Alunan musik The Chainsmoker meruak nyaring ke seantero sekolah. Joni, Si Keriting Gimbal yang memilih menyuburkan rambut di puncak kepalanya dan memangkas habis rambut di bagian tengkuknya, bercuap nyaring di antara lirik Don’t Let Me Down. Suaranya cempréng, seperti kerikil berkelontang dalam kaleng susu karatan. Tapi, nada suaranya bersemangat yang menceritakan prestasi teranyar Unit Film di Festival Film Pelajar tempo hari.
“Yeah, dan SMA Visi Andalas berhasil menyabet juara ketiga! Terbaiklah Abang Ilham kita ini! Calon sutradara hebat masa depan Indonesia! Hanung Bramantyo Junior! Dia bercita-cita akan menggarap film kolosal Sriwijaya! Visi Andalas selalu mantap!”
“Kamu tahu, Sani mendukung siapa?” Sonia muncul dari koridor kiri. Bahu kanannya menenteng tas punggung kulit hitam besar, yang seingatku sudah sejak SMP dia pakai. Rambutnya yang sebahu tergerai bebas. Melambai lemah di hari-hari tanpa samponya. “Aku mengurangi pemakaian sampo,” ujarnya suatu hari, “aku mencoba menyelamatkan Bumi dengan cara ini.” Terus terang, aku tidak tahu apakah Bumi benar-benar bisa diselamatkan dengan cara itu. Apakah menyimpan satu sachet sampo per minggu bisa mengurangi pemanasan global yang juga disebabkan jutaan kendaraan?
Kami berjalan di antara banyaknya siswa hilir mudik dan yang bergerombol di koridor, membicarakan trend fashion terbaru, tato temporer, Raisa dan Hamish Daud; atau tentang Korea Utara. Korea Utara selalu menjadi topik menarik di koridor, terutama di kalangan anak-anak yang punya kecenderungan jadi komentator peristiwa internasional. Menurut mereka, Korea Utara adalah salah satu kekuatan dunia yang tersembunyi.
“Entah,” aku mengangkat bahu. Bicara tentang Sani selalu bikin harap-harap cemas. Kadang, aku tidak bisa menebak jalan pikiran Ketua OSIS itu. Dia bisa begitu manis di satu saat, tetapi bisa tidak pedulian di saat lain. Kupikir, dia punya kepribadian ganda.
“Dia didekati timnya Amanda.”
Poni Zebra! Errrgggh! Aku mengerang. Sejak kelas X aku sudah tidak suka dengan cewek yang satu itu. Dulu tulisannya selalu hasil copy paste yang dipoles sedikit. Sekarang, anak copy paste itu bertarung denganku memperebutkan jabatan Pemred Finia. Oh, come on, dia bahkan baru jadi Redaktur Tanya Jawab di Finia.
“Lalu?” tanyaku masam. Gilda lewat di depanku. Rambutnya panjang, dikepang dua dan mengenakan kacamata setebal pantat botol. Konon, orangtuanya mau membawanya Operasi Lasik. Tapi, setelah setahun isu itu beredar, kacamatanya masih bertengger. Sepertinya, dia belum akan dioperasi dalam waktu dekat.
“Suara Sani penting, tahu? Dia satu dari tujuh anggota Dewan Redaksi Finia.”