Saya baru saja tiba di stasiun Senen. Berjalan cepat menuju perempatan. Hujan rintik-rintik nampaknya mulai menjelma lebih deras. Saya percepat langkah, setengah berlari. Berhenti sejenak untuk menyebrang jalan. Saya heran, sepertinya mudah sekali bagi orang-orang di kota ini—memiliki kendaraan pribadi.
Sepuluh menit kemudian, saya sampai di depan gedung bioskop Mulia Agung. Saya gosok rambut yang basah dengan telapak tangan. Kemeja saya lepek, dan ujung celana kotor oleh cipratan becek.
Di ujung sana, orang-orang telah mengantre untuk nonton film Daun di Atas Bantal. Saya mengantre bukan untuk nonton film, bukan kepingin bertemu dengan Cristine Hakim. Saya ingin melihat gadis yang merobek karcis dalam gelap. Wajahnya tidak jelas terlihat, tapi jemarinya indah. Beberapa pria sengaja menyentuh jemarinya saat menyetor karcis.
“Satu tiket.”
“Film?”
“Daun Di Atas Bantal.”
“Sudah diputar lebih dari 30 menit yang lalu.”
“Tidak masalah.”
Dia menatap saya aneh. Saya balik menatap bibirnya yang tebal dipoles dengan gincu merah.
“Tidak mau nonton film Bergairah di Puncak? Lima menit lagi diputar.”