Baru beberapa meter berjalan rasanya seperti tidak minum seharian. Pasti karena penjarahan tadi yang menguras emosi dan energi, serta matahari yang posisinya sudah tinggi. Demi tuhan, aku tak akan rela mereka memakannya, meminumnya, dan memakainya sampai dunia benar-benar kiamat sekali pun. Gara-gara mereka, perjalananku jadi lebih lama lagi karena harus keluar masuk toko, rumah, atau bangunan apa saja demi mencari sebotol air. Mungkin benar adanya bahwa manusia yang ingin bertahan hidup lebih mengerikan dari mayat hidup.
Aku harus segera mendapatkan air dan beristirahat, karena di depan sudah lampu merah Ragunan. Hanya air sisa pun tak masalah, karena tenggorokan rasanya akan berdarah. Ludah saja sudah tidak bisa ditelan sendiri. Hingga akhirnya ada sebuah toko yang terbengkalai. Bagus, sepertinya ini tempat makan. Semoga saja di toko ini ada sisa minum. Aku melangkah hati-hati melewati puing-puing dan beberapa meja serta kursi makan yang terbalik. Di ujung toko, dapat kulihat lemari pendingin untuk minuman, kondisinya telungkup. Senyumku mengembang.
Langsung saja aku mempercepat langkah menuju ke sana dan berusaha membalik lemari pendingin tersebut. Ternyata sangat berat. Usaha pertamaku gagal, tapi tidak mungkin langsung menyerah. Sepertinya jika posisinya berada di dalam toko dan terbalik begini, kemungkinan besar isinya masih penuh. Jadi aku harus berusaha lebih keras lagi agar berhasil membalikkannya. Usaha ke dua juga masih gagal, tapi lemari pendingin berhasil tergeser sedikit. Saat itu lah terlihat sekilas ada barisan botol minum yang masih tersisi penuh. Senangnya bukan main, namun itu artinya aku harus mengeluarkan tenaga lebih kuat lagi. Setelah memastikan Tyara masih aman, dalam hitungan ke tiga aku akan mencoba untuk ke sekian kali. Satu, dua, tiga, dan berhasil! Ternyata bukan hanya sebaris, melainkan satu lemari penuh dan semua minuman itu sebagian berjatuhan saat aku membaliknya. Kabar baiknya, ternyata ada minuman teh kemasan botol juga. Lumayan, kandungan glukosa bisa untuk mengganjal lapar lebih lama.
Kuambil satu botol air mineral lantas meminumnya hingga setengah botol dalam sekali minum. Meski bukan jus, dan bukan pula air dingin, rasanya tetap menyegarkan tenggorokan. Padahal pasti lebih segar jika minum minuman manis dan dingin setelah berjalan jauh di bawah sengatan mentari. Namun, dari sini aku jadi belajar arti bersyukur dan arti 'merasa cukup'. Aku bersandar di dinding sambil memandangi Tyara yang asyik bermain boneka.
Di luar sana, banyak orang yang juga membutuhkan air minum sekarang, jadi sebaiknya botol-botol penyambung nyawa yang masih terisi penuh ini ditaruh di luar supaya bisa menyelamatkan orang lebih banyak. Tentu saja aku juga membawa seperlunya untuk bekal kami. Kutinggalkan Tyara sebentar dan membawa sekitar lima botol dalam dekapan, menaruhnya di depan toko, kemudian lima lagi secara bergantian sampai tersisa hanya untukku. Setelah semua beres; termasuk mengganti popok Tyara sekalian, aku kembali bersiap. Tas ransel di belakang, Tyara di depan, tas selempang, popok di tangan kanan, dan plastik berisi lima botol air minum di tangan kiri. Tenagaku sudah pulih dan aku tak ingin membuang waktu. Mumpung masih siang, jadi tak perlu bersitirahat di dekat-dekat Ragunan.
Kutinggalkan toko yang terbengkalai beberapa langkah di belakang, dan saat menoleh, satu dua orang mulai datang untuk mengambil minuman. Ada yang langsung meminumnya di tempat bersama anggota keluarga yang tersisa, ada juga yang membawanya. Aku tersenyum lega. Siapapun pemiliknya semoga menjadi nilai pahala dan Allah balas berlipat ganda. Amin. Beberapa meter berjalan, aku melihat ada segerombol TNI yang sedang bahu-membahu mencari korban bersama warga dan relawan. Aku berniat menanyakan perihal binatang buas di Ragunan. Saat jarak kami sudah makin dekat, seorang anggota TNI menoleh lebih dahulu.
"Ibu, mau ke pengungsian?" tanyanya.
Aku sontak menggeleng. "Enggak, Pak. Saya... mau pulang ke rumah?"
Pria berbaju loreng itu menghentikan kegiatannya. "Rumah ibu di mana?"
"Di... dekat sini, kok, Pak." Jujur, aku panik.
"Oh, begitu. Lalu di sana ada orang?"