159 Hari Bersama Renata

Heri ST
Chapter #4

Hari Ke-1

Saya bergegas menuju sudut jalan di sebrang Stasiun Senen. Melewati beberapa rel, menunggui kereta yang lewat dengan kesal. Kala itu, matahari sudah merangkak naik, sudah nyaris pukul 11 siang. Saya terlambat lagi, dan kali ini yang paling parah.

Sejak musim Piala Dunia, jam tidur saya berantakan. Mata saya dipaksa terjaga sampai larut, melewati pukul dua pagi. Apalagi kalau Brazil yang tanding, saya tidak hanya menyiapkan mata yang senantiasa terjaga, tapi juga kacang kulit untuk dimakan bersama dengan teman-teman sekampung. Apalagi kalau Brazil bertanding di final, bertemu dengan Jerman, saya tidak hanya menyiapkan kacang kulit, tapi juga kembang api untuk merayakan—seandainya Brazil yang menang.

Hari ini saya terlambat. Lebih dari tiga puluh menit. Tapi saya malah mampir ke sudut jalan. Sinting memang. Tapi tak apa. Toh sekarang sudah reformasi, dan ini musim piala dunia.

Di pojok sana sudah ada mang Udin, si penjual majalah. Saya mendekatinya, sambil mengelap keringat dengan punggung tangan.

“Yaah, udah abis boss!”

Dia tahu apa yang saya cari.

“Serius mang?”

“Elu kesiangan! Tuh. Udah diembat sama cewek.” Dia menunjuk seseorang dengan menaikkan dagunya.

“Buset! Cewek beli Tabloid Bola.” Gumam saya dalam hati.

Dia kelihatan serius sekali. Seperti mencari sebuah kata, atau nama. Saya lirik dari balik bahunya. Dia menengok sesaat, tapi tidak sampai melihat wajah saya. Kedua mata kami kemudian saling mengawasi deret angka dan nama di halaman majalah itu. Berharap di antara sekian banyak kemungkinan. Sampai berita kekalahan Jerman atas Kroasia tidak lagi menarik untuk dibaca.

Lalu dengan gerakan tiba-tiba. “Nih!” 

Dia mendaratkan tabloid itu di dada saya. Saya terkesiap menerimanya. Lalu perempuan itu mengambil tasnya dan berbalik dengan gerakan cepat, setelah sebelumnya berkata: dia ajah yang beli!

Saya susul dia begitu membayar Tabloid Bola.

“Ikut undian juga?” Saya bertanya, dan berjalan di sampingnya.

“He’eh. Tapi nggak menang.”

“Senasib kita.” Setelah itu tak ada suara. Saya lirik kostum yang ia kenakan, seperti tidak asing di mata saya.

Lihat selengkapnya