147 Letters

Mizan Publishing
Chapter #2

Bab 1

Nah, sekarang aku akan bagiin kertasnya, ya! Kelompok merah, kelompok kuning, dan kelompok hijau ....” Yes, enggak salah.

Dengan setengah melompat, aku berpindah dari satu kerumunan meja besar ke kerumunan lainnya. Hari ini, kelas menjadi sangat heboh karena wali kelas, yang juga guru Kesenian, meminta kami membagi kelas menjadi tiga kelompok. Maka, meja-meja dan kursi digeser ke sana kemari agar kami dapat menjadi tiga kelompok besar. Masing-masing kelompok diberikan tiga kertas warna berukuran besar: merah, kuning, dan hijau. Beruntung, aku masuk kelompok kuning karena itu warna kesukaanku dan warna kesukaan Alvaro.

Karena ketua kelas kami sudah pindah sekolah kemarin, jadi tugas membagikan kertas berwarna ini dilimpahkan kepadaku sebagai wakilnya. Begitu kertas dibagikan, anak-anak mulai rusuh.

“Taniaaa ..., ini disuruh bikin apaan?”

“Enggak tahu. Kan, Bu Ayu nyuruhnya kita bebas mengeksplor kertas ini. Katanya untuk melatih kreativitas kita, gitu.”

“Iiih ... iya, tapi disuruh bikin apa, gituuuh?” Cici yang merupakan anak paling centil di kelas mulai terlihat pusing.

“Ya ... dibikin apa, gituuu.” Aku juga mulai sebal karena aku dan kelompokku sudah mau diskusi soal apa yang akan kami buat.

“Bikin kapal-kapalan terus terbangin ke Taniaaa ....” Jajang yang sudah melipat kertas itu menjadi bentuk pesawat terbang langsung melemparkannya ke arahku.

Eit, enak aja! Aku langsung menghindar sambil menjulurkan lidah kepada Jajang ... dan pluk! Suara pesawat kertas mendarat di dahi seseorang di belakangku. Belum sempat aku menoleh, suara cempreng masuk ke telingaku.

“Heh ..., kira-kira lu kalo nyambut orang!”

Suara siapa, sih? Kayaknya masih asing. Aku dan beberapa teman yang memunggungi pintu langsung berdiri dan menoleh. Mataku menangkap sosok cowok yang kelihatannya tengil. Mukanya bersih tanpa jerawat dan komedo, putih kayak dibedakin, rambutnya berombak dan panjang sampai telinga. Bibirnya manyun. Ya, dari bibirnyalah muncul kata-kata kasar lainnya.

“Lu semua pada enggak disiplin banget, sih? Ini, kan, lagi pelajarannya Bu Ayu, ngapain juga main pesawat-pesawatan. Kayak anak kecil!” Cowok itu mengangkat dagunya, seperti menantang Jajang.

“Heh, kamu, siapa? Masuk sini marah-marah. Bukan anak sini, ya?” Jajang enggak mau kalah. Dia keluar dari meja kelompoknya, kemudian berjalan ke arah cowok itu.

Spontan, aku ikut menghampiri cowok baru yang memang sepertinya bukan dari sekolah ini. Ini adalah sekolah swasta di daerah pinggiran Kabupaten Bandung. Sekolah Cahaya Mentari ini punya seragam sendiri yang khas. Dan, Si Cowok Baru ini memakai seragam yang berbeda dengan kami. Anak nyasar dari mana, ya?

“Gue ketua kelas di sini,” jawab Si Cowok Baru itu dan langsung membuat kelas riuh.

Apa? Apa tadi dia bilang? Emang Ridwan, ketua kelas kita dulu berubah bentuk? Masa, iya, mendadak dalam semalam seseorang bisa berubah? Kegigit laba-laba? Megang krypton atau terkena sinar bulan purnama?

“Ketua kelas kita sudah pindah sekolah kemarin,” jawabku datar, tapi tegas. Sebagai wakilnya, sekarang aku yang memimpin kelas dan memastikan bahwa kelas ini aman.

Si Cowok Baru itu mau membuka mulut, sayangnya Bu Ayu sudah masuk ke kelas dengan gayanya yang senantiasa heboh. Rambut panjangnya dikibaskan, jemari dijentikkan dan suara stiletto-nya bikin sakit kepala.

“Anak-Anak, pagiii semuanya .... Ayo, segera duduk yang rapi, hop-hop ....” Bu Ayu mulai bertepuk tangan. Memperlakukan kami seperti anak SD.

Aku menghela napas dan memilih kembali ke tempat duduk. Namun, aku sempat melihat Jajang dengan sengaja melangkah mendekati Si Cowok Baru dan menginjak sepatu Kickers cowok itu. Jajang memasang wajah meremehkan dan menantang.

Cowok baru itu menatap Jajang tajam, seolah ingin melahapnya. Jajang juga ganteng, sih. Paling ganteng nomor tiga di sekolah ini. Dia digandrungi banyak cewek, tapi enggak ada satu cewek pun yang dia suka. Jajang hanya mencintai Nela, gebetannya sejak kelas 1 SMP. Tapi Nela enggak pernah menggubris cinta Jajang.

Ah, ngapain juga, sih, sibuk repot sama urusan perasaan? Kita, kan, masih SMA. Enggak seru banget kalau masa remaja dibuat galau sama cinta. Suara dehaman Bu Ayu membuyarkan lamunanku. Meski beberapa anak di kelas ini tergolong anak bandel, tapi mereka sangat hormat kepada Bu Ayu. Guru yang fashionable, cantik, bijaksana, dan dekat sama dunia remaja. Begitu Bu Ayu mau bicara, semuanya diam.

Tanpa kusadari, aku memperhatikan Si Cowok Baru itu. Dia sedang menatap tajam penuh dendam ke arah Jajang yang juga membalas tatapannya tanpa takut. Jangan sampai, deh, ada perang dunia ketiga. Peraturan di sekolahku ketat banget soalnya, berantem sedikit kena skors dan anak-anak satu kelasnya bakal kena pengawasan selama satu bulan.

Lihat selengkapnya