16 Km

Risna Pramesti
Chapter #33

Seorang Istri Yang Berharap Hilang Ingatan II

Saat ke dua orang tuaku menghilang dari balik pintu, tiba-tiba telepon genggam yang ada di saku baju bergetar. Begitu aku melihat nama yang muncul, nafasku sempat berhenti tiga detik. Sriti, dia berani menelpon, maka aku harus berani juga menjawabnya. Sengaja aku mengangkat telepon tanpa membuka suara, dan bagusnya 'tikus got' itu masuk dalam perangkap.

"Kenapa gue masih diblokir?" tanyanya tanpa mau mendengar suara dari lawan bicaranya lebih dulu, "ingat, ya, gue udah kenal lo luar dalam sebelum istri, lo. Bedanya, dia yang dihamilin, gue kaga!"

Ibu jariku reflek mematikan sambungan telepon kami, entah karena Psikiater yang dimaksud sudah datang, atau karena pernyataan dari perempuan itu. Psikiater perempuan yang baru datang, tak menyapaku. Dia langsung menuntun tubuh ini untuk duduk di kasur. Aku sadar kedatangannya, tapi tak punya daya untuk bereaksi apa-apa.

Begitu duduk di pinggir kasur dan Psikiater menggeret bangku untuk berhadapan denganku, dia mengambil ponsel yang masih ada di genggaman berbarengan dengan adanya pesan masuk dan dia melihatnya sekilas. Saat itu juga nyawaku seperti kembali.

"Apa, Ibu baik-baik saja?" tanya Psikiater yang bernama Imelda, kata perawat. Dia juga kembali melihat layar ponsel milik lelaki itu sekilas.

Aku diam cukup lama. "Ya, saya baik-baik saja. Jauh lebih baik dari hidupku sebelumnya."

"Kalau begitu, kita mulai saja, ya," kata Dokter, "perkenalkan, nama saya Imelda, psikiater yang akan menangani Ibu."

Aku mengangguk mantap. "Dok, apa benar anda akan membantu saya?"

"Tentu saja. Saya akan melakukan sebisa saya untuk membantu Ibu sembuh."

Senyum mengembang di bibirku tanpa beban sedikit pun.

"Oh, iya, tadi saya lihat-lihat Ibu Laras sedang menerima telepon. Dari siapa itu, Bu? Sepertinya sangat membuat Ibu terkejut sampai terpaku saat saya datang. Apakah seseorang bernama Sriti yang ada di telepon memiliki kaitan dengan ingatan Ibu yang hilang?"

Bukannya ingatan tentang suami yang kembali, pertanyaan dari psikiater itu justru malah menarik diriku ke sebuah lorong waktu dan berhenti di saat aku berusia belasan tahun. Lebih tepatnya di malam pertama kali aku melihat ke dua orang tuaku bertengkar.

"Pukul! Ini pukul! Kenapa tangannya hanya diangkat?" teriak mama di depan pintu kamarku, kepada ayah.

"Jangan pancing saya, ya, Ma!"

"Kalau memang ada perempuan lain, silahkan saja. Saya tidak akan melarang. Biar anak-anak saya bawa!"

Aku ingat malam itu terbangun tapi hanya bisa berpura-pura tetap tidur. Setelah mereka selesai bertengkar aku tidak bisa melanjutkan tidur lagi padahal esoknya ada ujian sekolah. Dan tentu saja aku tidak bisa menjawab soal ujian sama sekali. Alias mendapat nilai nol. Jangankan mengerjakannya, memahami soal pun tidak bisa. Aku sampai meremas kertas ujian kemudian merapikannya kembali lalu menyerahkannya pada guru pengawas tanpa ada yang dikerjakan. Penyebabnya sudah jelas, karena terguncang dengan peristiwa semalam. Hati anak mana yang tidak hancur saat mengetahui bahwa orang tuanya tidak baik-baik saja.

Anehnya, aku tidak menangis. Bahkan hingga hari ini saat kembali mengingatnya, aku tetap tidak menangis meski rasa sakitnya masih sama. Lalu setelah kejadian itu, pertumbuhanku diwarnai dengan pertengkaran mereka. Saat usia sudah lebih dewasa, tak jarang aku dilibatkan juga. Bukan untuk menjadi penengah, melainkan untuk memihak siapa yang paling benar. Dan semua itu terjadi sampai saat ini.

Lalu ingatanku akhirnya tiba di sebuah momen dimana aku menikah dengan laki-laki yang sejak kemarin tak diakui sebagai suami. Kemudian seminggu setelahnya lelaki itu ketahuan selingkuh. Namun ini bukan hanya dugaan, karena ada bukti berupa pesan singkat dari perempuan bernama Sriti. Akhirnya aku ingat siapa dia, dan seperti apa wajahnya. Kembali terlihat jelas bagaimana mereka berjanji bertemu di hotel daerah Bogor dan saling mengirim gambar tak senonoh. Kami bertengkar? Tentu tidak, karena Zaky hanya bisa memohon untuk dimaafkan dan diberi kesempatan. Namun ternyata itu hanya bualan. Mereka hanya 'libur' sebentar dari berselingkuh. Tiap kali ketahuan selingkuh, reaksi yang timbul dari Zaky adalah emosi atau ingin bunuh diri, tapi tetap tidak membuatnya sadar diri. Pantas saja aku jadi depresi, tahu gitu kubiarkan dia yang mati, ketimbang mengembalikan Tyara pada Illahi.

Sungguh rasa sakitnya masih sama, tetapi ada hal lain yang secara cepat mengambil alih fokusku. Tepat setelah berakhirnya serangkaian pemutaran ulang memori yang hilang, satu pertanyaan besar muncul di kepala. Mengapa hal ini juga terjadi dalam pernikahanku?

"Bu Laras?" tanya Dokter Imelda yang seakan mengerti bahwa ingatanku sudah kembali.

"Bagaimana, Bu? Apakah seseorang yang bernama Sriti ada hubungannya dengan ingatan Ibu yang bilang?"

"Tidak, Dok. Saya tidak kenal, atau mungkin tidak pernah mengingat nama itu."

"Oke, baik. Kalau begitu kita langsung masuk ke sesi konsultasi saja, ya." Dokter Imelda memberi arahan. "Apakah Ibu masih ingat dengan anak Ibu?"

"Tentu saja."

"Kalau boleh tahu siapa namanya?"

"Namanya Mutyara Arumi Jasmine. Panggilannya Tyara."

"Wah, namanya cantik sekali. Apakah anaknya juga secantik namanya?"

"Sudah pasti. Dia memiliki mata yang indah. Bagian hitam pada matanya, bulat sempurna seperti Blueberry. Orang-orang juga bilang dia cantik."

"Wah, saya jadi ingin bertemu dengan Tyara yang menggemaskan," ucap Dokter Imelda sambil mencatat sesuatu. "Bu Laras pasti sangat sayang, ya, dengan Tyara."

"Lebih dari apapun, Dok."

"Saya pun jika punya anak selucu Tyara, pasti akan sangat sayang dan ingin dia selalu berada di tempat yang lebih baik. Bu Laras pasti berpikir seperti itu juga, kan?

Aku tersentak mendengar kalimat tersebut. Seperti tidak asing di telinga. Rupanya aku tidak sendirian. Ada orang lain juga yang memiliki pemikiran yang sama.

"Iya, Dok. Saya juga begitu. Malahan saya pernah ingin mengembalikan dia ke surga waktu baru lahir. Tapi, ayah saya bilang itu sama saja membunuhnya. Padahal dia bilang mengembalikan Tyara ke surga tidak sama dengan membunuh."

Lihat selengkapnya