memayungi hamparan sawah yang siap-siap akan tersemainya bibit-bibit padi unggul.
Kedipan kilauan cahaya sinar matahari memantul pada kedipan permukaan sawah masih kelihatn di penuhi genangan air bercampur lumpur.
Burung-burung putih setiap kali menerjunkan patuk panjangnya sesaat menancap pada lumpur setengah air, terlihat ikan kecil sudah ada diujung patuknya. Semakin riang burung-burung segera menelan mangsa kecilnya masuk lewati kerongkongan panjangnya untuk memanjkan perutnya yang lapar.
"Kamu kenapa, Gendis?! Itu ndak bisa di jadi'kan bibit! Nanti kalau tumbuh pasti bibit padi itu ndak menghasilkan bulir-bulir padi yang baik. Ini toh, kalu kamu mau jadi'kan bibit padi yang baik dan pasitnya akan menghasilan bulir-bulir padi yang baik juga," capek juga Sabilah dari tadi berapa kali merampas ikatan bibit padi jelek, yang akan segera di semaikan pada sawah yang mereka berdua duduk diatas pematang sawah.
"Pasti kamu kepikiran, Arya?" dua pasang kaki putih mulus terbalut kain kebaya bercorak kembang bermain air sawah.
"Ini bibit padi yang baik, pasti nanti akan menghasilkan bulir-bulir padi yang baik juga. Jangan koyok kamu, Gendis. Tahu kamu sudah salah jalan, tetap saja kamu jalan. Apa nanti, kamu ndak takut jatuh?" sambil tangan kanannya Sabilah menancapkan ujung akar bibit padi kedalam sawah dan tangan kirinya masih genggam seikat bibit padi.
"Apa aku salah, Sabilah? Aku salah jalan mencintai Arya? Hatiku makin tersiksa dengan perjodohan ini. Padahal aku tahu, bila aku dengan Arya bagai langit dan bumi yang sulit di satu'kan," jawab rada sendu dua mata Gendis sambil tangannya mengambil seikat bibit padi ujung-ujungnya tidak layu.
Mereka berdua mulai dari ujung kanan pematang sawah, pelan-pelan mundur sambil tangan kanan mereka berdua mulai menancapkan ujung akar bibit padi kedalam lumpur sawah. Sengatan terik kilauan cahaya matahari makin tersenyum perhatikan dua gadis setengah membungkuk dengan hanya hijau dan merah tua pakaian kebaya yang di kenakan mereka berdua siang itu.
"Jangan'kan pabrik batik Ayahmu! Dirimu saja bisa kubeli, Arya!" segitu sombongnya pernyataan Nirma duduk sinis disamping Arya sonatk kaki kanannya menginjak pedal mobil mendadak berhenti dipinggiran jalan.
"Ini lagi? Kenapa kamu berhenti disini, Arya?! Nanti aku ketinggalan discon promo toko fashion yang aku akan beli!" kesal Nirma menarik handle pintu terbuka.
"Brug" pintu segera ditutup Nirma berdiri disamping sisi kiri pintu.
"Apa aku ndak salah memilih Nirma? Apa aku sudah salah jalan ndak mau dengar apa kata Ayah dan Ibu?" guman dalam hati Arya bingung sesaat lirikan matanya melirik kearah Nirma dua tangannya bersila didepan dadanya dan wajahnya makin meradang marah.
"Tuh'kan! Kita sudah telat, Arya! Tokonya'kan cuman sampai jam 12 siang saja kasih promo fashion disconnya!" dua mata Nirma sesaat perhatikan arloji bermerk di pergelangan tangan kanannya.
"Bisa besok-besok kita ketoko itu lagi, Nirma." sahut Arya berusaha tenangkan Nirma mundur berdiri dibawah pohon rindang. Wajahnya tidak mau melihat Arya, dua matanya hanya melihat lalu-lalang kendaraan yang penuhi jalan Malioboro.
"Bagaimana kalau kamu bebas milih batik di tokoku saja?" rajuk Arya berusaha tenangkan Nirma siang itu memakai dress pendek warna merah muda, rambutnya panjang dengan paparan make'up cantik tapi bernada sinis.
"Batik?!" kesal tidak suka Nirma mendorong mundur Arya terpentok mobil sedan berwarna putih.
"Aku mau kemall saja! Kalau kamu tidak mau antarkan aku! Ya sudah!" terasa hina dan rendah harga dirinya Arya hanya terdiam perhatikan langkah jalan Nirma.
"Nirma tunggu," sungguh sabar sekali Arya walau dirinya di rendahkan oleh Nirma, tapi dirinya berusaha untuk tetap merajut hubungannya dengan Nirma.
"Aku tahu, kamu dalam tekanan perjodohan itu dengan Gendis, gadis norak miskin kampungan itu! Ya, tapi tidak bisa begini juga, Arya! Kalau kamu sungguh mencintai aku, ya bikin aku happy dong! Atau kamu tidak mencintai aku? Ya, gampang nanti aku telpon orangku, kalau kamu tidak sungguh mencintai aku! Dan seluruh aset pabrik rokok, tidak jadi di berikan pada calon menantunya! Lagian kamu takut bangat sama Ayah dan Ibumu?! Kalau kamu tidak mengikuti apa kata mereka, kamu masih bisa dengan aku'kan? Seberapa banyak juga aset pabrik batik orang tuamu, ketibang aset pabrik rokok orang tuaku. Sudah kamu tidak pedulikan saja perjodohan itu, masalah kamu tidak mendapat'kan warisan pabrik batik itu tidak mengapa. Asal kamu tidak mau di jodoh'kan sama Gendis. Kan' masih ada aku." tersenyum sinis dalam hatinya Nirma padahal dalam hatinya ada niat busuk cuman mau perdayai Arya.