16 Km

Risna Pramesti
Chapter #31

Mencari Suami Yang Hilang Dari Ingatan II

Pukul lima sore tadi, seorang perawat datang dan menyerahkan hasil MRI pada orangtuaku. Dia meminta mereka untuk segera menyerahkannya pada dokter saraf agar dibaca hasilnya. Namun, aku melarangnya. Aku ingin membawa sendiri hasil itu pada dokter dan mendengar langsung apa yang akan beliau sampaikan. Lagipula, Mama dan Ayah terlalu tua untuk menerima informasi medis yang sulit dimengerti serta mungkin bisa membuat jiwanya yang sudah renta terguncang. Biarlah aku sendiri yang menyerap kenyataan pahit itu. Tulangku, mental, serta daya pikirku masih cukup kuat untuk menghadapinya.

Dan kini, aku tengah berjalan ke sana, ditemani Ayah yang bersikeras ingin menemani putrinya, supaya bisa berbagi beban dengan pundak tuanya.

Dokter Ismail rupanya telah menunggu kedatangan kami, dia langsung menerima amplop besar berlogo rumah sakit, kemudian mengeluarkan plastik hitam transparan dengan siluet putih samar. Dokter itu memutar tubuhnya yang tegap di atas kursi beroda. Kemudian dia memasukan plastik transparan itu ke dalam sebuah kotak berwarna putih buram yang menempel di dinding. Kotak itu menyala setelah dokter menekan sebuah tombol. Gambar siluet putih samar pun menjadi lebih jelas membentuk tempurung kepala. Dokter itu mengulum bibir kemudian mengembuskan napas. Ah, kenapa pula harus begitu? Membuat jantungku berdebar kencang. Namun kemudian dokter itu tersenyum.

"Syukur alhamdulillah, hasil MRI Ibu tergolong bagus," ujar dokter yang kelihatannya ingin memberi kabar baik sebelum yang buruk, "tidak terdeteksi adanya penyakit struktural yang dapat merusak jaringan otak hingga menjadikan hilang ingatan pada objek tertentu. Begitu pula benturan yang kemarin, tidak mengakibatkan trauma berarti."

"Alhamdulillah," sahut ayah sumringah, "lalu apa penyebabnya, Dok?"

"Kemungkinan... Ibu mengalami trauma psikologis." Dokter saraf melipat tangannya di meja. "Ada hal yang begitu menyakitkan bagi Ibu, sampai jaringan otak memblokir segala hal yang berkaitan dengan informasi tersebut dan menguburnya jauh di dalam sana sampai tidak bisa diakses."

Dari sudut mata, kulihat ayah tertunduk. Sakit sekali rasanya melihat cinta pertamaku seringkali menunduk lesu belakangan ini. Terlebih lagi, semua itu disebabkan olehku, putri semata wayangnya.

"Apakah sampai saat ini Ibu benar-benar belum mengingat suami Ibu? Atau mulai mengingat sesuatu tentangnya?" tanya Dokter Saraf.

"Saya merasa tidak mengenalinya, bukan tidak mengingatnya." Aku tegas menjawab.

"Saya menyarankan Ibu untuk melanjutkan pengobatan ke Psikiater. Kebetulan di rumah sakit ini juga ada Psikiater yang sekiranya bisa membantu Ibu mengembalikan ingatan." Dokter saraf memberi arahan.

"Dok," ucapku sambil meremas tangan sendiri, "bagaimana jika... ingatan itu tidak kembali?"

"Jangan bilang begitu, Ras," Ayah menyanggah. "Kamu pasti bisa."

"Betul, Bu. Sebaiknya Ibu tidak pesimis. Staff kami adalah tenaga profesional yang berkompeten di bidangnya. Ibu berada di tangan yang tepat." Dokter saraf menambahkan. "Lagipula, ingatan Ibu tidak sepenuhnya hilang. Mereka ada di sana, di tempat yang tidak terjangkau oleh Ibu."

"Jika ingatan saya hilang karena trauma psikologis yang begitu menyakitkan, lalu untuk apa saya membuang waktu, tenaga, dan uang hanya untuk mengingatnya kembali," jawabku mengheningkan seisi ruangan.

"Bukankah hal yang menyakitkan itu sebaiknya tetap terkubur atau lebih bagus lagi benar-benar hilang dari ingatan supaya tak ada luka yang membekas?" tanyaku tanpa mengharap jawaban. "Saya malah berharap ingatan itu tidak naik lagi ke permukaan sel otak."

Dokter itu terlihat menelan kerongkongannya. Sementara perawat yang menemani, mendekap papan kertas erat-erat, tak berani memberi tanggapan. Kalimat yang keluar dari mulutku tak ubahnya sebuah mantra yang mampu membekukan ruang dan waktu.

"Saya bisa mengerti dengan perasaan Ibu. Lagipula kesembuhan Ibu sudah menjadi tugas dari Psikiater. Saya hanya bisa menyarankan, supaya Ibu mendiskusikan hal tersebut dengan Psikiater pilihan Bu Laras. Bukan hanya untuk mengembalikan ingatan, melainkan yang utama adalah untuk memulihkan mental dari kerusakan akibat trauma psikologis tersebut."

"Dok, jika saya memilih tidak berusaha menggali kembali ingatan itu, apakah akan berpengaruh pada saraf lainnya?"

"Sejauh yang saya tahu, hal itu tidak akan terjadi. Seperti yang saya bilang tadi, ingatan Ibu tidak hilang sepenuhnya."

Lihat selengkapnya