Kenapa Ya Tuhanku? Kenapa Aku? Kenapa ini semua terjadi? Kenapa hari ini? Apa engkau sedang mempermainkanku?
Segudang pertanyaan bernada protes kepada tuhan terus saja berjejalan dalam kepala. Perasaanku tak bisa diutarakan. Sedih, kecewa, takut, marah, gelisah semua mencapai titik tertingginya kali ini. Sakit, benar-benar sakit. Rasanya tiap kali pertanyaan itu muncul, hatiku berdarah. Namun ada satu yang paling membuat terenyuh dan semakin hancur. Bagaimana aku bisa bertahan hari demi hari di sini berdua Tyara? sementara popok untuk ganti saja tidak ada. Meskipun sudah ada Bu Inah yang dapat dipercaya, tetap tidak mungkin sepenuhnya mengandalkan beliau. Lagipula dia sudah tua, akulah yang seharusnya membantu dia.
"Medis! Medis! Medis!" Suara itu membuyarkan lamunanku dan juga mampu menembus keriuhan warga. Seorang korban datang lagi. Kondisinya tak kalah parah dari korban luka lain yang masih terus berdatangan. Kaki kananya hancur; dagingnya hampir tercecer. Sementara yang kiri bengkok delapan puluh derajat. Beberapa pria berbaju putih, sigap membantu korban yang dibopong empat orang. Semua begitu sibuk, berlalu lalang tak karuan.
Setali tiga udang dengan para korban yang terus berjatuhan, gempa-gempa susulan juga masih terus terjadi, seolah tidak akan berakhir sebelum semua benar-benar mati. Meski tak sebesar yang pertama dan kedua, tetap saja guncangan itu membuat kami semakin frustrasi. Tiap kali gempa susulan datang, aku dan hampir seluruh pengungsi selalu menatap penuh harap agar masjid tempat kami bernaung dapat bertahan setidaknya untuk malam ini.
Menjelang maghrib, sebuah tenda darurat yang dibuat orang-orang berpakaian putih tadi, akhirnya berdiri di pelataran masjid. Dibantu warga, mereka susah payah membangun tenda sebanyak tiga kali. Karena setiap kali gempa susulan datang, mereka harus rela membiarkan pondasinya roboh, kemudian kembali memasang tenda dari nol. Sebenarnya itu bukan tenda, namun hanya sebuah atap dari terpal yang terhubung dengan atap pelataran masjid. Dengan begitu kami bisa terlindungi dari hujan dan angin malam meski harus tidur di luar. Mereka yang terluka juga terlihat lebih tenang karena lukanya sudah diobati dan dibalut perban. Disusul dua orang terakhir yang tersadar dari pingsannya, membuat keadaan masjid kian terkendali.
Bu Inah kembali duduk di sebelahku setelah tenda terpasang. "Ya, ampun kasihan banget sih, De keringatnya sampai lepek gini," kata Bu Inah sambil mengelap keringat Tyara yang rambutnya sudah sangat lepek. Aku hanya tersenyum tipis seraya membersihkan wajah Tyara seadanya dengan tangan. Badannya sudah sangat lengket dan banyak debu yang menempel, membuat dia semakin rewel. Namun jangankan untuk mandi, popok saja belum diganti. Aku tak bisa diam saja. Tyara tak mungkin begini semalaman.
"Bu, Saya mau kesana sebentar ya. Mau nanya barangkali ada popok atau baju ganti buat Tyara," pintaku pada Bu Inah.
Dengan perasaan campur aduk, aku menghampiri orang-orang berbaju putih. Berharap mereka memberi jawaban yang bisa menenangkan.
"Misi, Mas, mau tanya. Ada popok gak ya, buat anak saya? Soalnya popoknya sudah penuh. Dari pagi belum ganti." Seorang bapak berjanggut langsung berdiri ketika aku bertanya.
"Maaf, Bu. Belum ada," jawabnya penuh penyesalan. "Tapi sebentar Kami coba usahakan cari sekarang ya, Bu."
Bapak berjanggut mengalihkan pandangan pada segerombol anak muda berbaju serupa yang tengah berdiskusi.
"Wan!" Tangannya melambai pada salah satu dari mereka. "Sekarang Lu data, ada berapa bayi yang perlu popok dan ukurannya apa aja!" perintah bapak berjenggot dan berwajah teduh itu kepada si pemuda, tepat saat dia datang.
"Anak Ibu popoknya ukuran apa?" tanya bapak itu lagi.
"Ukuran S, Pak."