180 Derajat

Erna Zurnaini
Chapter #1

1. Escalator

Kamis, 22 Januari 2021.

Hari ini kamis, pukul 15.30. Satu jam lagi, aku harusnya sudah di rumah. Hujan masih mengguyur deras, beberapa orang berlarian dari parkiran menuju tempat teraman dari hujan sambil menutup kepala, sudah menjadi latah sepertinya; orang akan menghindar dari hujan dengan menutup kepala menggunakan tangan, jaket, tas, koran padahal hal tersebut sebenarnya sia-sia saja. Serbuan hujan yang datang tanpa memilih, menjatuhkan tetes-tetes cintanya pada bumi. Hujan tidak memilih akan jatuh di atas kepala siapa, tugas kita hanya menikmatinya.

Lobby mall terasa lebih sesak, pengunjung yang menggunakan sepeda motor memilih menunggu hujan reda. Hujan tidak semenyenangkan masa kecil. Beberapa kali aku melirik jam di pergelangan tangan. Waktu pun sama seperti hujan, tidak akan memilih akan berhenti kapan, tugas kita adalah untuk tetap bergerak.

"Mama, ayo kita main saja. Hujannya lama. " Anak perempuanku merengek manja. Namanya Haura. Rambut hitam yang diikat, berayun terkena angin. Aku mengabaikan suara kecil yang menggemaskan itu, sesekali suaranya hilang ditelan hiruk pikuk pengunjung mall.

Haura memang kubiasakan untuk mencari solusi dan belajar berpendapat sejak dini, mendidik seperti ini membutuhkan kesabaran ekstra. Misalkan ketika Haura kuajak membantu membuat kue lalu karena keasyikan ia menumpahkan baskom berisi air sementara, aku masih sibuk membuat adonan.

“Mama, airnya tumpah.”

“Kalau basah begini nanti bagaimana?”

“Nanti mama dan aura bisa jatuh, aura mau lap lantainya.”

Melihatnya mengelap lantai basah sebenarnya aku tidak sabaran, terlalu lama tetapi aku biarkan saja, nanti aku bersihkan lantainya saat ia merasa sudah selesai mengelap. Sehari-harinya Haura menjadi sering berpendapat tanpa ku minta, seperti hari ini. Walaupun solusi yang diberikannya sebenarnya hanya menguntungkan dirinya saja. Ah, anak kecil selalu menggemaskan.

Hujan deras disertai tiupan angin. Sepasang pemuda tanggung berlarian menuju lobby mall. Menepuk jaketnya, sebelum air sempat merembes pakaiannya. Bercakap-cakap satu dua tentang hujan. Sementara si wanitanya, merapikan rambut basahnya. Wajahnya lebih masam. Tentu, ia telah berdandan lama untuk bertemu dengan kekasihnya. Hujan merepotkan semuanya.

"Mamaaa, ayo. " kali ini, Haura mulai menarik tanganku. Aku melirik jam tangan lagi. di sebelahku tersenyum.

"Turuti sajalah Al, hujan juga sepertinya memang akan lama. Jangan cemas, kabari saja suamimu" wanita berusia 36 tahun di sebelahkupun memberikan usulan.

Badannya gemuk, namun wajahnya terawat. Anaknya dua, kembar. Shinta dan Shanti sekarang sudah SMP, mereka lebih memilih di rumah bermain gawai daripada ikut Ibunya berbelanja bulanan. Kami berangkat menggunakan mobil . Hanya saja karena parkiran penuh, hampir 200 meter mobil diparkirkan. Baiklah, sepertinya tepat usulannya . Aku mulai mencari telpon genggam di dalam tas. Hendak menelpon suamiku.

"Aduh Za, telepon aku dimana ya? " aku bergumam pelan, sembari mengobrak abrik isi tas. Tidak ada. Di plastik belanjaan pun tidak ada. Aku mulai cemas. Sekali lagi aku mengecek tasku, spontan mengulurkan belanjaan kepada Niza.

"Simpan di mana sih Al?" Niza di sampingku mulai ikut resah.

Lihat selengkapnya