16 Km

Risna Pramesti
Chapter #3

Luka Abadi

Mendengar 'dia' bicara lagi, aku langsung menutup wajah dengan bantal. Berharap suara itu bisa sedikit tersamarkan. Sementara Mas Zaky membuka pintu kamar dan memberitahu ibuku bahwa aku sudah bangun supaya dia tenang.

Hahahaha. Kamu ngapain? Aku ini ada di dalam dirimu, di dalam kepalamu. Kau kuburkan tubuhmu di tanah pun aku ikut! Hahahaha....

Kumohon hentikan. Biarkan aku istirahat.

Baiklah. Akan kubiarkan kau tidur. Tapi, aku akan menghadirkan kembali dalam mimpimu peristiwa dua minggu lalu yang membuat hidupmu menjadi seperti ini.

Tidak! Jangan mimpi itu lagi. Jika itu yang kamu mau, aku tidak akan tidur!

Hahaha, coba saja untuk menahan rasa ngantuk mu.

Semenit, dua menit aku berjuang supaya tidak tidur. Namun, belum genap lima menit aku sudah tak sanggup. Kelopak mataku terasa kian berat untuk tetap terbuka dan akhirnya menutup. Perlahan tapi pasti, pikiranku seakan ditarik ke peristiwa dua minggu lalu.

Hanya perlu beberapa detik, aku kembali berada di ruang bersalin yang dingin dan hanya mengenakan selembar baju pasien berwarna hijau.

"Mas gak kuat!" Aku merintih menahan mulas. "Aku gak tahaaan."

"Sabar, ya. Semuanya masih disiapin. Sebentar lagi."

"Ini sudah dua puluh tiga jam, Mas. Aku gak tahan mulesnya." Suaraku lirih dan bergetar.

"Iya, sabar ya Bu. Jangan mengejan dulu. Sedikit lagi bukan sempurna," sahut seorang perawat atau bidan yang sejak tadi hanya mondar mandir membawa berbagai alat dan selang.

Aku menggeleng ke arah Mas Zaky karena perutku mengejan dengan sendirinya saat posisi tidur miring. Sesaat kemudian tangis Tyara pun pecah bersama robeknya jalan lahir. Tanpa ada bidan, tanpa ada dokter, ataupun perawat di ruang bersalin sama sekali, karena mereka masih sibuk menyiapkan alat... entahlah aku tidak mengerti.

Sedetik kemudian, dibawah kakiku kepala dokter perempuan menyembul, sedang bersiap untuk menjahit.

"Berapa berat bayinya?!" tanya dokter kepada salah seorang bidan yang ada di ruangan, dengan nada membentak. Bidan itu sampai terkejut, kemudian menundukkan kepalanya.

"Dua koma enam, Dok," jawab Mba bidan singkat dan pelan.

"Lho, kecil itu bayinya! Kenapa bisa sampai sobek, sih? Ini pasti Ibu gak sabar untuk mengejan, kan? Cuma segitu, harusnya gak sampai sobek, Ibuk! Gimana, sih?!" sahut bu dokter panjang lebar dan memaki.

Lihat selengkapnya