Pagi-pagi sekali, mungkin sebelum subuh, aku sudah membuat heboh para perawat akibat nyeri yang teramat sangat pada payudara. Barangkali sebentar lagi akan meledak karena penuh, dan bengkak oleh ASI. Panas-dingin alias meriang akibat payudara bengkak, kian melemahkan fisik. Namun bagaiman caranya? Tyara tidak mungkin dibawa sepagi ini. Seorang perawat berinisiatif untuk meminjamkan pompa ASI yang memang tersedia di rumah sakit. Dia dan seorang temannya membantu untuk mengeluarkan ASI sebab aku terlalu lemah untuk melakukannya sendiri. Melegakan sekali rasanya bisa mengeluarkan susu yang tercipta khusus untuk Tyara.
Tak lama setelah sarapan, seorang dokter laki-laki bernama Ismail datang memeriksaku. Sepertinya dia spesialis saraf, karena yang beliau tanyakan semua berkaitan dengan hilangnya ingatan.
"Sebelum terbentur, apa ibu pernah mengalami trauma yang mengganggu psikologis?" tanya dokter itu, membuatku tercengang. Trauma psikologis? Rasanya batinku bergejolak mendengar kalimat itu.
"Mungkin setelah melahirkan, Dok," jawabku sedikit ragu.
"Tetapi ibu hanya tidak ingat dengan suami?"
Aku tak bisa menjawabnya. Tenggorokan rasanya tercekat tiap kali mendengar kata suami. Kenapa rasanya sakit sekali? Padahal seperti apa wujudnya saja aku tidak ingat. Memang betul, hilang ingatan itu menyakitkan, tapi yang kurasakan ini seperti sebuah perasaan kecewa, sakit hati, dan cemburu. Sekali lagi, aku tidak ingat sedikitpun tentang dia. Lantas bagaimana mungkin perasaan itu merongrong jiwa dan menimbulkan segudang tanya.
"Aku tidak ingat pernah menikah. Bahkan... aku tidak yakin dia nyata." Aku menjelaskan seadanya.
Doker itu terlihat menelan tenggorokannya setelah mendengar jawabanku. Seolah ucapan yang barusan terlontar tak jauh bedanya dengan petir di siang bolong. Beliau juga bilang akan melakukan tindakan berupa MRI untuk mencari tahu apakah ada penyakit struktural yang menyebabkan hilangnya sebagian ingatan. Jujur, tak pernah terbayangkan tubuhku akan masuk ke dalam sebuah cincin besar untuk kemudian dipindai.
Meski beliau bilang tidak akan sakit, tetap saja membuatku cemas. Mungkin aku terlalu banyak menonton film thriller. Jadi yang terbayang adalah mesinnya korslet lalu tubuhku terpanggang di dalam sana. Perasaanku jadi makin kacau. Seorang perawat yang mendampingi dokter menyodorkan kertas beralas papan kayu padaku.
"Itu adalah surat persetujuan untuk melakukan tindakan MRI," ucap dokter Ismail.
Jantungku seakan berhenti sejenak. Segala macam pikiran buruk mulai berkecamuk. Menandatangani surat itu, seperti menyetujui perjanjian untuk menyerahkan nyawa secara sukarela. Ya, mungkin anggapanku ini berlebihan, tapi memang begitulah penderita Anxiety. Aku menatap mama dan ayah bergantian untuk meminta dukungan atau mungkin pembelaan. Namun, aku sepenuhnya sadar ini memang salah satu prosedur yang harus dijalani. Diamnya mereka adalah tanda bahwa tak ada lagi pilihan lain.
Perlahan ku baca tulisan pada selembar kertas itu supaya bisa mencerna dengan baik kata perkata, tapi tetap saja aku tidak mengerti. Daya berpikirku sepertinya terlalu penuh untuk menjejalkan barisan kalimat baku dan kosakata medis, yang tidak lain tujuannya adalah aku harus menerima apapun resiko yang terjadi bila setuju.
"Ibu tidak perlu cemas," ujar dokter itu tiba-tiba, "efek samping yang dialami sangat jarang terjadi dan biasanya tidak terlalu berat."
Lalu buat apa ada surat persetujuan? tanyaku dalam hati demi menjaga situasi. Dia sepertinya bisa menangkap keruhnya sorot mataku. Bukankah segala prosedur pengobatan yang mesti ku lewati ini malah memungkinkan mental seseorang makin terpuruk? Surat ini, sekalipun katanya minim resiko, jelas membuyarkan bujukan dokter.
"Oke," ucapku singkat sambil menandatangi surat dengan pena yang yang terselip di antara penyangga besi papan.