Srikandi Survivor

Ganezh
Chapter #3

Lang, Jangan Mati!

Gadis itu duduk terisak. Ada luka robek di pelipisnya. Juga lelehan darah kering dari wajah hingga ke dagu. Di hadapannya, terbujur tubuh diam tak bergerak. Isakan gadis itu seketika terhenti, saat telinganya mendengar erangan lirih dan suara batuk. Mata yang diliputi air itu terbelalak. Menatap wajah orang yang tergeletak di depannya. Mata sosok itu perlahan terbuka. Wajahnya meringis menahan sakit. Seketika gadis itu menubruk dan memeluknya.

“Kau masih hidup, Lang!” serunya terbata. Di antara rasa senang, sekaligus sedih dan cemas. Mereka tak lain Kikan dan Alang. Pemuda itu masih tergeletak linglung. Belum memahami apa yang telah terjadi. Belum sadar siapa yang memeluk dan menangisinya. Kikan melepas pelukan. Bersusah payah untuk menghentikan tangisan. Perlahan membimbing kepala Alang ke pangkuannya.

“A—apa yang terjadi?” tanya Alang lemah.

“Kita kecelakaan, Lang. Pesawat kita jatuh!” terang Kikan disela isak tangis. Air matanya kembali tumpah. Menghujani muka Alang yang di pangkunya. Pelipis kanan Alang tampak biru lebam. Beberapa detik mereka membisu. Alang berusaha menebarkan pandangan. Kepalanya masih terasa pusing dan berdenyut. Namun pandangannya semakin jelas. Tampak di sekelilingnya orang-orang sedang menangis, terluka dan tergeletak berserakan. Lalu badan pesawat yang ditumpanginya tadi pagi. Tergolek berantakan. Bagai gelondong balok patah tiga. Moncongnya nyaris melesak ke dalam tanah. Tampak juga orang-orang yang sibuk mengeluarkan berbagai macam benda dari bangkai pesawat. Alang shock melihat semua itu. Tiba-tiba ia merasa mual. Memalingkan wajah, dan beberapa kali muntah. Ada bercak merah di muntahan itu. Lalu kepalanya kembali terkulai ke pangkuan Kikan.

Mata Alang kembali terpejam. Mungkin sedang berusaha mengingat apa saja yang baru dialaminya. Saat naik pesawat, bertemu gadis yang takut ketinggian, bertukar bangku, mengobrol, tiba-tiba pesawat berguncang. Lalu merasa tubuhnya dihempas dan dihantam puluhan palu godam. Hingga semua menjadi gelap. Itu memori terakhir yang berhasil ia kumpulkan.

“Lang?” Suara serak Kikan melecut kesadaran Alang. Perlahan pemuda itu membuka mata. Kikan tengah menatap cemas.

“Kepala dan dadaku—sakit,” keluh Alang kembali memejamkan mata. Kikan tak tahu harus menjawab apa, atau melakukan apa.

 “Lang—jangan mati,” bisik Kikan serak. Lebih terdengar seperti ratapan. Alang diam saja. Tampak masih berjuang mengatur napas. Ratapan Kikan membuat dadanya terasa makin sesak. Matanya seakan tak mampu lagi dibuka. Kepalanya kembali terkulai. Sekali lagi Kikan memanggilnya. Namun Alang tetap membisu. Kikan melihat tas pinggang Alang robek. Di baliknya ada rembesan darah. Tergesa Kikan melepas lilitan tas pinggang. Menyingkap kaos dan kemeja flanel Alang. Tampak ada luka memanjang. Tapi bukan luka yang parah. Sepertinya tas pinggang itu telah melindunginya. Jika tidak, mungkin ususnya akan membusai di sana.

Pendar cahaya bulan menghujam dedaunan. Menembus celah-celah kanopi hutan. Menampar badan pesawat yang teronggok dingin dan pucat. Tak jauh dari bangkai pesawat tampak puluhan jasad. Terbujur kaku dan beku. Sekitar empat meter dari ekor pesawat tampak orang duduk bergerombol. Sesekali terdengar suara mereka sedang berbicara.

Ruang kabin ekor tampak remang. Dipenuhi orang-orang terluka. Berhimpitan di sepanjang lorong. Ada suara batuk dan rintih kesakitan. Didera dingin, haus dan lapar. Sayup-sayup ada suara orang mengaji. Berusaha mendapat ketenangan jiwa. Memohon diberi kekuatan oleh Sang Pencipta.

Jumlah survivor menyusut dari 39 orang menjadi 27 orang. Ada 12 orang lagi meninggal dunia. Mereka yang hidup terdiri dari 10 wanita dan 17 orang pria. Di antara mereka ada empat orang yang masih koma. Hanya detak jantung yang menandakan mereka masih hidup.

Kelopak mata itu kembali terbuka perlahan. Hanya kegelapan yang terlihat. Beberapa kali bola mata itu mengerjap. Berusaha menyesuaikan retinanya dengan keremangan. Tubuhnya terasa dingin, namun rasa terbakar di tenggorokan. Sayup-sayup ia mendengar suara nyanyian. Bukan! Itu bukan nyanyian, tapi lantunan ayat suci Al-Qur’an. Ya, ada suara orang mengaji. Alunan itu ikut membantu menyegarkan ingatan. Dan, ia tak berharap sudah berada di alam barzah. Tiba-tiba kepalanya kembali berdenyut. Ia mendesah kesakitan. Ada sosok di sebelahnya yang tersentak. Lalu beringsut mendekat.

“Lang? Kau sadar?” suara gadis itu berbisik. 

“K—kau siapa?” tanya Alang.

“Kikan!” sahut gadis itu. Terdengar suara helaan napas Alang.

“Kita di mana?” tanya Alang lagi.

“Di kabin.” jawab Kikan. Hening sesaat. “Gimana keadaanmu?” tambah Kikan.

“Kepalaku sakit—aku haus,” sahut Alang pelan.

“Kita semua haus, juga lapar. Kita nggak punya apa-apa,” jawab Kikan berbisik. Alang berusaha bangkit untuk duduk.

“Orang-orang di mana?” Alang bertanya bingung.

“Sebagian di kabin. Sebagian lagi di luar,” jawab Kikan pelan.

“Gelap sekali,” gumam Alang.

“Kita di hutan.”

“Api?” 

“Api? Jelas nggak ada. Takut meledak!” Mendengar jawaban Kikan, Alang terdiam.

“Tas pinggangku?” Tampaknya ingatan pemuda itu sudah mencapai titik normal. Kikan tersenyum kecut.

“Ada. Ini kupegang,” jawab Kikan sambil berusaha memperlihatkannya. Alang tak mampu melihat. Setengah meraba ia meraihnya.

“Bantu aku,” pinta Alang.

“Maksudmu?” tanya Kikan tak mengerti.

“Bantu aku jalan.”

“Jalan ke mana?” tanya Kikan lagi.

“Bergabung dengan mereka.”

“Untuk apa? Nanti pingsan lagi. Jangan memaksa,” tepis Kikan tak setuju. Lalu diam membisu. Entah apa yang ada di benaknya.

“Jangan konyol, Kan! Aku nggak narsis, kelewat PD atau apa. Aku tahu ini bukan petualangan. Ini musibah! Aku cuma ingin bergabung dengan mereka!” cerocos Alang dengan napas memburu. Kikan kaget bukan main. Pikirannya bisa ditebak Alang.

Tanpa menunggu jawaban Kikan, Alang berusaha bangkit. Tapi belum lama berdiri. Ia merasa ada kunang-kunang yang memutari kepala. Kunang-kunang yang mampu menyengati kepala. Alang mendesah. Tubuhnya menegang. Darahnya seakan mengalir ke kepalanya dengan cepat. Terasa makin berdenyut. Ia meringis menahan sakit. Butiran-butiran keringat menghiasi wajahnya. Alang terhuyung dan limbung. Buru-buru Kikan memeluknya. Melingkarkan tangan Alang ke bahunya. Dasar cowok keras kepala! Makinya dalam hati. Tertatih Kikan memapahnya ke luar kabin.

 

Lihat selengkapnya