Ketika ia datang ke tempat ini, saya sedang membongkar karburator untuk mengecek pilot jet yang mampet. Tangan saya kotor, dan aroma mesin menyeruak dari keringat yang menetes sampai ke dada.
“Serius sekali.” Dia telah jongkok di hadapan saya, begitu kata-kata itu diucapkan. Tangan saya berhenti bergerak. Lantas tubuh saya menjulur ke atas. Dia mengikuti. Hingga dari jarak yang begitu dekat, saya melihat ada sebuah tentengan yang ia bawa.
“Itu apa?” Saya bertanya.
“Ah!! Jangan suka berbasa-basi.” Dia setengah mendumel. Padahal saya tidak bermaksud begitu.
“Ini!” Dia melayangkan benda itu; sebuah plastik bekas belanja berukuran sedang. “Sampo yang saya janjikan,” terangnya dengan nada suara yang enak sekali didengar. Renyah, jelas, dan bertenaga.
“Swit! Swiiit…!!” Teman saya menggoda dari ujung sana. Saya putar kepala sebentar, sambil berucap; Hussh! (dengan sangat pelan).
Edan!! Saya tak habis pikir—segitu banyak yang ia kasih—awalnya saya pikir hanya ada tiga atau lima botol.
“Banyak sekali.” Saya tidak tahan, untuk tidak mengutarakannya.
“Jumlahnya dua belas. Tetap sedikit. Buktinya saya tidak menang undian.” Parasnya mendadak murung. Tapi tidak lama, hanya dua detik. Setelah itu dia memperhatikan tangan saya yang dekil, bercak oli.
“Terima kasih, untuk dua belas samponya.” Saya iseng mengajak salaman. Tentu dia enggan. Tapi tersenyum, lalu cekikikan.