Tahun 2009, akhir musim semi. Langit di Tangerang menyisakan warna lembayung senja yang memudar perlahan, membasuh pemandangan sekolah dengan cahaya yang hangat. Lega Oktoberi Kusnandar berdiri di depan jendela kelasnya, menatap ke luar dengan pandangan yang mengawang. Di balik kaca yang sedikit berdebu, ia melihat bayangan seorang gadis yang turun dari auditorium sekolah dengan langkah anggun. Gadis itu, Novi Dede Novita Sari, tampak begitu mempesona, memantulkan cahaya keemasan matahari senja dari Bando cantik menghiasi rambutnya yang panjang terurai indah yang ia kenakan.
"Anggun dan cantik sekali dia saat tersenyum penuh keceriaan," gumam Lega dalam hati. Senyum itu seolah menghentikan waktu, membekukan momen di benaknya. Dunia di sekitarnya berputar tanpa henti, tetapi bagi Lega, hanya ada Dede di sana, berdiri di antara riuh rendah kehidupan sekolah yang segera berakhir.
Lega bukanlah tipe pria yang mudah jatuh hati, apalagi mengungkapkan perasaannya. Sejak kecil, ia tumbuh dengan disiplin yang keras dari keluarganya. Ayahnya, seorang pegawai negeri yang tegas, dan ibunya, mantan sekretaris direktur perusahaan, selalu mengajarkan bahwa hidup adalah tentang tanggung jawab dan kerja keras. Itulah yang membentuknya menjadi seorang yang rasional, tak mudah dipengaruhi emosi, dan kerap kali keras kepala dalam mempertahankan pendiriannya.
Namun, sejak momen pertama ia melihat Dede tersenyum, ada sesuatu dalam dirinya yang berubah. Sesuatu yang tak bisa ia jelaskan dengan logika atau prinsip yang selama ini ia junjung tinggi. Perasaan itu, anehnya, terasa begitu kuat, hingga membuatnya ragu akan segala keyakinan yang ia pegang erat.
Seiring dengan berlalunya hari-hari, pertemuan-pertemuan kecil mereka di sekolah selalu membawa kehangatan dalam hati Lega. Walau hanya sekilas, tatapan mata Dede yang ramah selalu meninggalkan jejak yang tak terlupakan. Setiap kali bertemu, Lega merasakan desiran halus di dadanya, seakan ada janji tak terucap yang mengikat mereka berdua.
Dan akhirnya, datanglah hari yang dinantikan oleh seluruh siswa Sekolah Menengah Kejuruan Tangerang studi tour ke Situ Patenggang, sebuah perpisahan yang akan menjadi penutup masa putih abu-abu. Perjalanan ke Batu Cinta, sebuah tempat penuh legenda di tepi Situ Patenggang, menjadi saksi janji remaja yang penuh harapan dan ketulusan.
Di bawah langit yang cerah dan angin sepoi-sepoi yang membawa aroma pinus, Lega dan Dede duduk bersebelahan di atas batu besar yang dipercaya sebagai simbol cinta abadi. Keraguan menghantui pikiran Lega, tetapi ada tekad kuat dalam hatinya untuk mengutarakan perasaan yang telah lama terpendam.
"Dede, boleh aku tanya sesuatu?" Suara Lega terdengar ragu, namun penuh harap.
Dede menoleh, matanya yang besar dan cerah menatap Lega dengan penuh perhatian. "Iya, Lega. Ada apa?"
Lega menghela napas, mencoba mengumpulkan keberanian. "Aku... aku tahu ini mungkin terdengar aneh, tapi... maukah engkau menjadi ibu dari anak-anak kita nanti?"
Dede terdiam, terkejut dengan pertanyaan yang tak terduga itu. Ia menunduk, menyembunyikan kebingungannya di balik senyuman yang dipaksakan. "Iya... kita coba jalanin dulu aja, ya?" jawabnya, dengan nada yang berusaha terdengar ringan, meskipun hatinya dipenuhi keraguan.
Jawaban itu, meskipun penuh keraguan, memberi Lega harapan. Ia percaya bahwa cinta bisa tumbuh seiring berjalannya waktu, dan janji mereka di Batu Cinta akan menjadi awal dari perjalanan panjang yang penuh liku.
Waktu berlalu, dan kehidupan membawa mereka berdua ke arah yang tidak pernah mereka duga. Juli 2024. Setelah tujuh belas tahun bersama, pernikahan mereka berada di ambang kehancuran. Rumah tangga yang selama ini mereka bangun dengan penuh cinta dan pengorbanan kini goyah oleh kata-kata tajam yang terucap di tengah emosi yang meluap.