Srikandi Survivor

Ganezh
Chapter #2

Pilot Gadungan

Hujan berangsur berhenti. Kabin tampak remang dipenuhi asap tipis. Terdengar suara batuk, erangan, serta rintih kesakitan. Sahut-menyahut. Ada suara minta tolong, atau memanggil-manggil sejumlah nama. Sedikit cahaya menerobos keremangan kabin. Cahaya itu menceritakan bagaimana porak-porandanya keadaan kabin. Tubuh-tubuh manusia, kursi-kursi, dan barang bawaan tumpang-tindih tidak keruan. Bahkan ada yang terjepit. Di mana-mana ada darah. Percikan juga lelehan dari tubuh yang pembuluh darahnya tercabut, terkoyak atau terpotong.

Beberapa sosok mulai bergerak. Menggeliat, beringsut, juga merangkak. Menuju sumber cahaya. Mengarah ke pintu darurat atau celah patahan badan pesawat. Mereka yang berhasil ke luar kabin rata-rata terluka. Ada yang berdiri atau duduk. Terpana dalam diam. Bagai zombie. Menatap kosong ke arah bangkai pesawat. Belum percaya dengan apa yang baru saja mereka alami. Ada juga yang terkulai dan diam tak bergerak.

“Kii—kita jatuh! Ki-kita kecelakaan!” ujar seorang pria seraya menoleh ke sekeliling. Kemeja putihnya dipenuhi bercak darah. Suara-suara rintihan dan minta tolong terus terdengar dari dalam kabin. “Kita harus menolong mereka!” pekik pria itu lagi. Namun tak ada yang menggubris. Semua masih berdiri mematung, bersandar atau terduduk. Bahkan ada yang menggeletak begitu saja. “Saya Kapten Romo! Saya pilot pesawat! Kita harus menolong mereka!” Sekali lagi pria yang mengaku pilot itu berteriak. Benar saja. Setelah mendengar itu, beberapa orang mulai merespon. Bahkan mendekat.

“Menolong bagaimana, Pak?”

“Kita juga terluka!” Respon mereka masih kebingungan.

“Mereka harus dikeluarkan! Pesawat ini bisa meledak!” terang sang Kapten sambil bergegas menuju pintu darurat. Mendengar kata “meledak” sebagian orang tersadar. Beberapa di antaranya mengikuti sang Kapten. Dalam keremangan kabin tampak tubuh-tubuh bertumpuk. Terjepit di antara logam-logam kursi. Patahan-patahan logam itu juga menembusi beberapa tubuh penumpang.

Mereka terpana, kembali mematung. Gugup dan panik sembari meneriakkan sejumlah nama. Entah nama isteri, saudara atau kerabat mereka. Mengacuhkan korban yang menggapai-gapai minta tolong. Naluri alami manusia yang akan melindungi dirinya, kerabatnya, setelah itu baru memikirkan orang lain. Melihat itu, Kapten Romo kembali berteriak.

“Tolong bawa semuanya!” komando sang Kapten.

“Saya mau cari istri saya!” pekik seorang pria.

“Kakak saya belum ketemu, Pak!” jerit yang lainnya.

“Anak saya! Tolong cari anak saya!” timpal seseorang lagi.

“Bawa semua!” Sekali lagi Kapten Romo berteriak. Tak mengindahkan teriakan sahut-menyahut itu.

“Bagaimana dengan isteri saya?!” tanya orang itu masih ngotot. Kapten Romo tak menggubris.

“Pesawat ini akan meledak!” Hanya itu yang Kapten jeritkan. Usai itu, Kapten Romo memanggul tubuh seorang pria. Pria yang dipanggul itu berteriak memegangi kaki kanannya yang remuk menjuntai.

Sembilan orang pria bergerak bahu-membahu. Berjuang mengeluarkan penumpang dari kabin yang porak poranda. Baik digendong, dipapah, bahkan diseret. Ironisnya, ada yang berteriak-teriak tak mau diseret. Akibat tak tahan melawan rasa sakit. Beberapa di antaranya memohon dicarikan keluarganya. Bahkan ada yang minta carikan bagian tubuh yang hilang.

Sayang, mereka tak berusaha menarik tuas escape slide[1]di pintu ekor yang lumayan utuh. Tak bernasib seperti pintu darurat di bagian tengah yang rusak parah. Mungkin jika tangga darurat itu dibuka, akan memudahkan proses evakuasi. Tangga angin itu bisa jadi luncuran atau perosotan.

 

Usaha evakuasi tersendat, selain letih dan terluka, mereka kini banyak yang menangis berpelukan, atau hanya duduk bersimpuh. Seraya meratapi sesosok tubuh. Mungkin mereka telah berhasil menemukan kerabat mereka. Hanya sebagian kecil yang masih melanjutkan usaha evakuasi. Makin banyak tubuh yang berserak di sekitar bangkai pesawat.

Kapten Romo mengangkat tubuh seorang wanita tua. Tubuh itu menggeliat-geliat tanpa suara. Mungkin juga sedang sekarat. Usai meletakkan tubuh itu, sang Kapten jatuh terduduk. Terbatuk-batuk dan muntah. Luka dibahunya masih mengucurkan darah. Merembesi sekujur tubuh dan pakaiannya. Laki-laki itu meringis menahan sakit. Namun telinganya kembali mendengar teriakan minta tolong. Entah dapat kekuatan dari mana, sang Kapten kembali berdiri. Kembali bergegas masuk ke kabin. 

“Di mana?!” pekiknya kebingungan.

“To—loong—” Suara perempuan itu kembali terdengar.

“Di mana?!” Pekik Kapten lagi seraya menajamkan pendengaran.

“To—long.” Suara itu kembali terdengar. Ternyata sosok itu tak jauh darinya. Tertindih tubuh seorang pemuda. Susah payah Kapten Romo mengangkatnya. Karena tubuh itu masih terlilit sabuk pengaman. Setelah dibuka, Kapten Romo bergegas membopongnya ke luar.

“Tenang. Kau aman sekarang.” Bujuknya. Gadis itu memeluk Kapten Romo. Masih shock dan ketakutan. Belum jauh Kapten Romo ke luar, suara minta tolong kembali terdengar.

Lihat selengkapnya