17 Tahun itu Bikin Pusing!

Mizan Publishing
Chapter #3

11 Hari Sebelumnya

Aku berdiri di tepi jendela koridor Gedung D lantai dua. Dari sini, aku bisa melihat nyaris seluruh bagian belakang sekolah Visi Andalas. Lapangan bola voli, lapangan basket, masjid, dan taman. Dari balik pagar beton yang di atasnya dipasang kawat berduri, aku melihat atap-atap rumah penduduk seng atau genteng berselang-seling dengan pepohonan, menara masjid, dan menara pemancar. Di bagian kanan gedung tempatku berada, aku melihat gedung kantor Yayasan Visi Andalas. Dari gedung itu, semua urusan Visi Andalas dikendalikan.

Aku memandang ke bawah. Di lapangan voli, cewek-cewek kelas XI mengejar bola voli ke mana pun perginya. Mereka seperti gerombolan pengejar bola, bukan tim voli hebat yang diinginkan sekolah. Pak Adnan, guru Olahraga kelas XI menggeleng-gelengkan kepala dengan wajah putus asa.

Aku menghela napas. Pikiranku blank. Tidak tahu, mau melakukan apa. Sampai 24 jam yang lalu, aku masih merasa punya harapan.

“Ini keputusan Dewan Redaksi, Na,” ujar Rafiq tadi. Dia Pemred Finia sebelumnya. Dia terlihat seperti menyesal, meskipun suaranya tidak terdengar begitu. Aku bahkan tidak yakin Rafiq peduli. Toh ... dulu dia yang maksa masukin Poni Zebra jadi Redaktur Finia, yang setelah dicek betul kemampuan menulisnya, akhirnya cuma ditaruh jadi Redaktur Rubrik Tanya Jawab saja.

Never mind,” ujarku.

“Keputusan ada di Sani,” berkata Rafiq, “gitu yang kudengar. Awalnya, kalian dapat suara yang sama. Suara Sani yang menentukan.”

Aku menghela napas. Kutinggalkan jendela itu. Aku harus menemui Sani hari ini. Dia harus menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi. Ada sesuatu yang ingin kutuntut dari dia. Jika memang dia menganggap aku tidak layak jadi pemred, dia harus menjelaskan dengan alasan yang rasional, mengapa Redaktur Rubrik Tanya Jawab dianggap lebih layak jadi pemred ketimbang Redaktur Laporan Utama.

 

***

Visi Andalas adalah sekolahku sejak TK. Ada banyak alasan, mengapa orangtua memasukkanku ke sini. Tapi, alasan paling utama adalah mereka tidak perlu lagi memikirkan untuk mencari sekolah lanjutan untukku. Semua murid TK Visi Andalas, otomatis akan langsung diterima masuk ke SD-nya, lalu otomatis lanjut ke SMP dan SMA-nya. Ini betul-betul solusi praktis bagi orangtua yang tidak mau repot. Solusi bagi mereka, jelas masalah buatku. Harapanku untuk menemukan tempat baru dengan orang-orang berbeda, tidak pernah terwujud.

Sementara, siswa dari SMP lain bersemangat mencari-cari SMA mana yang akan mereka masuki, atau berdebar-debar mengelilingi sekolah baru, yang aku lakukan justru menuju gerbang yang sama sambil pura- pura antusias melihat-lihat kalau-kalau ada wajah yang tidak kukenal. Tentu saja, itu tidak akan ada. Wajah- wajah yang kulihat adalah mereka yang selama tiga tahun, bahkan enam tahun sebelumnya bersamaku di sini. Aku hafal ekspresi, suara, bahkan sampai tingkat kemampuan menulis mereka. Tidak ada yang baru!

Inilah masalahnya kalau yayasan tempat sekolahmu bernaung punya tanah kelewat luas. Akhirnya, mereka menggabungkan SMP dan SMA di satu lokasi. Efek positifnya memang ada, sih, misalnya ada beberapa ekskul yang kegiatannya bisa digabung. Tapi, efek negatifnya jelas jauh lebih banyak dan menyakitkan, setidaknya buatku. Kamu tidak akan pernah mengira orang yang sejak TK selalu bersamamu, sampai-sampai kamu mengira dia akan mendukung apa pun yang kamu lakukan, akan tega mengkhianatimu. Rasanya seperti seseorang yang mengaku telah memasak untukmu saat kamu tengah kelaparan, tetapi begitu makanan itu jadi, dia ternyata memilih menyantapnya sendiri.

Sakitnya, tuh, di sini. Di hati.

 

***

“Jangan sedih, Nana. Kamu juga keren, kok ”

Suara lembut yang dulu kuanggap berasal dari madu itu menyela siangku yang gerah. Dua kipas angin di ruangan ini enggak cukup mengusir panas. Keringat berleleran di pelipis. Aku muak, gerah, dan ingin mengamuk. Tapi, aku terlalu sopan untuk melakukannya. Jadi, yang bisa kukatakan hanya, “Sani, kamu enggak paham.”

Kami berada di ruang kerja Sani, di kantor OSIS. Ruang-ruang dalam kantor OSIS hanya dibatasi partisi setinggi 1 meter. Siapa pun bisa melongok ke ruang- ruang lain di sini. Suara percakapan campur aduk. Pembicaraanku dengan Sani berselang-seling dengan pembicaraan di Ruang Sekretariat, Divisi Media, Divisi Olahraga, dan divisi-divisi lainnya. Enggak ada rahasia di sini. Jadi, seluruh kata-kata yang keluar harus kuseleksi dulu dalam pikiran.

Lihat selengkapnya