147 Letters

Mizan Publishing
Chapter #3

Bab 2

Tania majikanku tersayang sudah dua minggu ini terlihat uring-uringan. Biasanya setiap siang atau sore, dia rutin sekali duduk di depan jendela kamarnya. Dari sanalah matahari terbenam indah karena jendela kamar Tania besar dan bisa leluasa menatap ke berbagai arah. Setiap sore, dia biasanya menulis surat buat Alvaro. Namun, sudah dua minggu ini jadwal menulis suratnya kacau total.

Kadang-kadang, dia menulis pada pagi hari sebelum berangkat sekolah. Nulisnya juga seperti orang marah. Terus, suratnya enggak selesai ditulis, dilanjutkan malam hari saat seharusnya dia belajar, eh, dia malah nulis surat. Pernah dia menulis pada sore hari, tapi malah melamun sampai ketiduran. Surat-suratnya pun akhirnya banyak yang tidak selesai dan dibuang ke sembarang sudut kamar. Tuh, kan, nyampah terus. Ujung-ujungnya, aku yang harus beresin.

Seperti malam ini, dia malah menulis surat. Tuh ... lihat bibirnya manyun sampai lima senti. Hihihi. Baru menulis beberapa paragraf dia sudah melamun lagi, lalu berdecak kesal.

Aku penasaran dan melompat ke pangkuannya. Sebenarnya, apa, sih, yang kamu risaukan?

Majikanku yang cantik itu menunduk menatapku, lalu mengelus kepalaku dengan lembut. Beberapa saat kemudian, dia memelukku erat.

“Kuning, kamu tahu enggak? Dia nyebelin banget!” Tania bersungut. “Cocoknya disamakan dengan apa, ya? Zombie? Jelangkung? Vampir? Iiih ... ngeselin!”

Duh, Tania, kamu cerita apa, sih? Dia siapa? Aku enggak ngerti.

Tania menghela napas panjang, kemudian mencubit telingaku. “Dia itu anak baru di kelas aku. Namanya Remi. Setiap hari, dia selalu nyuruh-nyuruh aku. Tania, hapus papan tulis! Tania, ambilin buku absen! Tania, tolong bagiin kertas ulangan! Tania, bla ... bla ... bla! Dia ketua kelas apaan? Reseknya, enggak ada satu pun anak di kelas yang menolak dia buat jadi ketua kelas! Kamu tahu kenapa? Karena tidak ada satu anak pun yang sudi disuruh-suruh guru. Huh ... terus aku sudi gitu disuruhsuruh Remi?” Tania meninju guling di sebelahnya.

Duh, untung saja bukan aku yang ditinju. Bisa perang cakarcakaran nanti. Aku melihat matanya berapi-api.

“Dia juga cowok playboy! Bayangin aja, baru dua hari sekolah dia udah pacaran sama Stella. Anak kelas sebelah. Kan, gila ...! Gila, soalnya hari ini dia putus dan tahu enggak dia pacaran sama siapa?” Tania menunggu reaksiku, lalu berbisik lirih, “Dia pacaran sama Nela ....”

Tania

Sudah kuduga, hari ini pasti akan heboh dengan berita Nela jadian sama Remi Si Anak Jakarta. Nela itu cantik, anaknya Pak Lurah dan incarannya Jajang sejak SMP. Jajang itu ganteng dan populer di sekolah sejak dia kelas 10. Nah, Remi ini pendatang baru yang mendobrak semua aturan. Dia layaknya anakanak Jakarta yang aku tonton di TV. Rambutnya berantakan, seragamnya selalu dikeluarkan, ngomongnya gue-elu dan dalam waktu dua minggu dia sudah macarin dua anak perempuan. Nela adalah yang ketiga.

“Menurut aku, Nela itu stupid banget, deh. Sudah jelas Remi itu playboy kenapa dia mau terima, sih?” Sisil misuh-misuh sambil meletakkan mangkuk bakso di meja kantin.

Aku menyeruput es teh sebelum menimpali ucapan sahabatku. “Seharusnya, Nela enggak usah pacaran. Kan, abahnya udah larang anak-anak remaja perempuan pacaran. Supaya bisa jaga diri. Zaman sekarang, pacaran itu udah enggak zaman.”

“Setuju!” Meri angkat bicara. Dia baru saja menelan bakwan ketiganya, “Seharusnya, Remi itu pacaran sama saya, bukan sama Nela.”

“Huuu ...!” Aku dan Sisil menyoraki Meri. Dia emang terobsesi banget punya pacar orang Jakarta.

“Kayaknya, lu bukan tipe Remi, deh. Aku takut Remi enggak bisa bedain kamu sama bola,” goda Sisil.

Meri langsung sewot dan mengambil satu bakso besar dari mangkuk Sisil.

Aku hanya tertawa kecil saat melihat mereka saling adu mulut. Sisil dan Meri adalah sahabatku sejak SMP. Sayang, ketika masuk SMA, kami sama sekali belum pernah satu kelas. Meskipun begitu, kami tetap kompak, kok.

Kasak-kusuk soal Nela jadian sama Remi masih ramai dibicarakan di kantin ini. Hebohnya mengalahkan infotainment, deh. Di meja sebelahku, meja belakangku, depanku, semuanya ngomongin Remi dan Nela. Ada yang bilang mereka cocok, ada yang berpendapat sama kayak Sisil. Ada juga yang mendoakan mereka langgeng. Ih, aneh, pacaran, kok didoain langgeng, sih?

Tapi sebenarnya, sih, aku lebih mengharapkan ada berita soal Kak Alvaro.

“Kyaaa ... Kak Alvaro mau konser di Bandung ...!” seru Tantri, ketua Alvaroisme di desa kecil kami. Dia berlari menghampiri gengnya sambil mengibaskan majalah baru.

Hatiku berdegup, ingin rasanya ikut membaur bersama cewek-cewek lain yang langsung mengerubungi Tantri.

Tapiii ..., aku melirik Sisil dan Meri yang kini sudah akur. Mereka berdua enggak suka sama Kak Alvaro. Aku enggak mau berantem sama mereka.

“Hadeeeh ... pusing, deh, setiap hari Kak Alvaro ... Kak Alvaro, preeet .... Kayak enggak ada penyanyi lain aja, sih.” Sisil berdiri, “Kita ke perpus aja, Tan!”

Duh, pengin di sini dulu, please. Seenggaknya, aku tahu berita apa yang dibawa Tantri. Uang sakuku mana cukup buat beli majalah mahal itu.

“Mending, cari novel, kita pinjem, deh.” Meri angkat bicara. “Lama-lama, kuping saya bulukan, nih, dengerin Kak Alvaro melulu!”

Sepertinya, Tantri mendengar ucapan Meri, dia menoleh ke arah kami dan mendelik. Teman-temannya yang berjumlah puluhan juga ikut menoleh. Gawat, nih, rasanya seperti mau ditarik ke dasar Bumi saja. Aku malu setengah mati jadi pusat perhatian gini.

“Meri, kalau enggak suka biasa aja keleees ....” Tantri berdiri dan bertolak pinggang.

“Lho ... kalian, dong, yang biasa aja keleees. Dia, kan, cuma manusia gitu, lho. Sama-sama makan nasi, sama-sama kentut juga.”

“Biar kentut, Kak Alvaro tetap ganteng keleees ....” Wulan, wakil ketua Alvaroisme di desaku ikut angkat bicara.

“Ya! Mau kentutnya sambil ngeden juga tetep ganteng,” tegas Tantri.

Aku ketawa. Sumpah, bukan ngetawain ucapan Tantri, tapi aku membayangkan Kak Alvaro kentut sambil ngeden dan tetap ganteng itu kayak gimana? Tapi, aku salah reaksi kayaknya. Tantri langsung berjalan ke arahku sambil menjinjing majalahnya. Aku kira dia akan mukul dengan majalah itu. Tapi, dia malah menyodorkan majalah itu kepadaku.

“Oke, nih, baca dulu, deh, tentang Kak Alvaro. Kamu pasti juga jatuh cinta.” Tantri mengibaskan rambutnya. “Daripada aku berantem sama kamu, Tania. Mending, aku rekrut kamu buat jadi anggota Alvaroisme. Kita, kan, pernah sekelas waktu kelas satu dan aku tahu kamu anak baik.”

Mau! Eh ....

Sisil berdeham kencang, kemudian menarik tanganku. “Iiih ... Tania mana suka sama yang begituan. Iya, kan, Tan? Alvaroisme itu mainstream banget ... iya, kan, Tan?” Sisil memberikan penekanan pada kalimat terakhirnya.

“I ... iya,” dengan berat hati aku menjawab.

Meri mencibir dan mengibaskan rambut. Seolah dia berkata “tuh, bener, kan, kata gue.” Tantri malah memperhatikan aku dengan serius.

“Iya, sih .... Tania, kan, enggak pernah pacaran. Pasti enggak pantes buat jadi Alvaroisme.”

“Ih ... apa, sih?” Aku mulai sebal dan melepas tanganku dari Sisil. “Apa hubungannya Alvaroisme sama pacaran?”

“Ada hubungannya, dong! Lagu-lagu Alvaro, kan, kebanyakan tema cinta!” seru seseorang yang lumayan aku kenal. Aku, Sisil, dan Meri bersamaan menoleh ke belakang.

Napasku agak tertahan melihat Nela sedang gandengan tangan sama Remi. Cowok itu nyengir padaku. Nela bahkan malas menatapku. Aku lupa dia adalah salah satu Alvaroisme. Aku menatapnya nyinyir. Ih, mereka berdua norak banget, deh. Pakai gandengan segala kayak truk. Udah bagus jadi manusia kenapa milih jadi truk gandeng. Kalau Pak Lurah lihat anaknya pacaran begini, Nela pasti kena semprot.

“Dengar, ya, kalian. Lagu-lagu Alvaro itu kebanyakan bertema persahabatan,” jelasku yang langsung membuat Sisil menoleh kaget dengan mulut menganga. Aku jadi kikuk dibuatnya, tapi sudah terlanjur semangat membela Alvaro. “Kalau ada lagu soal rindu, kasih sayang, itu buat keluarganya. Bukan buat cewek.”

“Emang, dia homo, ya? Masa, enggak pernah bikin lagu cinta,” ceplos Remi.

“Remiii ....,” desis Nela saat semua anggota Alvaro langsung melotot kepada pacarnya. Remi ketawa kecil.

“Sorry ... sorry,” Remi melepaskan tangannya dari Nela.

“Remi cuma bercanda, Girls. Mana majalahnya, gue lihat, dong!” Nela langsung dikerumuni Alvaroisme yang lain. Tantri berbalik badan dan ikut bergabung.

Aku harap, aku bisa bernapas lega, tapi Sisil langsung memberondong dengan pertanyaan.

“Kok, kamu bisa hafal soal Alvaro, sih?”

“I ... iyalah hafal. Kan, setiap hari temanku selalu cerita soal Alvaro-Alvaro terus sampai bosan, aku,” jawabku jujur.

Sisil masih memicingkan mata curiga, tapi aku pura-pura cuek dan bergegas pergi. Namun, Remi menghadang. Sepertinya, dia bosan menemani aktivitas Nela.

“Emang, lu belum pernah pacaran?”

Iseng amat, sih, nanyanya. Aku malas menanggapi, tapi dia menarik tanganku. Oh, jangan lagi ... tapi plak! Tanganku refleks menampar pipinya. Remi mengerang kecil, aku melirik kerumunan Alvaroisme, untung tidak ada yang sadar.

“Duh, nekat, sih, kamu. Sudah tahu Tania, mah, punya alergi dipegang cowok. Usil amat jadi budak, teh.” Meri mulai ngomel.

Lihat selengkapnya