17 Tahun BUCIN

Tourtaleslights
Chapter #2

Rindu yang Tak Beralasan

Pagi itu, suasana di sebuah pedesaan sederhana di kawasan Tangerang masih dilingkupi ketenangan. Matahari belum sepenuhnya terbit, namun langit sudah mulai berpendar keemasan, memberikan kesan hangat yang mengusir sisa-sisa dingin malam. Kicauan burung dan kokok ayam bersahutan dari kejauhan, seakan-akan menyambut datangnya hari baru.

Di sebuah rumah berdesain sederhana, sebuah kamar berukuran sedang masih terbalut gelap. Cahaya lembut matahari menyusup melalui celah-celah tirai jendela, memberikan sedikit penerangan di ruangan itu. Seorang remaja laki-laki terbaring di tempat tidurnya, matanya masih setengah terpejam. Lega Oktoberi Kusnandar, siswa kelas 1 SMKN 3 Kota Tangerang, perlahan membuka matanya. Jam dinding menunjukkan pukul lima pagi. Suara alarm dari ponselnya yang tergeletak di meja samping ranjang mulai berbunyi nyaring, memanggilnya untuk bangun dan memulai hari.

Lega meraih ponselnya dengan gerakan lesu, mematikan alarm tanpa banyak berpikir. Di dalam dirinya, ada rasa malas yang sulit dienyahkan, namun dia tahu ini bukan saatnya berlama-lama di tempat tidur. Hari ini adalah hari yang panjang, dan ia harus mempersiapkan diri dengan baik. Satu hari yang sama seperti hari-hari lainnya, tapi mengapa ada firasat aneh yang menghantui hatinya?

Ia bangkit dari tempat tidurnya, menguap lebar, lalu berjalan ke arah meja belajarnya yang penuh dengan buku-buku pelajaran dan peralatan sekolah. Di sudut meja, sebuah foto keluarganya ayah, ibu, dan adik laki-lakinya yang tersenyum bahagia menyambut pandangannya. Mata Lega menatap foto itu sejenak, merasakan rasa hangat sekaligus beban yang tak berwujud. Rasa hangat yang bersumber dari senyum keluarganya, namun rasa beban itu bersumber dari harapan yang mereka sematkan padanya. Ia menghela napas panjang sebelum beranjak menuju kamar mandi.

Kesejukan air membasuh wajahnya, menghapus sisa-sisa kantuk yang masih menggantung. Dalam cermin, ia menatap bayangannya sendiri. Lega mengenakan seragam abu-abu khas SMK-nya dengan rapi. Celana abu-abu, kemeja putih, dan dasi abu-abu dengan lambang sekolah di dada kirinya. Penampilannya mencerminkan disiplin yang selalu diajarkan oleh kedua orang tuanya. Rambut hitamnya yang ikal disisir rapi ke samping, sesuai aturan sekolah yang ketat. Ketika menatap cermin, Lega tersenyum kecil, namun senyum itu tampak sedikit dipaksakan, seolah ada sesuatu yang mengganjal di hatinya. Entah apa itu mungkin kekhawatiran akan harapan-harapan besar yang harus ia penuhi, atau mungkin rasa jenuh yang perlahan merayap di hatinya.

Ibunya sudah menyiapkan sarapan sederhana di ruang makan: nasi goreng dengan telur mata sapi. Aroma makanan itu memenuhi ruangan, menggugah selera Lega yang tadinya masih setengah mengantuk. Ia menarik kursi dan duduk, berusaha mengenyahkan rasa tak enak yang terus menghantuinya sejak ia bangun pagi.

“Aa, makan dulu sebelum berangkat,” suara lembut ibunya terdengar sambil ia menyiapkan teh hangat di meja.

“Ya, Mah,” jawab Lega sambil mengambil piring. Meskipun tubuhnya merespons dengan otomatis, pikirannya melayang, terbang jauh dari ruang makan itu.

Ibunya, dengan tatapan penuh kasih sayang, mulai berbicara tentang pentingnya belajar dengan giat dan menjaga nama baik keluarga. “Ingat, Aa, kita ini keluarga sederhana. Ibu dan ayah cuma ingin kamu sukses dan bisa hidup lebih baik dari kami. Jangan pernah malas belajar, ya. Seperti anak temen Mamah yang jadi dokter, pilot, dan manajer bank.”

Lega hanya mengangguk, menyuapkan makanan ke mulutnya. Setiap kata yang keluar dari mulut ibunya terasa seperti beban yang menekan pundaknya semakin berat. Dalam hatinya, ia tahu ibunya hanya ingin yang terbaik untuknya, namun seringkali harapan itu terasa terlalu besar untuk dipikul. Bagaimana jika ia tidak bisa memenuhi ekspektasi mereka? Bagaimana jika ia gagal menjadi kebanggaan keluarganya?

Saat Lega hendak menghabiskan makanannya, ponselnya berbunyi. Sebuah pesan masuk dari Tri Wulandari, pacarnya yang sekelas dengannya di jurusan Akomodasi Perhotelan.

“Selamat pagi, sayang. Jangan lupa sarapan, ya. Semangat buat hari ini!” tulis Tri dalam pesannya.

Lega tersenyum kecil, namun kali ini senyumnya lebih tulus. Pesan singkat dari Tri selalu mampu menghangatkan hatinya, meski sesaat. Ia membalas pesan itu dengan cepat, “Makasih, Tri. Kamu juga ya. Sampai ketemu di sekolah.”

Setelah selesai sarapan, Lega pamit kepada ibunya dan segera berangkat ke sekolah. Udara pagi yang dingin menyambutnya saat keluar dari rumah. Ada sesuatu yang berbeda dengan hari ini, semacam firasat bahwa sesuatu akan terjadi. Entah itu baik atau buruk, Lega belum bisa memastikan. Ia berjalan melewati jalan-jalan yang sudah dikenalnya dengan baik, tapi hari ini, langkahnya terasa lebih berat. Apa yang sebenarnya ia rasakan? Ketidakpastian ini membuatnya gelisah, tapi ia tidak tahu apa yang sebenarnya mengganggunya.

Di sisi lain kota, di sebuah gedung sekolah besar, suasana kelas Tata Busana di SMKN 3 Kota Tangerang sudah mulai sibuk. Suara mesin jahit mendominasi ruangan, bercampur dengan percakapan ringan para siswi yang tengah serius menyelesaikan tugas mereka. Di antara mereka, seorang gadis dengan kulit putih langsat dan rambut panjang yang diikat rapi ke belakang tampak fokus pada pekerjaannya. Novi Dede Novita Sari, siswa jurusan Tata Busana, sedang menyelesaikan proyeknya menjahit rok untuk ujian akhir semester. Tangannya lincah menggerakkan kain di bawah jarum mesin jahit, seolah-olah setiap gerakan telah terlatih sempurna.

"Dede, rapi banget jahitanmu," puji salah satu temannya sambil mendekat.

Dede hanya tersenyum manis, lalu melanjutkan pekerjaannya. Sudah biasa ia menerima pujian seperti itu. Bukan karena ia sombong, tapi karena ia memang sangat mencintai dunia jahit-menjahit. Baginya, setiap jahitan adalah langkah kecil menuju impiannya: membuka butik sendiri suatu hari nanti. Namun di balik senyum itu, ada kekosongan yang sering ia rasakan. Kekosongan yang tak bisa diisi hanya dengan pujian atau kesuksesan akademis. Sebuah kekosongan yang ia sendiri tak tahu cara mengisinya.

Meski dikenal ceria dan populer di kalangan teman-temannya, Dede sering merasa kesepian. Di balik ketekunan dan keceriaannya, ada sisi lain dari dirinya yang merindukan seseorang yang bisa memahami dirinya lebih dalam, yang melihat lebih dari sekadar penampilan luar. Kadang-kadang, ia bertanya pada dirinya sendiri apakah ada seseorang di luar sana yang bisa mengisi kekosongan ini? Atau, apakah ini hanya fase yang harus ia lalui seorang diri?

Bel sekolah berbunyi, menandakan waktu istirahat. Para siswa segera berhamburan keluar dari ruangan mereka, termasuk Dede dan teman-temannya. Hari itu, ia mengenakan celemek warna peach yang menjadi ciri khas jurusan Tata Busana. Langkahnya ringan dan anggun saat ia berjalan bersama teman-temannya menuju kantin koperasi, tempat biasa mereka berkumpul untuk makan dan berbincang.

"Eh, De, nanti pulang bareng lagi nggak?" tanya salah satu temannya, Lita, sambil menggandeng lengan Dede.

Dede tersenyum. "Boleh. Aku harus mampir beli bahan kain dulu sih, buat tugas tambahan."

"Serius? Kamu emang rajin banget, deh. Tapi aku nggak heran sih, hasil jahitanmu aja udah kayak yang di butik-butik," Lita memuji dengan nada kagum.

Lihat selengkapnya